Demi membaca tulisan ini, sontak saya mengerti. Rupanya, semua barang-barang berharga ini adalah milik pengunjung rest area KM 97 dan juga jamaah Masjid Al-Mi’raj yang ketinggalan.
Ah, rasanya ini menarik untuk saya tulis. Begitu pikir saya.
Naluri blogger kepo (atau sama saja dengan insting jurnalis) mulai bekerja. Saya harus bertemu dengan salah seorang pengurus masjid ini, demi mendapatkan keterangan mengenai “layanan barang-barang ketinggalan” ini.
Sedang asyik celingak-celinguk mencari kantor pengurus masjid, tiba-tiba saya melihat sesosok lelaki bertubuh kecil, ramping tapi kekar. Ia mengenakan baju gamis panjang berwarna putih.
Ah, itu dia! Sosok lelaki yang tadi menjadi imam Sholat Ashar.
Saya bergegas menghampiri, seraya memanggil: “Ustadz, Pak Ustadz!”
Lelaki itu menghentikan langkah, berbalik badan. Ia berdiri menghadap saya. Bibirnya tersenyum.
Saya menyorongkan tangan mengajaknya bersalaman. Seraya memberi salam. Jabat tangan saya digenggamnya erat. Penuh kehangatan. Kami pun terlibat percakapan. Masya Alloh, biarpun baru pertama kali ini bertemu, tapi keakraban segera menaungi.
Lelaki berkulit sawo matang dengan rambut pendek ini memperkenalkan namanya sebagai Sutriya. Ia warga asli Kecamatan Rancaengkek di Kabupaten Bandung.
Sehari-harinya, lelaki berkumis tipis dan berjanggut cukup lebat ini mengaku bertugas sebagai Imam Rawatib. Artinya, menjadi imam atau pimpinan shalat-shalat wajib maupun sunah di Masjid Al-Mi’raj.