Selasa, 9 Februari 2016 ini diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN). Pemusatan seremonialnya berlangsung di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Menariknya, HPN yang tahun ini mengusung tema Pers Yang Merdeka Mendorong Poros Maritim dan Pariwisata, disebut-sebut sebagai yang terbesar dalam sejarah HPN.
Disebut terbesar sepanjang sejarah karena penyambutan dan rangkaian acaranya begitu megah juga meriah. Termasuk, manakala ratusan wartawan, pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sampai jajaran pimpinan TNI menggelar Sail of Journalist. Menumpang KRI Makassar milik TNI AL dari Surabaya sampai ke Pulau Lombok, pelayaran para jurnalis itu berlangsung Jumat hingga Sabtu (5 – 6 Februari).
Adapun puncak acara HPN digelar di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Lombok Tengah, dengan dihadiri langsung Presiden RI Joko Widodo.
Demi ikut memeriahkan HPN, Selasa pagi ini, saya menelepon Liviana Cherlisa Latief, jurnalis Kompas TV, untuk meminta pendapatnya seputar HPN dan dunia jurnalistik.
“Kemajuan Pers Nasional saat ini adalah kita lebih bebas berekspresi. Pers di masa sekarang beda banget dengan masa dulu. Kalau kita ingat, Pers di masa Ibu Sumita Tobing---mantan Dirut Perjan TVRI yang memperoleh penghargaan dari Kompas TV atas sosoknya yang dianggap inspiratif, membuka perubahan dan membuat pergerakan di Indonesia---umpamanya. Beliau bahkan sempat berhenti karirnya karena mengomentari Pemerintahan. Sementara kita sekarang sudah berbalik 180 derajat, kita bisa ngomongin Pemerintah apa saja, asal konteksnya kita tidak menghina, dan tetap mengkritik Pemerintah untuk arah yang positif. Itu salah satu contoh kebebasan sekarang, jadi beda banget dengan Pers zaman dulu,” ujar Livi yang bergabung dengan Kompas TV sejak Maret 2012.
Dampak kebebasan Pers Nasional saat ini, dibenarkan oleh Livi berdampak kepada publik yang seolah-olah hanya menjadi konsumen bulan-bulanan kepentingan media massa atau Pers. “Ya itu benar. Tetapi, dengan kebebasan Pers justru lebih banyak manfaatnya karena publik jadi lebih tahu, misalnya tentang sebuah kebijakan Pemerintah yang justru malah berpotensi merugikan mereka. Atau misalnya lagi, program-program Pemerintah mungkin masih bisa dikritisi lagi, sehingga lebih memiliki manfaat, pro rakyat dan punya dampak besar kepada publik,” tutur pemilik tanggal lahir 9 Desember 1989 ini.
Livi memberi contoh tentang bagaimana ekspresi kebebasan Pers saat ini, dengan pemeo yang dikatakannya sebagai ibarat “Mencari Hakim dalam Satu Kasus”. Maksudnya, dalam penayangan sebuah kasus, media massa biasanya akan mencari tahu kebenaran suatu kasus dengan menghadirkan para ahli yang nantinya akan mengeluarkan opini.
“Dengan opini para ahli ini, sebenarnya kita sebagai insan Pers ingin tahu, sebenarnya kasus ini arahnya akan kemana, tapi kadang-kadang, mungkin untuk beberapa orang justru melihatnya sebagai terlalu cepat. Contoh, proses hukumnya saja belum sampai pada tahap yang dibicarakan oleh media massa, tapi Pers jutsru sudah selangkah lebih maju. Hal seperti ini, kadang-kadang yang justru menimbulkan dampak positif sekaligus negatif. Dalam konteks ini, media massa sebenarnya tidak membentuk opini, tapi justru opini itu yang terbentuk dari setiap apa yang dimunculkan oleh media massa. Disinilah, jurnalis harus berhati-hati, apalagi ada etika untuk menghormati asas praduga tak bersalah,” urai Livi yang ternyata punya kemampuan beladiri bak bik buk alias taekwondo.
Dalam konteks opini publik yang meyakini bahwa ‘JSC’ adalah tersangka pelaku kasus ‘Kopi Sianida’, sergah Livi, media massa dalam posisi tidak bersalah. Alasannya? Media massa mengungkapkan fakta-fakta yang ada di lapangan.