Pentingnya menggalakkan dan memasyarakatkan EBT, tentu sudah kita pahami bersama, yakni karena energi yang berbahan dasar fosil sudah menipis dan akan segera habis pada waktunya. Apabila tidak segera dicarikan penggantinya, maka krisis energi dan geopolitik akan melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia. Mengapa hal ini penting? Karena seiring pesatnya perkembangan zaman dan perputaran waktu, energi pada akhirnya menjadi modal utama pembangunan sekaligus kebutuhan dasar rakyat yang mau tidak mau harus terpenuhi.
Dalam berbagai kesempatan Menteri ESDM Sudirman Said senantiasa mengatakan, Pemerintah mendorong pengembangan EBT dan konservasi energi menjadi champion untuk ketahanan dan sustainability energi. “Untuk itu, saya tidak ingin program-program EBTKE hanya menjadi additional tapi sebaliknya menjadi sesuatu yang sangat penting,” terangnya.
Ironisnya, Indonesia masih mengandalkan sumber energi dari fosil, dengan perkiraan angka mencapai 94 persen dari total penyediaan energi nasional. Meskipun begitu, segala daya upaya untuk mengurangi pemakaian jor-joran energi berbasis fosil tak pernah surut. Hasilnya meski masih rendah tapi masih lumayan baik. Hal ini diungkapkan Direktur Jenderal EBT dan Konservasi Energi Rida Mulyana, sepanjang 2014, kapasitas terpasang pembangkit listrik berbasis EBT sebesar 10.744,16 MW atau 21 persen dari kapasitas terpasang kumulatif pembangkit listrik nasional sebesar 51.981 MW.
Lantas apa yang ditawarkan Kementerian ESDM untuk mendorong pengembangan EBT pada masa mendatang? Menurut Rida, pihaknya sudah menggancang sejumlah program Mulai dari meningkatkan kerjasama antar stakeholder yang terkait dengan pembangunan EBT dan konservasi energi, mendorong keterlibatan industri lokal, mengupayakan kontribusi lebih besar dari perbankan nasional dalam upaya pengembangan EBT dan konservasi energi. Juga, melakukan diseminasi program efisiensi energi kepada masyarakat, dan pembangunan infrastruktur oleh Pemerintah, serta memberikan insentif berupa kebijakan fiskal, subsidi, feed in tariff, penciptaan pasar melalui kebijakan mandatori dan kebijakan investasi, untuk pengembangan EBT dan program konservasi energi.
Pertanyaan menarik berikutnya adalah, sudah berapa banyak rumah tangga yang memanfaatkan listrik dari hasil EBT? Hingga 2013, Dirjen EBT dan Konservasi Energi mendata, realisasi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Hibrida (PLT Hibrida) telah meliputi 264 lokasi. Total kapasitas daya yang tercipta adalah 11,64 MW yang mampu memenuhi kebutuhan listrik sebanyak 30.860 rumah tangga.
Pada tahun yang sama, khusus untuk PLTS sudah dikembangkan sebesar 67 MW yang meliputi pembangkit milik PLN sebanyak 129 unit PLTS berkapasitas 25 MW, serta pembangkit yang dibangun oleh Pemerintah sebanyak 787 unit PLTS yang terdiri dari 5 unit PLTS interkoneksi, PLTS Terpusat serta SHS dengan total kapasitas 42 MW untuk memenuhi kebutuhan listrik di kalangan masyarakat pedesaan, pulau terluar dan kawasan perbatasan.
Akhirnya, kita patut bersyukur bahwa Pemerintah terus berkomitmen dan menunaikan amanahnya untuk memenuhi kebutuhan listrik di tanah air. Upaya mempergunakan EBT di Kupang dengan mewujudkan PLTS ini hendaknya dapat menginspirasi daerah-daerah lain, agar tidak hanya berpangku-tangan dan mengeluh tentang minimnya kecukupan pasokan energi listrik.
Kita memang jauh tertinggal bila dibandingkan dengan Jepang dalam konteks pemanfaatan atau mengonversi tenaga surya menjadi energi listrik. Di negeri “Matahari terbit” itu, ada yang namanya Kagoshima Nanatsujima yang berlokasi di lepas pantai Jepang bagian selatan. Kagoshima Nanatsujima Mega Solar Power Plant ini tak lain adalah PLTS yang uniknya menempati areal 1,27 juta meter persegi, dan terapung di atas permukaan laut. Saking besarnya PLTS yang ukurannya sebanding dengan 27 stadion baseball ini, maka energi listrik yang berhasil dihasilkan mencapai 70 MW. Hasilnya, mampu mengalirkan listrik pada 22.000 rumah tangga.