Penulis bersyukur bisa ketemu Tri Suharyanto. Lelaki berusia 51 tahun ini pekerja seni asal Surabaya, Jawa Timur. Melalui sanggar seni miliknya Gembong Kyai Bulak, Tri bertekad melestarikan kesenian Reog Ponorogo dan Jaranan.
Sadar bahwa melestarikan Reog perlu kebersamaan, Tri dan seniman lain membentuk HIPREJS (Himpunan Paguyuban Reog Ponorogo dan Jaranan Kota Surabaya), pada 3 Februari 2013. Sampai kini, jumlah anggota HIPREJS hampir mencapai 30 sanggar. Diantaranya Sanggar Turonggo Seto, Tri Sapto Topo, Singo Turonggo Samber, Margo Cipto Utomo, Dwi Budoyo, Planet Reog, Turonggo Bulak Mukti Joyo, Singo Mudo, Kuda Kepang ‘Sekar Arum’, Singo Hargo Dumunung, Turonggo Srengi Wijoyo dan masih banyak lagi. Semua sepakat mewujudkan visi dan misi, melestarikan budaya bangsa yang adi luhung. Juga, menjadikan generasi muda menjadi seniman yang berbudaya dan berakhlak mulia.
Apa sih beda Reog dan Jaranan? “Keduanya punya kesamaan alur cerita, hanya ada penambahan beberapa tokoh dalam cerita seni Jaranan,” ujar Tri yang didapuk menjadi Ketua HIPREJS. Reog atau Jaranan (dulu disebut Barongan) dan diciptakan Demang Ki Ageng Kutu Suryongalam. Kala itu, penampilannya difungsikan untuk sindiran (satire) kepada Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V (Bre Kertabumi) yang dianggap kurang tertib, adil dan bijaksana lantaran dipengaruhi sang permaisuri.
Sementara itu, pada masa kekuasaan Batoro Katong, justru sang istrinyalah yakni Ki Ageng Mirah yang melestarikan kesenian Barongan. Terutama dimaksudkan sebagai pengumpul massa dan pemersatu kerajaan. Batoro Katong sendiri masih keturunan Bre Kertabumi dari garwo selir Putri Cempo.
Batoro Katong sebelum diserahkan tanah pardikan di Ponorogo sekaligus menjadi Bupati pertamanya, sempat belajar ilmu agama dengan Kanjeng Sunan Ampel yang masih merupakan pamannya sendiri di Ampel Denta. Selain itu, Batoro Katong memiliki saudara kandung bernama Jinbun Patah yang memperoleh tanah pardikan Demak sekalgus merupakan Raja Islam pertama di Demak.
Jelaslah, betapa Reog Ponorogo dan Jaranan merupakan kesenian khas Nusantara sejak doeloe. Keberadaannya sudah melintasi banyak zaman. Syukurlah, sampai saat ini masih bertahan dan terus lestari. Hak cipta kesenian Reog pun telah dicatatkan dengan Nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004. Sehingga dengan begitu diketahui Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Sedangkan Malaysia, yang pada 2007 sempat memunculkan Reog sebagai atribut seni, akhirnya urung dan ciut.
“Reog tetap masih milik bangsa Indonesia,” seru Dubes Malaysia untuk Indonesia, Zainal Abidin Mohammad Zin dari atas mobil pengeras suara milik massa pendemo di depan Kantor Kedubes Malaysia, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, 29 November 2007.
Waktu terus maju. Roda zaman terbukti tak mampu menggilas seni Reog Ponorogo. Termasuk, rezim Orde Baru yang sempat ‘memberi kartu kuning’ untuk seni Reog. Maklum, lini masa sebelumnya, Reog dimanfaatkan simpatisan partai terlarang untuk mendulang massa. Ketidaksukaan berdasarkan trauma sejarah ini ampuh ‘melumpuhkan’ Reog. Sehingga boleh jadi, justru para penghijrah yang kemudian mengembangkan Reog di Johor dan Selangor, Malaysia.
Tri bersama HIPREJS kini giat melestarikan kearifan budaya lokal Reog Ponorogo dan Jaranan sembari mewariskan kepada generasi muda. Trauma sejarah, musti segera dihapus. Garis aturan ditegakkan.
“Saya tidak ingin Reog Ponorogo dan Jaranan ini dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Saya tidak mau kesenian Reog Ponorogo dan Jaranan ini dibawa ke ranah politik. Apa yang kami perjuangkan adalah murni seni dan merupakan warisan budaya bangsa. Seniman itu tidak kemana-mana, melainkan ada dimana-mana,” tegas Tri yang bertitel Sarjana Hukum dibelakang namanya.
Berikut wawancara dengan Tri Suharyanto di Café Demang, Sarinah, Thamrin, Jakarta, pada Sabtu, 7 November 2015, di sela acara #KopdarTeman Asyiiik. Kopi darat ini sekalian meresmikan berdirinya KOBEL (Komunitas Blogger Laki).
Kutipannya:
* * * * *
Penampilan Reog sesuai pakemnya, apa saja?
Sesuai pakem yang ada, biasanya mulai dengan menampilkan Kelono Suwandono. Ia adalah raja muda tampan dan gagah berani dari Kerajaan Bantarangin (Ponorogo masa lampau). Raja ini memiliki pusaka sakti berbentuk pecut (cemeti) yang dinamakan Samandiman. Dikisahkan, Kelono Suwandono jatuh cinta (kelono wuyung) dengan Putri Kerajaan Kediri yakni Dewi Songgolangit.
Raja kemudian menitahkan sang Mahapatih Pujonggo Anom (Bujang Ganong) beserta sejumlah prajurit berkuda untuk meminang. Tapi di tengah jalan, rombongan dicegat Raja Singobarong dari Kerajaan Lodoyo (Blitar), yang ternyata juga terpikat cinta kepada Dewi Songgolangit. Akibatnya, pertarungan tak dapat dihindari. Raja Singobarong begitu digjaya, kesaktiaannya tak mampu ditandingi Mahapatih Bujang Ganong.
Kalah bertarung, Bujang Ganong kemudian kembali ke kerajaan, mengadukan nasibnya kepada Raja Kelono Suwandono. Murka, sang raja kemudian berangkat untuk duel dengan Raja Singobarong. Dengan kesaktiannya yang mampu berubah wujud menjadi binatang Celeng Srenggi dan Ular Naga (versi Jaranan), serta senjata pamungkas cemeti Samandiman, Raja Kelono Suwandono akhirnya sanggup menaklukkan Raja Singobarong.
Menang duel, rombongan Raja Kelono Suwandono kemudian meminang dan memboyong Putri Dewi Songgolangit dari Kediri menuju Kerajaan Bantarangin (Ponorogo).
Berarti ada banyak tokoh dan tarian yang ditampilkan?
Ya, dalam penampilan Reog, diawali dengan penampilan Tari Kelono Suwandono. Raja muda nan tampan, gagah perkasa, berani dan sakti yang memiliki cemeti sakti. Sang raja kasmaran dengan Putri Kediri Dewi Songgolangit.
Lalu, ada Tari Dadak Merak. Inilah yang sering menjadi ikon Reog, karena memang menampilkan wajah singa dengan bulu-bulu burung merak di atasnya. Adegan Dadak Merak ini menggambarkan cerita pertemuan dan pertempuran rombongan Mahapatih Bujang Ganong sebagai utusan Raja Kelono Suwandono dengan pasukan Raja Singobarong.
Juga ada Tari Bujang Ganong yang lakonnya menyimbolkan sosok patih Bujang Ganong yang lincah, enerjik, lucu dan setia. Artinya, kemana saja Raja Kelono Suwandono pergi, patih Bujang Ganong selalu mendampingi dan mengawalnya.
Selain itu, ada Tari Warok. Ini menggambarkan sosok sesepuh yang sudah menguasai ilmu baik lahir maupun batin. Dalam Bahasa Jawa diistilahkan sebagai “wong sing bisa mumpuni salwiringrah, agal alus”.
Untuk Tari Jathil, menampilkan sosok prajurit. Ini adalah pasukan berkuda dari Kerajaan Bantarangin yang terkesan gagah. Sedangkan Tari Potro Joyo atau Potro Tholo menyimbolkan sosok abdi dalem (pembantu) mewakili rakyat kecil yang umumnya dipergunakan sebagai maskot komedi.
Dari sinopsis kisah itu, apa nilai edukasi yang disampaikan?
Pesan edukasi yang disampaikan adalah apabila kita memiliki niat dan tujuan. Maka laksanakan. Apapun aral melintang yang menghalangi, hadapi. Jangan putus asa. Kalau tekad sudah tertancap kuat, jangan setengah-setengah maka segala tujuan pasti akan tercapai. Ini tergambarkan dari kisah Raja Kelono Suwandono.
Sedangkan sosok Patih Pujangga Anom dapat membawa pesan agar seseorang jangan menilai dari penampilan luar, tapi nilai dari hati juga kesetiaan. Ini disimbolkan oleh Patih Pujangga Anom yang memang ditakdirkan buruk rupa seperti ‘wewe-wewean’ tapi memiliki jiwa penolong, baik hati, lembut, lucu dan setia pada raja.
Pakem sudah ada, lalu apa yang Anda usahakan untuk memajukan Reog?
Dimana-mana, Reog punya sumber dan alur cerita yang sama. Tapi kami justru ingin menampilkan yang berbeda. Karena, kalau kita hanya berpegang pada pakem maka permainannya tidak ada perubahan. Hal seperti ini tidak akan laku dijual. Padahal salah satu permasalahan Reog sekarang ini adalah pemasaran.
Makanya, saya ingin mengubah agar penampilan Reog ini semakin bisa diterima masyarakat, dengan melakukan sejumlah improvisasi. Sama seperti yang dilakukan oleh seniman Wayang Kulit yang bisa berkolaborasi dengan seni Campur Sari maupun lawakan. Di Reog, saya melakukan improvisasi yang mirip seperti itu.
Mengapa improvisasi Reog ini Anda lakukan?
Karena ini adalah seni pertunjukan yang kami tawarkan kepada masyarakat, artinya ada unsur komersilnya. Tapi, akan menjadi beda, bila Reog dikhususkan untuk acara event lomba misalnya, maka semua pakem harus sesuai sinopsis yang berlaku turun-temurun. Improvisasi yang saya lakukan misalnya dengan menambahkan lawakan atau guyonan, akrobatik seperti salto sambil lepas tangan, makan api, sampai mengupas kulit kelapa menggunakan gigi. Semua kami lakukan asalkan tidak menyimpang dari syariat agama. Improvisasi seperti ini, dulunya tidak ada dalam adegan Reog.
Seniman Reog tentu berharap jadwal mentas semakin banyak. Sekali pentas berapa lama waktunya? Berapa biayanya?
Umumnya, sekali pentas Reog itu minimal dua jam. Tapi, soal waktu pentas ini, kami bisa saja menyesuaikan dengan kehendak dari pihak yang mengundang. Pihak pengundang itu ‘raja’, dan kami menyesuaikan kehendak mereka. Contoh, kalau ada kehadiran kapal-kapal asing di pelabuhan, maka para event organizer yang mengontak kami mengharuskan agar stand by jam 05.00 pagi. Lha kalau jam 05.00 sudah harus stand by, maka jam 03.00 pagi kita sudah mulai lakukan persiapan, termasuk rias wajah. Karena cukup lama persiapan rias itu. Maklum, dalam satu tim, kami terdiri dari 25 orang pemain. Tapi kadang ada juga yang minta lebih waktu pentasnya, sehingga kita harus improvisasi bareng dengan Campur Sari, lawakan dan lainnya.
Untuk masalah biaya? Sekali pentas, untuk di wilayah Surabaya, kami mematok tarif Rp 5 juta. Sedangkan apabila yang mengundang berada di luar Surabaya, maka perlu ditambah biaya transportasi untuk angkutan tim. Nilainya, tergantung jauh-dekat jaraknya.
Bantuan apa yang Anda harapkan dari Pemerintah?
Menjadi tugas Pemerintah untuk melestarikan Reog Ponorogo dan Jaranan sebagai kearifan budaya lokal. Sedangkan kita para seniman berharap, Pemerintah memberdayakan kami, misalnya dengan sering-sering memberikan kesempatan kami untuk tampil pada berbagai kegiatan.
(Tari Warok. Seniman Reog Ponorogo dan Jaranan berharap program pemberdayaan dari Pemerintah demi kelestarian kearifan budaya lokal. | Foto: FB Reog Surabaya Hiprejs)
Mengapa ini perlu disampaikan? Karena asal tahu saja, banyak diantara anggota HIPREJS yang untuk menampilkan kesenian Reog-nya saja sampai kesulitan memenuhi kostum para pemain. Ibarat kata, kalau ada pembayaran atas pesanan untuk tampil, baru mereka bisa menyisihkan sebagian uang pendapatannya untuk membeli kostum yang dibutuhkan. Kondisi seperti ini memprihatinkan. Dimana kepedulian Pemerintah mengetahui kondisi para seniman Reog Ponorogo dan Jaranan ini? Makanya, kami berharap Pemerintah bersedia melakukan pemberdayaan supaya kesenian ini tetap dapat bertahan.
Konkretnya, apa yang Anda minta kepada Pemerintah?
Tentu saja banyak. Misalnya, kesempatan untuk tampil di berbagai perayaan atau perhelatan. Hal seperti ini saja sudah merupakan bahagian dari pemberdayaan seniman Reog Ponorogo dan Jaranan.
Kebutuhan apa yang paling mendesak dirasakan oleh para anggota HIPREJS?
Antara lain masalah kostum. Bagaimana tidak? Kalau untuk Dadak Merak yang berwajah Singa dan berbulu burung Merak di atas kepalanya itu, kalau sering-sering dipergunakan, jelas akan mengalami kerusakan juga. Selain kostum, peremajaan alat-alat musik dan pementasan juga perlu untuk mendapatkan perhatian. Apalagi, untuk kostum dan peralatan penunjang lainnya, sangat sulit memperolehnya di Surabaya, kita musti mencari atau membeli langsung ke Ponorogo.
(Alexander Hugo siswa asal Belgia yang giat berlatih Reog Ponorogo dan Jaranan di Surabaya. | Foto: Dok. Tri Suharyanto)
* * * * *
Berani menampilkan improvisasi pada seni Reog ternyata membawa pengaruh juga pada ajang pencarian minat dan bakat. Tri mengaku, ia banyak mencari para seniman Reog ini ke sekolah-sekolah atau komunitas remaja. “Banyak anggota sanggar kami itu anak-anak muda. Ini sengaja dilakukan untuk memperkokoh warisan seni dan budaya, sekaligus menyelamatkan anak-anak muda dari pergaulan dan pengaruh lingkungan yang tidak baik,” ujarnya.
Bahkan, Tri membeberkan, ada seorang pelajar asal Belgia bernama Alexander Hugo, yang belakangan ini giat berlatih memainkan kesenian Reog Ponorogo dan Jaranan. “Kelak, apabila Hugo sudah piawai mementaskan kesenian ini, maka akan menjadi semacam tonggak keberhasilan kami dalam mewariskan Reog Ponorogo dan Jaranan kepada anak-anak muda. Fakta mengenai Hugo ini diharapkan dapat membuat anak-anak muda kita sendiri untuk juga tidak sungkan mempelajari kesenian bangsanya sendiri, dalam hal ini Reog Ponorgo dan Jaranan,” jelas Tri.
Semakin banyak anak muda yang tertarik menekuni seni Reog, membuat Tri bersyukur sekaligus harus lebih giat lagi mencari terobosan pemasaran. Untuk penampilan reguler, HIPREJS pentas di taman-taman kota yang ada di seantero Surabaya.
“Karena, HIPREJS ini mandiri. Sehingga kami harus mengusahakan bagaimana bisa tampil, digemari masyarakat dan membawa penghasilan. Pada 2016 nanti, HIPREJS akan menampilkan atraksi Reog secara rutin di Monumen Kapal Selam (Monkasel), Jalan Pemuda No.39, Genteng, Surabaya. Ada atau tidak ada pengunjung, kami akan rutin melakukan pementasan di Monkasel,” kata Tri sembari menyebutkan pernah juga tampil di Bromo, Bojonegoro, Bali, dan pernah juga berpose untuk pengambilan foto di Jakarta. “Karya foto Reog ini kemudian dipamerkan di pusat perbelanjaan Singapura”.
Kiranya, kita semua bertanggung-jawab melestarikan kesenian Reog Ponorogo dan Jaranan ini. Salah satu caranya, mempromosikan atau memberikan kesempatan sanggar-sanggar milik seniman yang punya komitmen tinggi untuk melestarikan Reog Ponorogo dan Jaranan, untuk tampil di berbagai event. Bila ini dapat dilakukan oleh siapa saja, terutama Pemerintah, maka hal ini merupakan salah satu bentuk pemberdayaan seniman.
Sekretariat HIPREJS beralamat di Jalan Bulak Cumpat Timur III No.19 Surabaya (kontak: 085854133301, 081233456062). Diantara kegiatan promosinya, mereka cukup gencar memperkenalkan eksistensinya melalui media sosial. Akun Facebook mereka, Reog Surabaya Hiprejs, menginformasikan banyak kegiatan, lengkap dengan dokumentasi foto maupun video. Khalayak juga dapat menyaksikan adegan pementasan Reog Ponorogo dan Jaranan yang diunggah melalui YouTube dengan akun Reogsurabaya HIPREJS.
Ya, tugas kita bersama untuk dapat memberdayakan para seniman Reog Ponorogo dan Jaranan. Lestari seni dan budaya bangsaku, Indonesia!
o o o o o O o o o o o
(Foto #1: Dadak Merak. | Foto: FB Reog Surabaya Hiprejs)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H