Â
[caption id="attachment_413976" align="aligncenter" width="560" caption="Pemanfaatan air sungai di Sungai Ciliwung, Jakarta. (Foto: grebegairindo.blogspot.com"]
[/caption]. . .
Terima kasih, air!
Kamu yang selama ini membuat tenggorokanku tidak haus.
Kamu juga yang menjadi sumber kehidupan tanaman.
Tanpamu dunia ini tiada artinya.
Manfaatmu banyak sekali.
Karena kamu aku bisa membuat teh hangat.
Karena kamu juga aku bisa menyantap makanan berkuah.
Karena itu, kamu perlu dijaga dan dilestarikan.
Itulah petikan puisi yang ditulis Farel Aranta, siswa kelas 2 SDN Setia Darma 01, Bekasi, Jawa Barat, yang dimuat Media Indonesia edisi Minggu, 26 April 2015. Luar biasa bukan? Menggunakan gaya bahasa berpuisinya sendiri, Farel sudah menyadari betapa pentingnya menjaga dan melestarikan air.
Selain mengajak untuk melestarikan air, Farel --- yang menuliskan pusinya dengan judul Terima kasih, Air! --- juga meluapkan kegalauan hatinya. Terbaca pada bait puisi berikutnya:
Tapi apa?
Manusia kini mengotori sungai dengan sampah.
Dan pabrik mengotorimu dengan limbah,
Tak hanya di sungai dan selokan, tempat lainnya pun menjadi korban.
Kuingin, kamu terus bersih dan lestari.
Bila Farel yang masih kelas 2 SD saja sudah sadar akan pentingnya air untuk kehidupan, dan urgensi menjaga kelestariannya, lantas bagaimana dengan kita? Upaya menjaga kelestarian air musti menjadi kesadaran bersama. Maklum, krisis air sudah bukan isapan jempol belaka. Jangankan di daerah-daerah, bahkan di Jakarta saja tanpa disadari banyak pihak, krisis air semakin hari makin terasa. Salah satu indikasinya, mudah saja. Apa yang disampaikan Farel tentang sampah yang memenuhi sungai, hingga pabrik yang membuang limbah ke sungai, sudah bukan cerita baru. Semua itu mengancam kelestarian air sebagai bagian dari ekosistem yang penting.
Menurut Dirjen Sumber Daya Air (SDA) Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Mohammad Hasan, kebutuhan air di Jakarta sampai dengan 2030, diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Kebutuhan domestik ini mencakup kebutuhan rumah tangga dan air minum. Saat ini, sebanyak 80 persen dari air baku yang ada, banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan pertanian dan irigasi. Seiring berjalannya waktu dan ledakan jumlah penduduk, ketersediaan air baku terus menyusut. Belum lagi pencemaran sungai dan limbah polutan yang mencemari sungai sangat beresiko tinggi, bila dikonsumsi manusia. Faktanya, karena keterbatasan pasokan air baku yang bersih, warga di sekitar bantaran sungai masih banyak yang memanfaatkan air tersebut untuk air baku termasuk untuk dikonsumsi.
[caption id="attachment_413976" align="aligncenter" width="560" caption="Penggalian dan pengurukan/penimbunan lahan perairan di batas paling Selatan wilayah Situ Cileduk atau Situ Tujuh Muara di Kelurahan Pondok Benda, Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan oleh developer swasta. Foto diambil Jumat sore, 12 Desember 2014. (Foto: Gapey Sandy)"]
Sementara itu, data dari Bappenas menyebutkan, terdapat 12 kabupaten/kota yang mengalami defisit air bahkan sejak 2003 lalu. Jumlah ini diyakini bakal meningkat bila tidak dilakukan intervensi infrastruktur. Di Pulau Jawa, pada 2003 ada sekitar 77 persen kabupaten/kota yang mengalami defisit air, dan diperkirakan terus meningkat jadi 78,4 persen pada 2025. Ini artinya, Jawa akan mengalami defisit air sepanjang tahun.
Kondisi yang nyaris sama terjadi di Pulau Dewata. Krisis air yang dialami Bali, salah satunya diakibatkan eksploitasi SDA. Menurut Koordinator Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali, Wayan Gendo Suardana, penggunaan air di Bali saat ini telah melampaui kapasitas siklus hidrologi. Akibatnya, secara kuantitas volume dan kualitas air, Bali telah mengalami krisis air. Mengutip data dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) setempat, ada 200 lebih atau 60 persen Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengering, dan itu menjadi potensi kelestarian air permukaan. Bahkan, di Kuta dan Suwung, telah terjadi intrusi, satu kilometer di daerah Sanur sampai ke Suwung, dan delapan meter di daerah Kuta, intrusi tersebut terjadi. Dengan kata lain, terjadi penggunaan air bawah tanah yang sifatnya eksploitatif. (KIPRAH Vol. 55, Kementerian PU)
Apa yang terjadi di Bali, sebenarnya sudah diprediksi jauh-jauh hari. Penelitian Kementerian Lingkungan Hidup pada 1997 menyebutkan, Bali akan mengalami krisis air pada 2013, sebanyak 27 miliar liter. Sedangkan ahli hidrologi lingkungan Univesitas Udayana, Wayan Sunartha memperkuat prediksi tersebut dengan menyatakan bahwa, pada 2015 ini Bali mengalami defisit air sebesar 26,7 miliar meter kubik.
Sungai dan Situ Tercemar
Bagaimana contoh penelusuran kondisi pencemaran yang terjadi pada sejumlah sungai? Mari bergeser sedikit dari Jakarta, menuju Kota Tangerang Selatan (Tangsel). Data terbaru dari Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) yang disampaikan Kepala Bidang Pengawasan dan Pengendalian, Budi Hermanto menunjukkan, tiga sungai yang melintas di Tangsel --- yakni Sungai Cisadane, Sungai Angke dan Sungai Pesanggrahan --- sudah dalam kondisi tercemar berat!