Hari masih pagi. Jarum jam di arloji masih menunjuk angka 07.20 WIB. Buat banyak orang, hari Minggu (30 November 2014), adalah hari santai. Beda buat saya. Sudah sejak tadi malam, saya punya niat untuk mengagendakan reportase, tentang kasus pengrusakan lingkungan, yang sedang menjadi sorotan publik di Kota Tangerang Selatan (Tangsel).
Pengrusakan lingkungan yang dimaksud terkait adanya pengurukan lahan Situ Tujuh Muara---biasa juga disebut Situ Ciledug---yang berlokasi di Kecamatan Pamulang, Tangsel. Secara cakupan area, luas situ ini membentang dari Kelurahan Pamulang Barat, hingga ke Kelurahan Pondok Benda. Mengenai pengurukan lahan situ, sebenarnya bukan cerita baru di Tangsel, bahkan Situ Kayu Antap di Rempoa, Ciputat, kini tinggal cerita, karena sudah hilang akibat pengurukan dan lahannya berubah menjadi lahan property. Begitu pula dengan penimbunan dan penyerobotan area Situ Legoso di Ciputat Timur, yang lokasinya berdekatan dengan Kampus UIN Syarif Hidayatullah. Kondisi miris Situ Legoso pernah saya tulis dan menjadi Headline di Kompasiana, edisi 7 Desember 2013.
Untuk melakukan reportase mengenai pengurukan Situ Tujuh Muara, jujur saja, sampai pagi tadi saya belum punya narasumber untuk dapat menjelaskan tentang kasus yang menghebohkan, dan harusnya membuat Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany SH MH beserta jajaran Pemerintah Kota terkait lainnya ‘kehilangan muka’. Malu, karena pengurukan situ justru terjadi tidak jauh dari lokasi Kantor Walikota, yang sama-sama berada di Kecamatan Pamulang. Akhirnya, saya teringat untuk menjadikan para aktivis peduli lingkungan yang memiliki sekretariat di bantaran Situ Tujuh Muara, tepatnya di Jalan Witana Harja, Pamulang.
Saya melakukan surfing untuk mengetahui kelanjutan kasus pengurukan situ. Selain, mencari narasumber yang dapat cepat ditemui. Akhirnya, ketemu sejumlah nama aktivis pecinta lingkungan hidup. Organisasi mereka sudah cukup punya nama di Tangsel. Kebetulan, tercantum nomor kontak sekretariat, di situs yang mereka kelola.
Singkat cerita, terhubunglah saya dengan Dodi Harianto SE, Ketua Umum Organisasi Kepemudaaan (OKP) GANESPA atau Gugusan Alam Nalar Ekosistem Pemuda Pemudi. Melalui komunikasi telepon yang singkat, kami berjanji untuk bertemu di sekretariat OKP GANESPA, pukul 08.00 WIB. Kebetulan, kata Dodi, pagi ini sejumlah aktivis memang berencana untuk “turun” ke situ dengan menggunakan perahu karet, guna memantau kondisi kebersihan dan keasrian di area situ. Wowwww … itu artinya, besar kemungkinan saya juga akan bisa menumpang di perahu karet milik para aktivis OKP GANESPA, untuk melakukan pemotretan terkait pengrusakan lingkungan situ. Terbayang … reportase dari atas perahu karet, hahahahaaa …
Sambil mempersiapkan piranti reportase, saya mencoba untuk menghubungi rekan-rekan Kompasianer yang memang bertempat tinggal di Tangerang Selatan. Saya menghubungi Kompasianer Dzulfikar Al-A’la, sayang seribu sayang, rupanya anak Oom Dzulfikar sedang sakit, terpaksa kali ini ia absen dulu melakukan reportase bareng. Begitu pula dengan Kompasianer Rifki Feriandi yang ketika saya hubungi justru sedang berada di Bandung. “Saya sedang ada reunian. Padahal pengen banget ikut tuh liputan bareng,” sesalnya. Adapun Kompasianer Agung Han, saya tahu persis masih asyik rekreasi dengan para Kompasianer pemenang Kompasiana blog competition sebuah jasa kurir ke Yogyakarta. Akhirnya saya hanya bisa memperoleh jawaban positif dari Kompasianer Ngesti Setyo Murni, dan Ani Berta. Baik Bu Ngesti dan Teteh Ani, memang tinggalnya sama-sama di Pamulang, Tangsel. Jadilah kita bertiga janjian, untuk saling ketemuan dan melakukan reportase bareng, Minggu pagi ini.
* * *
Di Sekretariat OKP GANESPA, di pinggir Situ Tujuh Muara, kami diterima oleh Dodi Harianto SE, sang ketua umum, didampingi Iwan Pristiasya yang menjabat Dewan Pertimbangan Organisasi, dan Rendy Apendy yang berwenang untuk Divisi Lingkungan Hidup. Kami melakukan wawancara, di bawah rimbunnya pohon besar Kalpataru, dan pepohonan lainnya yang rindang. Suasananya fresh, dan santai. Bangku kursinya, hanya papan kayu yang dilapisi plastik sisa bahan spanduk. Ditemani sinar matahari yang mulai menggeliat, bau khas perairan situ yang “yummy”, dan sejumlah “nyamuk kebon” bertubuh belang hitam-putih yang “genit” menggigit.
Kepada kami yang mengaku sebagai blogger di Kompasiana, Dodi menjelaskan, kondisi Situ Tujuh Muara memiliki empat kategori pengrusakan. Pertama, adanya pengurukan lahan situ, yang akhirnya menjadikan luas total lahan menjadi semakin ciut. “Kalau dulu, luas totalnya mencapai lebih dari 33 hektar, kini kabarnya lahan situ menciut jadi 31,4 hektar. Malah, pada tahun 2004 silam, luas situ tinggal 26 hektar. Bersyukur, lahan yang diuruk itu sebagian telah dikembalikan seperti semula,” ujarnya sembari menyebut bahwa OKP GANESPA berdiri sejak 2004.
Akan tetapi, ketika saya membuka website Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Pemkot Tangsel, luas total lahan Situ Tujuh Muara (Situ Ciledug) ini malah semakin menciut lagi. Karena tercantum, luas lahan situ berdasarkan pendataan situ Tangsel pada tahun 2011, adalah 19.394 hektar. Dengan jumlah kavling penduduk yang berada di sekitarnya ada sebanyak 487 unit. Adapun jarak sempadan bangunan dari situ (danau) yang tertulis yakni kurang lebih 50 meter, jelas sama sekali sudah terlanggar di depan mata!
Kedua, sampah-sampah yang memenuhi kawasan perairan, termasuk yang bersebaran di bantaran situ. Sampah-sampah ini bisa dari mana-mana saja sumbernya, termasuk dari 29 titik saluran pembuangan air atau gorong-gorong yang masuk ke perairan situ. “Harapan saya, gorong-gorong air itu dibuatkan penyekat, sehingga hanya airnya saja yang masuk ke perairan situ, sementara sampah-sampahnya tersangkut di penyekat dan dapat dibersihkan dengan mudah. Begitu juga dengan sampah-sampah yang biasa ditinggalkan oleh para pemancing ikan. Bayangkan, kalau satu orang pemancing ikan membuang satu sampah plastik ke situ, dan bayangkan pula kalau jumlah pemancing setiap harinya ada puluhan orang, lalu, sampah-sampah itu akan terus bertambah lagi hari demi hari. Itu artinya, pemancing juga punya andil dalam ikut merusak, atau melestarikan situ,” papar Dodi.
Ketiga, pencemaran limbah. Sejumlah aliran limbah, menurut Dodi, diyakini masuk ke perairan situ, mulai dari limbah pengelola usaha salon kecantikan, pusat perbelanjaan, bengkel, rumah tangga, pabrik tahu, dan sebagainya.
Keempat, pengrusakan Situ Tujuh Muara juga diakibatkan oleh adanya pemancangan keramba-keramba di pinggiran situ. Malah ada juga yang menggunakan jaring berukuran “raksasa”, yang panjangnya bahkan mencapai 200 m x 10 m, dan membentang dari sisi situ yang satu ke sisi seberangnya. “Penggunaan jaring berukuran besar ini sangat disayangkan karena terbukti “menguras” isi situ, termasuk benih-benih ikan yang masih kecil, dan ada juga ular air yang tersangkut. Memang, selain kaya dengan aneka jenis ikan, situ ini juga banyak terdapat Lobster, dan Tutut,” kata Dodi.
Usai wawancara, Dodi mempersilakan kami bertiga memakai pelampung, dan bersiap menaiki perahu karet, untuk melihat langsung bagaimana kondisi sekaligus pengrusakan lingkungan yang terjadi di Situ Tujuh Muara. Laporan mengenai berkeliling dan memantau kerusakan perairan situ ini bisa dibaca pada hasil reportase Kompasianer Ngesti Setyo Murni, dan Ani Berta, beberapa saat ke depan. Yang pasti, hampir satu jam perahu karet warna merah ini mengelilingi sebagian perairan situ. Baik Dodi maupun Rendy, sembari mendayung, memaparkan sejumlah pengrusakan yang ada di depan mata. Mulai dari keramba liar, jaring “raksasa”, penyerobotan sedikit demi sedikit lahan area situ, pemagaran tembok batako di pinggir perairan area situ, gorong-gorong yang mengalirkan air limbah ke situ, sampah berbau busuk yang menggenang, dan masih banyak lagi.
* * *
Sayangnya, untuk mencapai lokasi area pengurukan Situ Tujuh Muara, tidak dapat dijangkau dengan menggunakan perahu karet. “Ada pendangkalan situ, untuk perairan yang menuju ke arah pengurukan itu. Dengan begitu, perahu karet tidak akan bisa menembus perairan yang dangkal itu. Kita harus merapat lagi ke sekretariat, dan melanjutkan reportase dengan kendaraan menuju ke lokasi pengurukan, yang sebenarnya hanya berjarak sekitar lima kilometer,” ujar Rendy memberi penjelasan.
Akhirnya, dengan sepatu yang basah kuyup---karena air menembus masuk ke perahu karet---, kami kembali ke secretariat OKP Ganespa untuk bergegas menaiki mobil sedan sporty Kompasianer Ngesti Setyo Murni, menuju ke lokasi adanya praktik pengurukan sebagian area Situ Tujuh Muara, yang beritanya cukup menggemparkan mayoritas warga Tangsel. Tak sampai sepuluh menit, kami sudah sampai di lokasi pengurukan.
Apa yang kami saksikan? Sungguh memprihatinkan sekali! Tanah merah membukit, dan sebagian sudah membentuk jalan tanah yang rata, menimbun lahan Situ Tujuh Muara. Luasnya, mungkin bisa jadi seukuran dua kali lapangan sepakbola. Tak jauh dari tempat kami berdiri di atas tanah merah yang menguruk atau menimbun area situ, terlihat ada dua alat berat yang terparkir dan tak beroperasi. “Kunci kendaraan alat berat itu sudah disita oleh pihak yang berwajib, dan kini, area pengurukan ini dijaga oleh Satpol PP Kota Tangsel. Artinya, pihak pengembang, PT Vila Pamulang, yang melakukan pengurukan lahan situ, tidak diperbolehkan lagi meneruskan agenda pembangunan proyek property perumahan cluster ini. OKP Ganespa, termasuk yang turut andil menentang pengurukan area situ ini,” jelas salah seorang aktivis yang mendampingi kami bertiga.
Lokasi pengurukan area Situ Tujuh Muara---di perumahan Vila Pamulang (Tangsel) yang menuju ke arah Reni Jaya (Sawangan, Depok)---memang hampir tertutup oleh tembok beton, sehingga aktivitas didalamnya nyaris tidak terlihat dari jalan raya. Tetapi, sebenarnya di wilayah tersebut, menjadi lokasi idaman bagi para pemancing ikan. Karena memang, di lahan tersebut terdapat beberapa tempat pemancingan, yang sebenarnya juga merupakan area situ, tetapi ironisnya, juga sudah dipetak-petak kondisi fisik arena pemancingannya. Banyak pemancing ikan tengah asyik menunggu umpannya disambar ikan. Mereka juga memperhatikan kami, yang sibuk melakukan pemantauan lokasi dan sejumlah pemotretan. “Wah, kita bakal masuk berita di Tabloid Mancing Mania nih,” seru seorang pemancing setengah tua berkaos biru muda. disambut gelak tawa rekan pemancing lainnya.
Selain lokasi pemancingan yang sudah mempetak-petakkan area situ, terdapat juga timbunan sampah yang mulai membukit dan menguruk area di dekat pemancingan. Sungguh memprihatinkan melihat timbunan sampah yang seolah dibiarkan untuk sekaligus menguruk atau menimbun sedikit demi sedikit area pinggiran situ. “Sampah-sampah ini memang sengaja dibuang di lokasi ini, dan berasal dari sampah rumah tangga dari perumahan-perumahan, jadi semacam Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang ilegal dan tentu saja merusak lingkungan,” ujar aktivis OKP GANESPA lainnya.
Sejauh ini, ulah pengembang mengurukan sebagian area Situ Tujuh Muara atau Situ Ciledug, telah mengundang kecaman dari banyak pihak. Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany yang tidak mau ‘kehilangan muka’ segera saja mengeluarkan pernyataan keras. Istri dari Tubagus Chaeri Wardhana yang kini berperkara hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini seperti dimuat Tangsel Pol (27/11) mengancam, akan mempidanakan pihak pengembang PT Respati Bangun Jaya, karena diduga kuat telah melanggar izin galian dan Perda tentang Penanggulangan Bencana.
“Sudah tidak boleh ada galian. Dia (pengembang – red) benar-benar sudah melanggar aturan yang ada. Pengembang tidak mengantongi izin galian, dan terpenting, ada Perda yang dilanggar, yakni Perda tentang Peanggulangan Bencana. Meskipun pihak pengembang mengaku memiliki sertifikat kepemilikan sebagian lahan situ, ataupun surat-surat lainnya, Pemkot Tangsel tetap tidak akan mengeluarkan izin pengurukan. Sebab diprediksi, pada masa mendatang, akibat pengurukan situ ini bakal menimbulkan bencana banjir. Sehingga akan menambah jumlah titik banjir yang ada di Kota Tangsel. Jadi, pengerjaan proyek itu benar-benar harus dihentikan,” tegas walikota yang akan menjabat hingga 2016 ini.
Sementara itu, hasil pertemuan dengan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSS) Dirjen Sumber Daya Air Kementerian PU, Dinas Bina Marga dan SDA Tangsel, Satpol PP, dan seluruh aparat kecamatan, telah mengambil kesimpulan bahwa pengerjaan proyek pengurukan sebagian lahan di Situ Tujuh Muara, Pamulang, adalah ilegal. Baca juga, Ancaman Pidana Bagi Pelaku Pengurukan Situ di Tangsel. (Trending Article edisi 14 Desember 2014)
Dengan sebegitu luas sebagian lahan situ yang sudah terlanjur ditimbun tanah merah, kiranya kini, tugas Airin bertambah dua lagi. Pertama, memastikan pengurukan itu selesai, dan mengembalikan kondisi sebagian lahan situ yang sudah tertimbun untuk dapat dikembalikan seperti semula. Dan kedua, Airin wajib menyelidiki siapa aparat dan jajaran dibawahnya yang kedapatan memberi izin galian terhadap pengembang yang bermasalah tersebut, sekaligus memberi sanksi hukuman administratif yang keras, terhadap aparat dan jajaran dibawahnya apabila kedapatan terbukti “berselingkuh/bermain mata” dengan pengembang tersebut.