Biarkan angin sore menemani gadis itu bermimpi. Pagi tadi gadis berusia sedang itu mendengar kata-kata yang membakarnya hingga berkobar di radio ada seorang bapak yang berkata “Jika lahir dalam keadaan miskin maka hal tersebut bukan salah anda. Tetapi jika anda mati dalam keadaan miskin maka sepenuhnya itu salah anda.” Kata-kata pamungkas itu seakan menjadi korek yang menyulut optimisme dalam dada seorang gadis yang belum paham benar seperti apa carut marut kehidupan di atas bumi ini. Tangannya semakin bersemangat menimba air dari sumur di belakang rumahnya, sore ini seperti biasa ia akan menimba air untuk mandi kakek neneknya, sedangkan adik-adiknya akan pergi mandi di sungai bersama dirinya. Tak ada yang perlu dikeluhkan dari pekerjaan menimba air untuk kakek neneknya, hal itu hanya hal kecil jika dibandingkan dengan ketidaknyamanan yang dia bawa bersama adik-adinya pada masa tua kakek neneknya.
Setelah memperoleh dua ember besar untuk mandi kakek neneknya, ia mengajak kedua adiknya untuk pergi ke sungai, mandi dan mencuci baju mereka sendiri. Jangan mengharapkan sosok ibu yang akan mencucikan baju mereka, mereka bukan anak normal seusia mereka yang dirawat oleh ke dua orang tuanya, orang tua merekapun tidak senormal orang tua pada umumnya. Sore ini Kartika mencuci cukup banyak, tumpukan baju dari kemarin yang belum sempat ia cuci. Kemarin adalah hari rutinnya berada di sekolah sampai larut sore untuk mengikuti ekstra kurikuler wajib di sekolahnya, pramuka. Jadi mau tak mau ia harus pulang sore dan menumpuk cucian kotor.
Pulang dari sungai didapatinya tetangga sebelahnya sedang membongkar hasil panen kebun mereka, tepatnya jagung. Berbunga-bunganya hati Kartika sore itu, ia tahu bahwa panen jagung tetangganya merupakan berkah sendiri baginya dan adik-adiknya. Dalam beberapa hari ke depan ia dan adik-adiknya akan membantu tetangganya “moceli” atau merontokan jagung dari tongkolnya. Biasanya mereka akan dibayar berdasarkan banyaknya jagung yang berhasil mereka rontokan. Ada alat tersendiri yang digunakan beberapa orang untuk merontokan jagung, bentuknya panjang dan berpisau sehingga orang tersebut hanya perlu menjepitnya di kaki dan kursi kecil mereka dan mendorong jagung itu, maka otomatis jagung akan rontok. Cara kerja perontok jagung ini tidak jauh berbeda dengan alat serut es. Sayang nenek Kartika yang sudah tua itu tak memiliki alat ampuh itu sehingga mau tak mau ia dan kedua adiknya harus melakkukannya manual. Merontokan satu baris jagung yang digunakan sebagai jalan, dan melanjutkan merontokan jagung-jagung disebelah jalan itu.
Kegiatan “moceli” jagung ini bisa berlangsung sampai satu minggu atau kurang, tergantung berapa ton jagung yang dipanen oleh para tetangganya. Dulu rumah neneknya juga sering dipakai sebagai tempat orang-orang “moceli” jika musim panen tiba, tapi semenjak seluruh kebun dijual oleh ibu Kartika tak ada lagi beda antara musim panen dengan musim-musim yang lainnya. Sekarang tiga bocah yang masih sangat muda itu harus pergi ke rumah tetangganya jika ingin menambah uang saku mereka dengan membantu tetangga mereka “moceli.” Tidak ada beban atau keterpaksaan di dalam hati mereka, mareka ikhlas melakukannya bahkan senang. Bayangkan saja mereka bisa berkumpul dengan orang banyak dalam satu ruangan, mendengarkan para ibu bercerita tentang banyak hal, dan menikmati kopi dan makanan ringan yang disediakan oleh si empunya rumah. Hal seperti itu sungguh menyenangkan bagi anak seusia mereka, keramaian di tengah-tengah pedesaan yang sungguh sepi ketika malam datang tidak lagi membosankan ketika musim panen palawija datang.
Mereka bertiga bekerja tim, Kartika si anak sulung bertugas membuat jalan pada tiap-tiap jagung dengan pisau yang dibawanya dari rumah, dan memberikannya pada kedua adik mereka. Adik mereka dengan cekatan akan merontokan seluruh biji-biji jagung yang ada pada tangan mereka. Mereka tidak takut tangan mereka akan pedih, bayangan uang saku tambahan cukup membuat mereka melupakan rasa pedih yang diakibatkan oleh pekerjaan mereka. Adik paling kecilnya nampak jelas beremangat “moceli” jagung yang berada ditangannya. Sebelum berangkat tadi, bocah ini sudah mengatakan bahwa jika gajinya cukup maka ia akan memakai gaji “mocelinya” untuk membeli sepatu bola murah lalu ia akan mengesol (menjahit) sepatu itu agar awet. Bayangan dapat berlatih bola dengan anak-anak seusianya sudah terlintas di benaknya. Kartika hanya tersenyum mendengar celoteh adik bungsunya, ia hanya membatin jika memang cukup maka seluruh hasil “moceli” mereka kali ini akan digunakan untuk membelikan adik bungsunya sepatu bola. Sedangkan untuk keinginannya sendiri dan adik keduanya mungkin akan terpenuhi dengan ikut “moceli” di tempat tetangganya yang lain.
Malam itu mereka bertiga bahagia, merasa sama dengan yang lainnya. Setidaknya bisa mendengar gelak tawa gurauan ibu-ibu yang kadang susah untuk mereka mengerti. Hasil merekapun tak kalah jauh dengan yang lain, walaupun mereka menggunakan alat yang memudahkan mereka tapi kekuatan keinginan sebuah sepatu bola ternyata bisa menjadi bahan bakar yang tak kalah hebatnya.Kegiatan “moceli” ini mungkin akan berlangsung sampai dua hari mendatang. Hasil panen tetangganya yang satu ini tak begitu banyak, lagi pula yang membantupun cukup banyak sehingga pasti akan lebih cepat menjadikan gundukan biji-biji jagung itu terpisah dari tongkolnya.
Hari terakhir yang ditunggu-tunggupun tiba, hari gajian, hari sepatu bola adik bungsunya. Mereka mendapatkan uang lima puluh ribu rupiah untuk tiga hari kerjanya. Mungkin seharusnya hanya sekitar tiga puluh ribu akan tetapi entah mengapa tetangganya biasa memberi uang plus untuk mereka bertiga, itung-itung zakat kata mereka. Sumringah sekali wajah mereka bertiga malam itu, sudah terbayang dalam benak Kartika besok sepulangnya dari sekolah ia akan mampir ke pasar dekat SMP nya dan membelikan sepasang sepatu bola idaman adiknya. Kedua adiknya tak kalah terlihat bahagia, mereka merasa kaya malam itu, sepertinya gaungan kata-kata di radio benar-benar nyata membakar semangat Kartika untuk menjadi kaya.
Sesampainya di rumah didapatinya seorang laki-laki sedang ditemui neneknya. Neneknya nampak bingung walaupun tersamarkan oleh redupnya lampubohlam kuning di ruang tamu mereka. Setelah diamati rupanya tamu bulanan di rumah tua mereka, Pak Wono. Seorang laki-laki paruh baya yang mempunyai tugas mengumpulkan iuran listrikdi kampungnya. Ia tahu, biasanya neneknya merelakan satu ayamnya untuk membayar iuran listrik rumah mereka, tapi dengan muka seperti itu Kartika tahu neneknya tak mempunyai persediaan untuk iuran listriknya bulan ini. Kartika memberanikan diri menanyakannya pada Pak Wono jumlah iuran listrik yang harus dibayarnya. Tanpa pikir panjang ia mengeluarkan uang hasil “moceli” dirinya denga kedua adiknya sebanyak Sembilan belas ribu rupiah untuk sedikit menghapus kerutan bingung di wajah tua neneknya. “Sisanya masih cukup untuk membeli sepatu dan menjahitkannya” bisiknya pada adik bungsunya sembari tersenyum.
Kau pernah merasa hatimu dipenuhi bunga-bunga kebahagiaan atas kebahagiaan orang yang kita cintai? Itulah kebahagiaan kami bertiga malam ini setelah melihat sedikit senyum mengembang di wajah tua nenek…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H