Mohon tunggu...
dini agista
dini agista Mohon Tunggu... -

Hanya saya...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Questions for Tonight

28 Mei 2010   13:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:54 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Malam yang masih bertanya

“Bertahan sama betahan tu beda. Din” Kata-kata arif malam itu menjadi perkataan super enteng yang diabaikannya didepan si empunya kata-kata, tapi juga menjadi perkataan teguran yang benar-benar dipikirkan Dinda. Arif sosok yang sudah sangat lama dikenalnya bahkan mungkin sudah berlumut dikehidupan Dinda berkata seperti itu malam tadi, mendengar cerita Dinda tentang deadline nikah dari orang tuanya. Umur gadis itu sudah menginjak angka 27 tahun, bukan usia belia lagi yang bisa berpacaran hanya dalam hitungan minggu kemudian putus lantaran bosan. Ibunya di rumah beberapa kali telah menanyakan niatnya untuk menikah dan dia hanya menjawab jodoh bukan kuasanya.

Bertahan? Dinda nampak mulai memilah-milah kata-kata penyusun kalimat temannya itu. Bertahan hidup, bertahan? Bertahan? Bertahan? Apa sebenarnya arti dari kata itu. Dinda merasa sudah sering mempertahankan hubungannya, Dinda sudah mencoba mengurangi sedikit egonya dan mengalah bahwa laki-laki juga ingin dimengerti, tapi toh ujung-ujungnya tak ada laki-laki yang bertahan dengannya sampai saat ini, bahkan sekarang dia nampak jomblo, sendiri, nggak punya calon suami. Mempertahankan mungkin bisa diartikan mengusahakan sesuatu agar tetap pada tempatnya, tidak berubah, tidak pergi, tidak mennghilang. Lalu apa bedanya dengan kata berikutnya “betahan”. Betah artinya menyukai sesuatu dalam jangka waktu yang lama, melakukan sesuatu pada jangka waktu yang lama, berada pada satu posisi dalam jangka waktu yang lama. “Ya jelas bedalah! Kata nya saja udah beda!” Dinda nampak gusar dengan perkataan singkat itu.

Hapenya berdering.

“Halo assalamualaikum.” Jawabnya tak lama setelah Jason Mraz bernyanyi merdu dihadapannya.

“Waalaikumsalam din.”

“Gimana bu, tumben malem-malem telfon?”

“Enggak, pengen denger kabar kamu aja. Kamu ini kalo di sms jarang bales, harus ditelfon biar ibumu sendiri tau kabarmu.”

Dada Dinda agak tersentak, memang akhir-akhir ini ia terlalu sibuk untuk membalas sms ibunya. Ingin rasanya meminta maaf atas kesibukannya itu. Ibunya bukan tipe orang tua yang senang diperhatikan, jadi kalau sampai ibunya berkata seperti itu berarti memang sudah terlalu lama Dinda tidak memperhatikan keadaan orang tuanya di kampung. Rasa bersalah sedikit menyergap tulang rusuk gadis berperawakan tinggi itu.

“Iya bu maaf. Dari kemarin Dinda sibuk ngurus rapat besar di kantor. Ibu gimana? Sehat?”

“Alhamdulillah sehat, kamu gimana? Udah nggak suka batuk lagi kan?”

“Iya bu Alhamdulillah lama nggak kambuh.”

Paru-paru Dinda cukup bermasalah dari kecil. Saat usianya baru menginjak 6 tahun dokter memfonisnya terkena flek, dan dia dan ibunya harus bolak balik setiap minggu untuk mengobati penyakitnya itu. Penyakit itu memang sudah sembuh, dokter menyatakan paru-paru Dinda normal setiap kali ronsen, akan tetapi penyakit itu seakan memberikan jalan tol untuk datangnya penyakit batuk. Dinda menjadi gadis yang gampang terkena batuk ketika ia terkena influenza. Batuk seakan menjadi penyakit lanjutan setelah serangan influenza menyerangnya. Dinda kecil sudah terbiasa dengan obat, sudah terbiasa dengan bau Rumah Sakit, mungkin itu yang membuatnya benci setiap kali ia disuruh meminum obat pada saat sakit, bosan katanya.

“Dijaga ya, kamu itu kan kalo batuk awet banget. Bisa dua minggu nggak pergi-pergi.”

“Iya bu.”

“Betah tenan batuk itu kalo deket-deket kamu Din.”

Betah? Sebuah kata yang sedari tadi sedang dipikirkannya. Dari konteks kalimat ibu disini, betah berarti bisa diartikan bertahan lama. Betah? Bertahan? Dua kata yang pada dasarnya saling berkaitan, bahkan kata yang satu bisa jadi menjadi penjelas dan arti kata dari kata yang lainnya. Kenapa kata-kata tidak peting itu harus dipikirkan begitu serius olehnya. “Apa pentingnya memikirkan kalimat Arif tadi malam” desah Dinda pada dirinya sendiri. “Penting karna kata arif gue bisa kawin kalo bisa ngerti dan paham makna kata itu,” jawab Dinda pada dirinya sendiri.

“Iya bu. Bapak gimana? Sehat?

“Sehat Din, Cuma ya itu sering ngeluh kakinya sakit.”

“Iya bu, obat yang Dinda kirim masih rutin diminum kan? Kalo habis nanti Dinda kirim lagi, ambil dari dokter dulu.”

“Masih kok Din. Bapakmu itu kan suka lupa kalo minum obat.”

“Owh, lha mbak Lani sekeluarga gimana bu sehat? Yudha sehat?”

“Sehat Din, Masmu yo tambah lemu. Lha kowe kapan arep nyusul mbakyu mu? Ndak selak disalip Jihan, adhekmu.”

“Nggak papa bu kalo Jihan memang sudah ada calonnya, Dinda nggak papa dilewatin dulu.”

Jawaban yang tetap setiap kali ibunya menanyakan hal itu dan menyangkut pautkan dengan Jihan adiknya yang masih kuliah semester akhir. Jihan berbeda dengan Dinda, dia pacaran dengan pacarnya sudah dari semester awal, dan bertahan sampai saat ini. Kedua keluarga nampaknya sudah setuju dengan hubungan mereka, oleh karena itu Dinda selalu siap untuk diloncati Jihan dalam hal pernikahan. Dinda selalu putus dengan pacar-pacarnya, dan nggak ada yang bertahan dengannya.

“Hus. Nggak boleh ngomong gitu. Dulu ibu ngelarang kamu melompati mbak Lani, sekarangpun kamu harus usaha, minta sama Gusti Alloh biar dikasih jodoh yang tepat. Jodoh itu hal yang sangat rahasia ketemunya kapan.”

“Iya bu, makanya kasihan Jihan kalo musti nunggu Dinda yang nggak jelas jodohnya ditaruh Tuhan dimana.”

“Ah nggak boleh begitu, kalian kan sama-sama wedok, ibu doain aja darisini biar jodoh kamu udah deket.”

“iya bu.”

“Ya udah, udah dulu ya Din. Jaga kesehatan, jangan sampe batuk. Vitamin C nya jangan lupa.”

“Iya bu.”

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

“Huhhhhhh” Dinda nampak menutup mukanya dengan bantal sofanya. Kalimat itu sungguh sering muncul dalam percakapannya tadi dengan ibu. Batuk yang katanya betah kalo deket-deket sama Dinda, Jihan yang bertahan sampai lama dengan pacarnya. “Oh my God. Arif you throw me into hell!” teriaknya.

Ting tong. Suara bel rumahnya berbunyi. Badannya masih terlalu letih karna aktifitasnya hari ini, kantornya mengadakan big family gathering pagi tadi. Acaranya berlangsung sampai malam, dan malam ini Dinda baru bisa pulang jam sembilan malam. “Dan ini siapa malam-malam seperti ini memncet belnya” pikir Dinda.

“Siapa?” Takut dengan gelagat orang di depan pintunya Dinda hanya bertanya kepada tamunya sembari berteriak.

“Gue” Suara Arif terdengar tak begitu jelas dari belakang pintu rumahya.

“Siapa?” Dinda nampak pura-pura tidak tahu dengan suara yang hampir didengarnya selama tujuh tahun terakhir.

“Hah gaya lo!”

“Sial!” Sahut Dinda sembari berjalan membuka pintu untuk tamu tak diundangnya malam itu.

“Have found the answer?” Pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Arif begitu melihat Dinda membukakan pintu untuknya.

“I don’t even think about that weird sentence.”

“I have made a decision, and I want you to know my big decision in my life.”

“Ah nggak penting gue tau keputusan idup lo rif. Hahahahaha” Canda Dinda sembari duduk kembali di sofa nyamannya.

“I’m serious.”

“Apa?”
“Keluar dan lo bakal tau jawabannya.”

“Nggak mau, capek gue. Lagian ribet lo. Udah lo yang bikin keputusan, maksa gue buat tau, sekarang nyuruh gue bolak balik keluar masuk rumah.”

Belum sempat cerocosan Dinda selesai, terdengar seseorang mengetok pintu rumahnya.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Jawab Dinda.

“Rif bukain pintu dong, gue bergidik ada yang bertamu malem-malem. Suara ibu-ibu pula. Jangan-jangan Suzana.”

“Ah nggak mau gue, bukan tamu gue ini. Nggak sopan tau. Lagian badan segedhe itu masih takut sama Suzana.”

Akhirnya Dinda beranjak juga dari sofanya, membukakan pintu untuk tamunya berikutnya. “Sungguh aneh malam ini, banyak tamu tak diundang datang ke rumahnya.” Desahnya sembari berjalan.

“Dhek Dinda?” Suara halus seorang ibu seakan memberikan sauna kehangatan pada diri Dinda. Ia lupa lelahnya, yang ada ingin memeluk sang ibu, melepas kekangenannya pada ibunya. Tapi ini ibu siapa, malam-malam seperti ini mencarinya?

Disebelahnya nampak seorang bapak berperawakan tinggi besar mendampingi ibu yang kini berada dihadapannya. Dinda bisa menebak kalau mereka berdua adalah sepasang sumi istri. Lalu ada apa malam-malam seperti ini mencari dirinya?

“Iya bu, saya Dinda. Ada yang bisa Dinda bantu bu?”

Ibu itu nampak tersenyum pada dirinya, tapi nampak tidak fokus pada Dinda, ia menoleh kebelakang dan berdiri sosok Arif dibelakangnya yang nampak sedang tersenyum juga. Dinda semakin bingung dengan semua ini. Belum sempat ia bertanya pada Arif, sahabatnya itu telah mendahuluinya.

“I will propose you Din. I love you and I want you to be my ever lasting wife.”

Dinda hanya melongo mendengar suara sahabatnya seperti berada dalam dunia mimpi. Malam ini benar-benar aneh baginya. Bertahan dan betahan yang belum sempat terjawab,telfon dari ibunya, kedatangan Arif malam-malam, dua sosok orang tua dihadapannya, dan sekarang suara Arif yang melamarnya.

“Gue nggak becanda Din.”

“Silahkan masuk bu, pak.” Dinda nampak tak menghiraukan kata-kata Arif dan mempersilahkan kedua orang tua yang kini telah diketahui identitasnya paling tidak Dinda tau mereka orang tua Arif, kedalam rumahnya yang sungguh telah menjadi mosaic berantakan.

Dinda masih sepertiberada di alam mimpi, bingung dengan semua pertanyaan belum terjawab yang didapatinya malam ini. Dalam mimpinya ia mengiyakan sebuah gandengan dari tangan yang tidak ia ketahui pemiliknya.

“Malam yang aneh ini akan segera berganti, dan biarlah semua jawaban akan kutemukan esok hari.” Bisiknya pada diri sendiri.

*Igauan pengidap Flu*

Semarang 27, 05, 2010

17:34

Kamar Kos

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun