Sebelum malam menutup masanya, matanya mengembara mancari secerca cerita yang coba ia ungkapkan. Usianya tak lagi muda, berkepala tiga. Ia seorang laki-laki sejati yang belum beristri. Entah jodoh ditangan Tuhan atau adal hal lain yang mempengaruhi cepat lambatnya seseorang bertemu jodohnya, itu yang sedari tadi coba ia cari. Dibilang mapan, usianya telah berhasil mengantarkannya menuju hal tersebut, dibilang tampan, walau mungkin tak terlalu istimewa tak ada yang salah dengan karunianya, lalu apa yang membuatnya ditinggal teman-temannya yang kini mulai menimang momongan.
Ia berjalan, melihat foto ibu dan bapaknya, foto adik-adiknya yang telah berkeluarga. Bukan sedih hanya masih bertanya kapan ia akan seperti mereka, mempunyai apa yang dinamai keluarga. Tuhan yang tau, dan Tuhan yang mengaturnya. Kalau Tuhan menciptakan segala yang ada agar umatNya berpikir maka malam ini akan ia habiskan untuk berpikir, jiwa raganya akan ia gadaikan untuk sebuah jawaban atas apa yang selama ini ia nantikan.
Siapa yang bisa menjelaskan masalah mati, rahasia hati, dan jodoh. Jika rejeki sedikit bisa dicermati maka jodoh adalah hal mudah yang juga susah untuk dijelaskan. Ia teruskan langkahnya kali ini ia menatap bingkai foto yang nampak terbalik. Lama ia tidak melihat foto-foto itu dengan cermat, selama ini si mbok yang selalu membersihkan rumah megah yang ia tinggali sendiri, tanpa keluarga. Ia balik bingkai foto itu, nampak sebuah senyuman yang lama tersembunyikan di balik bingkai, wajahnya nampak menunduk. Entah perasaan apa yang menjalar di hati laki-laki penyimpan sepi.
"Bapak dan ibu sudah coba kamu ajak bicara?"
Suara di belakangnya nampak sedikit mengagetkannya.
"Belum, aku belum berani. Kamu tau sendiri kesehatan bapak akhir-akhir ini seperti apa."
"Lalu bagaimana tentang rencana kita? Kita tunda lagi, atau lebih baik kita akhiri? Aku perempuan ngga, beda sama kamu, usiaku bulan depan masuk tiga puluh. Ibu beberapa kali menanyakan rencana kita untuk menikah."
"Iya aku tahu, sabarlah bulan depan saat ulang tahunmu ada kejutan special untuk kamu. Besabarlah sebentar lagi."
Hubungan Rangga dan Nisa sudah terjalin cukup lama, hampir lima tahun mereka mempertahankannya. Tidak mudah menjalani cinta yang dilandasi oleh kepercayaan yang berbeda. Rangga dan Nisa bukanlah sebuah cerita Romeo and Julliet, mereka hanya manusia biasa. Keluarga Nisa menerima Rangga dengan baik, mereka mau menerima Rangga dengan agamanya, ayah dan ibu Nisa tidak mempermasalahkannya, hal langka yang dapat ditemui di dunia. Disisi lain orang tua Rangga belum bisa menerima agama Nisa, Nisa adalah hal yang tak akan pernah terpisahkan dengan agamanya, kepercayaannya, ia tak mau menerima kemauan orang tua Rangga untuk meninggalkan kepercayaannya, toh selama ini ia menganggap Rangga sebagai satu kesatuan dengan agamanya.
Waktu adalah satu yang tak akan pernah membatu, ia akan terus berubah dan merubah, itu yang alami. Waktupun yang akhirnya merubah, Rangga memutuskan untuk bertunangan dengan wanita satu agama dengannya, ia memberitahu nisa tepat pada hari ulangtahunnya. Nisa menerima, baginya tak ada yang sia, termasuk mencintai Rangga dan penantiannya atas kepastian dari Rangga. Semuanya telah tersiapkan dengan rapi. Walau ia tak dapat menolak air mata yang perlahan bergulir tapi toh akhirnya Nisa tabah melepas harapannya di usianya yang genap berkepala tiga. Ia legawa menerimanya...