Mohon tunggu...
ganyong
ganyong Mohon Tunggu...

Orang yang telah mencapai batas rata-rata usia harapan hidup, namun tetap sehat dan bugar karena praktek 'pola hidup sehat'

Selanjutnya

Tutup

Politik

Susno "mBalelo"

13 Januari 2010   04:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:29 1896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

mBalelo”, adalah istilah bahasa Jawa yang artinya “membangkang perintah atasan”, “menentang arus”, atau dalam cerita pewayangan sering digambarkan sebagai memberontak, memihak kepada musuh, karena punya keyakinan sendiri akan suatu hal, tidak puas dengan kedaan yang ada disekelilingnya yang menyangkut dirinya.
Seperti halnya dalam cerita Ramayana versi wayang Jawa, adik Rahwana: Gunawan Wibisana “mbalelo” menyeberang dan memihak Rama dan pasukannya, karena berpendirian kakak kandungnya bersalah, dan berbuat angkara dengan tidak mau mengembalikan isteri Rama yang diculiknya. Bahkan dalam peperangan, Wibisana membuka rahasia kesaktian balatentara Rahwana, hingga mereka dapat ditaklukkan.
Kehadiraan Susno Duaji, yang Jendral bintang tiga Polisi, sebagai saksi a de charge dipersidangan Antasari Ashar, mantan Ketua KPK yang dituduh sebagai dalang pembunuhan Nasrudin, menggegerkan dunia Kepolisian.
Secara formal, Susno dituduh indisipliner, melanggar ketentuan peraturan di Kepolisian, karena menjadi saksi di sidang Pengadilan Negeri tanpa ijin atasan, pada jam dinas, dan memakai pakaian dinas pula.
Secara material (ini yang tidak dikatakan oleh Petinggi Polisi), kesaksian Susno telah membuka aib Polisi, karena ternyata Irjen Pol Hadiatmoko, yang dalam struktural Kepolisian adalah Wakil Bareskrim yang dijabat Susno, ternyata dalam penyidikan kasus Antasari, diluar pengetahuan Susno, telah ditugasi oleh Kapolri sebagai Pengawas penyidikan dan pencari motivasi, kenapa Antasari mendalangi pembunuhan itu. Susno mengaku semula tidak tahu keberadaan Tim ini, karena sebelumnya tidak pernah dilapori perkembangannya, sebab laporan Hadiatmoko langsung ke Kapolri.
Susno baru mengetahui penugasan Hadiatmoko itu setelah Hadiatmoko dengan tim-nya gagal menemukan motivasi Antasari, dan dia diminta bertanggung jawab.
Padahal Hadiatmoko dalam kesaksian dibawah sumpah pada sidang sebelumnya, mengatakan bahwa dia tidak punya kepentingan apa-apa dalam penyidikan Antasari, karena sudah ada tim penyidik sendiri yang ditunjuk.
Salah satu implikasi kesaksian Susno di Pengadilan Negeri itu, yang terpenting adalah : kalau kesaksian Susno ini diterima sebagai kebenaran, bahwa Hadiatmoko adalah Pengawas dari penyidikan kasus Antasari, berarti keterangan Hadiatmoko dibawah sumpah sebelumnya itu bohong, dan ini adalah perbuatan pidana.
Bilamana kasus yang sekarang sedang dalam proses pemeriksaan Pengadilan membuktikan bahwa: Polisi benar telah merekayasa kasus penempatan Antasari sebagai terdakwa otak pembunuhan Nasrudin, maka publik tidak tahu lagi harus menilai apa terhadap institusi Polisi kita sekarang ini. Padahal dalam keadaan sekarang, ketika Tentara tidak lagi berperan dalam pranatan sipil, Polisilah yang diandalkan sebagai aparat penegak hukum terdepan.
Tanpa mencoba sok jadi analis, mengapa Susno “mbalelo” sedemikian terhadap institusinya sendiri, kesaksian yang dibawah sumpah di Pengadilan Negeri ini, menguak fakta bahwa Kepolisian Negeri ini memang sedang dirundung masalah. Dan Susno dengan “gagah berani” mengatakan: “ Kesaksian saya di Pengadilan untuk menegakkan kebenaran..”
Publik menghargai prestasi gemilang Polisi yang telah mengeliminir pentolan teroris yang mengacau negeri ini, tetapi  sayang, justru intern Polisi sendiri menunjukkan ada yang tidak beres dalam tubuh Polisi sendiri. Mulai dari perilaku bintara atau prajurit lapangan yang bertindak melukai rasa keadilan rakyat : kasus penembakan di Sumatra (yang dikatakan “sudah sesuai prosedur”) dengan beberapa korban terluka, salah tangkap dan pengeroyokan terhadap peneliti dari Universitas Indonesia, dan berbagai kasus lain.
Semua itu dengan enteng dibilang oleh Kapolri tanpa rasa bersalah : “ya, karena para bintara itu selepas sekolah (umum) hanya dididik selama 4 bulan, dan magang selama 4 bulan.”
Kok sampai hati ya, dengan dasar persiapan seperti itu, mereka diberi seragam, pangkat, senjata untuk terjun langsung ke tengah rakyat, mengatasi langsung berbagai problem hukum.     Karena masalah di Kepolisian ini sudah berada pada level tertinggi institusi Kepolisian, maka hanya Pimpinan tertinggi Nasional yang mestinya mengatasi hal ini. Tidak cukup hanya dengan perintah supaya Kepolisian memperbaiki diri sendiri, seperti tindak lanjut dari Tim 8 tempo hari. Cukup sudahlah publik menyaksikan penyelesaian kasus Cicak lawan Buaya, yang menghabiskan nafas dan energi menunggu termangu-mangu keputusan Pimpinan Nasional yang begitu lamban.
Tetapi harapan akan adanya tindakan tegas, cepat dan tepat dari Pimpinan Nasional, mungkin seperti pepesan kosong, mengingat gaya Sang Pemimpin Nasional kita sekarang.
Kita tunggu tindakan hakim dengan adanya dua kesaksian dibawah sumpah yang bertentangan ini. Kalau hukum benar akan ditegakkan, salah satu harus diseret kemuka Hakim lagi dengan tuduhan memberikan ketrangan palsu dibawah sumpah, sesuai Pasal 242 ayat 2 KUHP, ancaman hukumannya maximal 9 tahun penjara.*****

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun