LUAR biasa! Aksi “Kita Indonesia” yang diisi dengan parade seni dan budaya di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu, 4 Desember (412), semakin melengkapi aksi 212 yang berakhir super damai setelah Presiden Jokowi turun ke Monas dan bergabung dengan massa melakukan salat Jumat.
Aksi 212 dan 412 tentu tidak bisa didikotomikan atau dipertentangan sebagai aksi balas kekuatan. Tidak. Jika pun ada pihak yang mengompor-ngompori, tidak akan nyambung.
Aksi 212 adalah zikir dan doa bersama, sedangkan 412 adalah pawai budaya yang sarat dengan perbedaan namun punya “roh” yang sama: bhineka tunggal ika. Berbeda-beda tapi satu: Indonesia. Oleh sebab itulah saya bisa pahami jika pihak yang punya gawe (Aliansi Kebangsaan Indonesia) menamai pergelaran budaya tersebut 411 dengan sebutan “Kita Indonesia.”
Belakangan tagline “Kita Indonesia” direvisi dengan tambahan sub-tagline “Rayakan Indonesia” karena sehari sebelumnya Timnas Garuda menang 2-1 atas Vietnam dalam semi final kejuaraan Piala AFF. Cocoklah, acara 412 sekaligus dijadikan acara syukuran sekaligus penyemangat bagi Timnas.
Karena itu, pas pula kalau MC acara 412, Tantowi Yahya, menyebut parade budaya 412 adalah pelengkap doa bersama 212 yang berakhir damai. Maka acara 412 semakin mengukuhkan fakta bahwa kita berbeda-beda tapi satu: Indonesia. Ya, kita Indonesia. Acara 412 pun berakhir damai.
Sekali lagi keindonesiaan 412 dan 212 tidak bisa dibanding-bandingkan dan lalu terbangun tembok “kami di sini” dan “kamu di sana.” Dalam jumlah massa misalnya, acara 212 tentu lebih banyak. Tak usahlah kita mengklaim aksi 212 dihadiri sejuta umat dan pesta kebhinekaan 412 dihadiri segelintir manusia.
Penasaran dengan pergelaran 412, pagi itu saya sengaja datang ke Bundaran HI. Saya tidak mungkin memanipulasi fakta bahwa kebhinekaan kita tetap ada. Semoga gelora 412 memotivasi semua komponen bangsa ini untuk merawatnya.
Saya menitikkan air mata saat ikut menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Pagi itu saya berdiri di bawah bendera raksasa merah putih. Dipayungi merah putih, saya merasakan ada kehangatan. Indonesia merah putih melindungi saya.
Hati ini semakin bergetar saat puluhan ribu burung merpati lambang perdamaian dilepas. Mereka terbang mengangkasa entah ke mana. Saya membayangkan burung-burung itu terbang mengelilingi Nusantara yang demikian luas, indah dan kaya.
Saya juga semakin merasakan sebagai orang kaya di negeri ini setelah melihat berbagai atraksi kesenian dan budaya dari berbagai daerah. Ada reog Ponorogo, onggok-onggok Bali, barongsai dan sebagainya.
Ah, di panggung yang berbeda, saya melihat ibu-ibu (ada yang berhijab dan tak berhijab) kompak melakukan senam (menari) bersama diiringi lagu “Maumere”. Mereka bersukacita, tersenyum bersama. Duh, indahnya persaudaraan dalam keberagaman.