SELASA 22 Juli saya perkirakan sebagai hari “final” proses Pemilu Presiden (Pilpres) 2014. Namun, episode pilpres itu rupanya masih berlanjut setelah capres nomor urut 1 Prabowo Subianto mendeklarasikan menolak hasil penghitungan suara yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang saat itu (proses penghitungan belum selesai) menunjukkan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla unggul.
Kesimpulannya, proses pilpres belum berakhir, sebab kubu Prabowo mengajukan gugatan hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pihak yang digugat adalah KPU, sebuah lembaga negara independen, namun oleh Prabowo dituding tidak independen, karena dianggap berpihak kepada pasangan capres-cawapres nomor urut 2 (Jokowi-Jusuf Kalla).
Konsekuensinya, “perang” opini pun, terutama di media sosial masih terus berlanjut, bahkan di saat sebagian besar masyarakat Indonesia merayakan Idul Fitri 1 Syawal 1435 (28-29 Juli 2014).
Yang memprihatinkan, opini-opini yang dilontarkan para netizen tersebut umumnya bernada minor setelah Prabowo dan para pendukungnya melantunkan nyanyian dengan suara sumbang. Olok-olok kepada Prabowo pun dengan sendirinya belum berakhir, sebab ia dan sekutunya masih doyan melemparkan “bola panas” dan segera ditangkis oleh lawan mainnya.
Media sosial rupanya dimanfaatkan para netizen sebagai arena pertandingan yang dianggap kondusif untuk beropini. Bahkan, tim capres nomor 1 pun merasa perlu memanfaatkan Youtube untuk menyiarkan pidato “perlawanan” jagoannya (Prabowo) yang intinya hendak mengabarkan bahwa: “Kami belum kalah dan akan terus berjuang supaya menang dengan berbagai cara.” Belakangan tayangan video ini justru memunculkan olok-olok baru.
Andai saja Prabowo dan pendukungnya tidak memantikkan korek api, boleh jadi tidak akan ada benda yang terbakar lalu memunculkan asap dan asap itu terbang ke segala arah.
Tapi, apa mau dikata, pihak Prabowo rupanya masih senang menyimpan bara, sehingga mengundang reaksi miring (cemas) dari masyarakat. Berikut adalah reaksi publik atas apa yang dilakukan Prabowo dan para pendukungnya lalu dijadikan bahan olok-olok di media sosial:
1.Prabowo hanya siap menang dan tidak siap kalah: Pidatonya yang menolak hasil penghitungan suara di KPU dinilai banyak pihak bahwa Prabowo tidak siap menerima kekalahan dan maunya hanya menang. Pidatonya yang disampaikan di Rumah Polonia membuktikan bahwa Prabowo berambisi besar menjadi presiden apa pun kondisinya. Pidatonya yang disampaikan secara berapi-api itu membuktikan analisis para ahli psikologi bahwa Prabowo memiliki kepribadiangrandiose. Menurut ahli psikologi Abdul Muluk, kepribadian grandiose dalam diri seseorang yang ambisius tak bisa disembuhkan. Kepribadian tersebut berciri-ciri suka memberikan penilaian berlebihan atas diri sendiri, suka pamer kekuasaan, dan memiliki hasrat kuasa superioritas yang akut atau disebut pula megalomania.
2.Menarik diri tidak identik dengan mengundurkan diri: Dalam pidatonya di Rumah Polonia, Prabowo mengatakan menarik diri dari proses penghitungan suara di KPU dan tidak mengakui hasil penghitungan suara KPU. Banyak pihak menafsirkan bahwa Prabowo mengundurkan diri, konsekuensinya ia harus menerima apa pun hasil KPU. Namun Tantowi Yahya, anggota tim sukses Prabowo buru-buru menjelaskan bahwa “menarik diri” tidak identik dengan “mengundurkan diri”. Banyak netizen menyayangkan Tantowi yang melakukan pembelaan kepada Prabowo tanpa mempertimbangkan reputasinya sebagai public figure. Banyak pihak yang mengatakan karier politik Tantowi bakal hancur setelah membela mati-matian Prabowo. Para netizen menyebut kelas Tantowi kini sama dengan Fadli Zon, Fahri Hamzah atau Ali Mochtar Ngabalin yang asal bicara tanpa logika.
3.Menggugat KPU ke MK dengan membawa berkas 10 truk kontainer: Pihak Prabowo sesumbar menemukan kecurangan secara masif yang dilakukan pihak Jokowi-JK yang mendapat dukungan KPU yang dituding tidak netral dan sengaja menzolimi Prabowo. Berkas dokumen kecurangan begitu banyak dan pengacaranya akan membawa dokumen-dokumen dan bukti-bukti lainnya ke MK dengan 10 truk kontainer. Alamak …, ternyata dokumen yang diserahkan ke MK cuma empat bundel yang kalau ditotal tidak mencapai 300 halaman. Kasus ini lagi-lagi jadi cibiran dan olok-olok para netizen, “kalau mau berbohong, jangan lebay dong.”