SETELAH Ahok ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penistaan agama, dinamika terus mewarnai pilkada di DKI Jakarta. Banyak pihak menduga-duga “nasib” seperti apa yang bakal menimpa Ahok. Konkretnya, Ahok akan memenangi kontestasi pilkada atau malah jeblok (kalah).
Ahok sendiri telah minta kepada para pendukungya agar tidak menjelek-jelekkan pasangan cagub lain, sebab semua calon sama-sama punya peluang untuk menang. Namun, sebelumnya, ketika ditetapkan sebagai tersangka, Ahok mengharapkan para pendukungnya agar berupaya memenangkannya dalam satu putaran?
Dalam sebuah kontestasi apa pun, selalu ada kemungkinan menang dan kalah. Khusus menyangkut Ahok, ada tiga kemungkinan:
Pertama, ia memenangi pilkada, namun hakim yang menyidangkan kasusnya memvonis Ahok bersalah dan otomatis ia masuk penjara. Jika kemungkinan ini yang terjadi, maka para pembela agama yang berprinsip “tiada maaf bagimu” buat Ahok tetap tidak rela, sebab “sudah jadi tersangka dan terpidana, kok masih menang.” Mereka pasti akan menuduh ada kecurangan dalam proses pilkada di DKI.
Kedua, Ahok kalah dalam pilkada, namun pengadilan memutuskan ia bebas karena tidak ada unsur penistaan agama. Jika fakta seperti ini yang terjadi, maka para pembenci ahok tetap bisa hidup tenang. Namun, efek sosialnya, malunya itu lho yang nggak “ketulungan”. Tapi, mereka tidak peduli karena menganut prinsip “emang gue pikirin”: yang penting Ahok tidak jadi gubernur.
Ketiga, Ahok kalah dan pengadilan memutuskan Ahok salah dan harus masuk penjara. Jika ini yang terjadi, para kaum “tiada maaf bagimu” benar-benar akan bersorak-sorak dan merasa sebagai “pemenang”. Mereka memang berharap Ahok mengalami nasib “sudah jatuh tertimpa tangga.”
Diakui atau tidak, demo 4 November (411) berdampak positif buat pasangan Agus Yudhoyono-Sylvi. Sejak Ahok digoyang demo yang oleh Presiden Jokowi disebut telah “ditunggangi aktor politik” membuat elektabilitas Ahok anjlok.
Survei terbaru yang dilakukan lembaga survei Poltracking menghasilkan fakta, elektabilitas pasangan Ahok-Djarot tinggal 22%, padahal survei sebelumnya suara Ahok mencapai 37,95%.
Sebaliknya, elektabilitas pasangan Agus-Sylvi semakin moncer (27,92%), sedangkan pasangan Anies-Sandiaga Uno (20,42%). Survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) malah menghasilkan fakta, elektabilitas Ahok cuma 10-an persen.
Besar kemungkinan elektabilitas Ahok ke depan semakin menukik tajam. Oleh sebab kini saatnya Agus-Sylvi fokus mengampanyekan program kerja. Diakui atau tidak, program Ahok membangun Jakarta sudah bagus. Jadi kata-kata kunci kampanye Agus yang belakangan ini kerap diucapkan, seperti “akan meningkatkan” atau “akan melanjutkan” pogram Ahok perlu terus dilanjutkan, sehingga program-program yang telah dirintis dan direalisasikan Ahok dapat berkesinambungan dan dinikmati warga Jakarta.
Dari hasil survei lembaga-lembaga survei, Ahok sepertinya kini bukan lagi lawan berat bagi Agus-Sylvi. Masa keemasan Ahok telah berlalu pasca demo 411. Ahok kini tidak lagi berada di ranah politik, tapi telah beralih ke ranah hukum.