[caption caption="Proyek Hambalang. Foto: metrotvnews"][/caption]IBARAT panas setahun dihapus hujan sehari. Itulah “nasib” program Tour de Java Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setelah pada Jumat (18 Maret) lalu Presiden Joko Widodo meninjau megaproyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Media massa dan media sosial ramai memberitakan, ibarat bertinju, Jokowi memukul KO sang mantan presiden.
Sebagaimana disiarkan banyak media, ketika melakukan Tour de Java, SBY banyak mengungkapkan kritik (penilaian) atas kinerja Jokowi. Dalam kesempatan tersebut, SBY juga memberikan saran kepada Jokowi agar berhati-hati dalam menggunakan anggaran. Beberapa di antaranya pemerintahan Jokowi disarankan janganlah terlalu banyak memboroskan anggaran untuk membangun infrastruktur, sebab dikhawatirkan bisa mengganggu sektor ekonomi lainnya.
Banyak pihak menduga, SBY berbicara seperti itu, terutama poin yang terakhir, karena mantan presiden RI dua periode itu kurang begitu “nyaman” (baca: tersinggung) lantaran pemerintahan Jokowi belakangan ini senang membereskan proyek-proyek mangkrak peninggalan pemerintahan SBY.
Masih dalam rangka menyemarakkan Tour de Java-nya, SBY juga mengungkapkan agar Jokowi meniru langkah-langkahnya yang piawai membuat para menteri di Kabinet Indonesia Bersatu jilid 1 dan jilid 2 kompak. Momentum silaturahmi ke Pulau Jawa itu juga dimanfaatkan SBY untuk menyosialisasikan rencana sang istri, Ani Yudhoyono, yang akan melaksanakan tugas “suci” berangkat mencalonkan diri sebagai presiden RI pada Pemilu Presiden 2019 mendatang.
Salahkah SBY? Jelas tidak. Sebagai warga negara istimewa (pernah menjadi kepala negara) dan senior, selayaknya SBY memberikan wejangan-wejangan seperti itu kepada Jokowi. Sayang memang, wejangan seperti itu disampaikan secara terbuka dan disebarluaskan melalui media massa dan berlanjut ke media sosial.
Apa yang disampaikan SBY kemudian ditafsirkan banyak kalangan sebagai “SBY lebih hebat daripada Jokowi.” Jadi, pantas, dong kalau SBY menyiapkan kader penerus, yaitu pendamping setianya (Ny Ani) sebagai calon presiden.
Tapi, entah mengapa, kunjungan dadakan Jokowi ke Hambalang, Jumat pekan lalu, oleh banyak pihak dianggap sebagai bentuk “komunikasi jitu” Jokowi dalam rangka mengimbangi komunikasi publik yang dilakukan SBY.
Tak banyak bicara, di Hambalang, Jokowi cuma geleng-geleng kepala dan mengeluarkan pernyataan singkat kepada wartawan: “Sebaiknya ke depan proyek Hambalang ini diapakan?”
Ada juga sementara pihak yang menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan Jokowi (meninjau Hambalang) sebagai bentuk komunikasi ala orang Jawa yang pesannya hanya satu: “Sudahlah, kamu jangan banyak omong, ini lho proyek peninggalanmu, Hambalang, yang lagi-lagi mangkrak! Dikorupsi lagi.”
Banyak tokoh kemudian “kebakaran jenggot”, terutama konco-konconya SBY yang kemudian menafsirkan kedatangan Jokowi ke Hambalang dalam rangka menghidupkan (melanjutkan) proyek mangkrak bernilai lebih dari Rp 2 triliun tersebut.
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga di era SBY, Roy Suryo, langsung bereaksi bahwa proyek tersebut sebenarnya akan dilanjutkan pembangunannya saat SBY masih berkuasa. Tapi, karena tidak diizinkan oleh DPR dan KPK (lantaran megakorupsi di proyek tersebut masih dalam proses penyidikan), Roy Suryo batal melanjutkan proyek Hambalang. Ujung-ujungnya, ya itu tadi, proyek mangkrak dan kondisi terakhirnya persis seperti saat Jokowi ke sana, tidak lebih tidak kurang. Sangat dramatis.