POSISI Joko Widodo (Jokowi) makin kuat. Koalisi Merah Putih (KMP) yang semula bercita-cita “menggoyang” pemerintahannya rontok satu demi satu. Stop! Cukup sudah, jangan lagi bertambah.
Jokowi dan kubunya jangan bernafsu semua parpol bergabung mendukungnya. Jika ini yang terjadi, pemerintahannya justru tidak sehat karena tidak ada yang mengontrol. Ini tidak baik bagi demokrasi sebab tidak ada check and balances.
Jika dosis dukungannya terlalu tinggi, Jokowi bisa lupa daratan. Bahaya otoritarian mengancam. Jokowi bisa sombong meskipun tampangnya sulit untuk bertingkah congkak.
Sebagaimana rakyat saksikan, KMP lambat laun keropos. Menempatkan diri berada di pihak yang “harus melawan” pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Jokowi rupanya tidak nyaman juga.
Anggota KMP yang gerah di koalisi itu adalah Partai Amanat Nasional (PAN). Tidak sampai setahun berada di bawah payung KMP, partai yang didirikan Amien Rais itu akhirnya angkat tangan dan marapat ke Jokowi dan terang-terangan mendukung pemerintahan baru.
Agak malu-malu kucing, PKS juga merangsek ke Jokowi. Para petingginya merasa perlu sowan Jokowi ke Istana Negara. Namun, baik Jokowi maupun PKS tampaknya sengaja memosisikan sebagai status quo. Jika PKS merapat ke Jokowi, kasihan kadernya di DPR, Fahri Hamzah yang terlanjur anti-Jokowi.
Partai terakhir (setidaknya untuk sementara ini) yang jelas-jelas tidak bertahan berada di KMP adalah Golkar. Ketua umumnya Aburizal Bakrie (Ical) angkat handuk setelah partai ini disobek-sobek anggota keluarganya sendiri dari dalam. Selayaknya Ical malu hati kepada Jokowi. Pasalnya, beberapa bulan setelah Jokowi jadi presiden, mantan Gubernur DKI Jakarta ini mengeluarkan kebijakan, pemerintah membantu perusahaan Ical, PT Lapindo Brantas yang mengalami kesulitan finansial menyangkut lumpur Sidoarjo.
Kurang baik apa Jokowi kepada Ical. Oleh sebab itu, sungguh amat keterlaluan jika Partai Golkar pura-pura beroposisi melawan Jokowi. Beberapa hari lalu, Golkar akhirnya menyerah. Lewat Rapimnas yang digelar di Jakarta, partai yang pernah berkuasa penuh di era Orde Baru itu memproklamasikan diri untuk merapat dan mendukung pemerintah. Tak apalah menjilat ludah sendiri.
Dengan begitu, anggota KMP yang masih tersisa adalah Gerindra dan PKS. Banyak pihak berharap Gerindra dan PKS tetap konsisten menempatkan diri sebagai penyeimbang. Pemerintahan Jokowi jelas membutuhkan partai-partai yang berani bersuara beda.
Dilihat dari ideologi partai, keduanya punya karakter unik. Gerindra berpaham nasionalisme kebangsaan, sementara PKS berideologi Islam.
Siapa tahu keduanya bisa saling melengkapi dan belajar. Di “kelas” KMP, Gerindra bisa menanamkan paham kebangsaan kepada PKS, dan PKS menanamkan nilai-nilai keislaman kepada Gerindra. Klop, kan? []