Mohon tunggu...
Gan Pradana
Gan Pradana Mohon Tunggu... Dosen - Hobi menulis dan berminat di dunia politik

Saya orang Indonesia yang mencoba menjadi warga negara yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Yang Populer di Sosmed dan Diam-diam Berkarya

4 Februari 2015   01:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:52 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“BLUNDER” yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyangkut pencalonan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai Kapolri seolah menjadi pembenaran pepatah “panas setahun dihapus hujan sehari” terhadap kinerja pemerintahan Jokowi.

Gara-gara kasus tersebut, Jokowi dianggap tidak dan belum berbuat apa-apa. Lebih sadistis, Jokowi dinilai tidak becus memimpin. Para menterinya yang duduk di Kabinet Kerja dianggap belum berbuat apa-apa. Banyak orang yang kemudian menyimpulkan Jokowi gagal mengelola negara, sehingga layak diturunkan di tengah jalan.

Suara minor seperti itu ramai disuarakan di media sosial. Menganggap KPK sebagai “malaikat”, masyarakat seolah lupa bahwa para menteri sebenarnya telah bekerja. Ada memang yang mendapat sorotan pers, tapi ada pula yang diam-diam bekerja, tapi luput dari pemberitaan media.

Berdasarkan data hasil diskusi di media sosial yang dihimpun Proveric,  kinerja Kabinet Kerja yang disorot masyarakat adalah apa yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan, sehingga Menteri Susi Pudjiastuti menempati posisi teratas, menyusul kemudian Menteri Perhubungan Ignatius Jonan.

Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri juga telah melakukan gebrakan di bidang ketenagakerjaan, namun tidak sempat dicatat oleh Proveric. Demikian pula ketegasan Jaksa Agung Prasetyo yang menindaklanjuti sikap Presiden yang tiada ampun buat napi narkoba tak mendapatkan porsi, padahal Prasetyo telah mengeksekusi mati empat terpidana kasus narkoba, sampai-sampai “mengganggu” hubungan antara Indonesia dan Belanda.

Proveric malah mencatat, ada sejumlah pembantu presiden yang dipersepsikan negatif oleh para netizen. Sosok menteri yang dipersepsikan paling negatif oleh para netizen adalah Menko Polhukam Tedjo Edhy. Ini tentu gara-gara ucapan Tedjo yang diblow-up media.  Ketika perseteruan KPK-Polri memanas gara-gara BG dan Wakil Ketua KPK Bambang Widojanto dijadikan tersangka, Tedjo Edhy menyebut mereka yang mendukung KPK sebagai “rakyat yang tidak jelas.”

Beruntung Tedjo Edhy segera introspeksi, sehingga belakangan ia menahan diri bicara, meskipun menurut praktisi public relations Christovita Wiloto, sebenarnya tidak ada yang salah dengan ucapan Tedjo Edhy.

“Saya orang PR, jadi saya pelajari baik-baik hal kecil.  Kalau melihat wawancara aslinya yang ditayangkan banyak televisi, jelas-jelas Tedjo dijebak dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjurus, tapi dijawab Tedjo dengan tenang. Setelah itu ternyata berita tulisnya memelintir statement Tedjo. Hati-hati saat ini banyak berita pelintiran dan berita latah,” kata Christovita dalam komentarnya di Facebook.

Maaf, saya tidak akan mengulas apa dan bagaimana Tedjo Edhy yang membuatnya dibully di media sosial, sebab yang bersangkutan sepertinya sudah sadar, sehingga mulai berhati-hati saat berbicara dengan wartawan. Jika obral bicara, salah-salah dia dimanfaatkan wartawan untuk menjebaknya yang ujung-ujungnya memunculkan opini minor bahwa kualitas pembantu Jokowi “payah semua.”

Jika kita lihat sosok para pembantu Presiden di Kabinet Kerja, memang unik-unik. Selain nyentrik, Susi Pudjiastuti banyak bicara, sementara rekannya yang juga perempuan, seperti Siti Nurbaya yang dipercaya menjadi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, lebih banyak diam. Tapi dalam diamnya, dia justru gigih menuntaskan tugas pertamanya yang sebenarnya berat, yaitu menyatukan dua “budaya kerja” di dua kementerian (lingkungan hidup dan kehutanan) menjadi satu budaya kerja.

Semoga saja Siti Nurbaya bisa mengompakkan SDM yang semula punya karakter berbeda-beda, sehingga program kerja di sektor lingkungan hidup dan kehutanan dapat berjalan dengan baik. Rakyat tentu menunggu keberanian Siti Nurbaya mencabut izin HPH pengusaha nakal yang sebelumnya menipu pemerintah dan menyuap pejabat agar leluasa membabat hutan.

Siti punya modal, yaitu dukungan dari DPR. Setelah mendengarkan pemaparan Siti Nurbaya tentang rencana kerja 2015, Komisi IV DPR sepakat mendukung arah kebijakan dan program-program prioritas kementerian yang dipimpinnya. Selain itu DPR juga menyetujui pagu anggarannya.

"Kita sepakat untuk mendorong program menteri, karena ini berhubungan dengan kesejahteraan rakyat, juga demi ketahanan dan kedaulatan pangan serta energi," ujar Ketua Komisi IV DPR Edhy Prabowo dalam raker dengan Menteri Siti Nurbaya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin lalu (2/2) sebagaimana dikutip Teropong Senayan.

Komisi IV DPR juga menyetujui DIPA APBN Kementerian LHK tahun 2015 sebesar Rp 6,468 triliun dan usulan pagu tambahan dalam RAPBN-P sebesar Rp 216 miliar yang akan dialokasikan untuk hutan lindung.

Banyak PR di sektor kehutanan dan lingkungan hidup yang belum dikerjakan secara tuntas oleh menteri-menteri sebelumnya. Ini tentu menjadi kewajiban Siti Nurbaya untuk melanjutkannya. Beruntung, dalam 100 hari pemerintahan Jokowi, ia sudah berhasil antara lain menyelesaikan persoalan tata ruang guna mendukung program penyediaan lahan untuk tanaman pangan.

Tanpa banyak bicara, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Ferry Mursyidan Baldan, ternyata juga berani membuat terobosan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat, antara lain penghapusan pajak bumi dan bangunan (PBB), meski berpotensi negara kehilangan penerimaan pajak.

Ferry mengatakan, pajak bumi akan dikenakan hanya satu kali, yaitu saat sebidang tanah atau lahan menjadi hak milik seseorang.  Alasan Ferry: "Tuhan, kan menciptakan bumi satu kali, kok kita pajaki setiap tahun?”

Bagaimana dengan pajak bangunan? Ferry menjelaskan pajak bangunan tetap akan dikenakan setiap tahun, tapi hanya untuk bangunan komersial seperti kontrakan, kos-kosan, ruko serta restoran. "Kami fokus agar rumah pribadi dan bangunan sosial tidak dikenakan pajak. Dalam perspektif kami, ini bisa mengurangi kapitalisasi nilai tanah dan bangunan," katanya.

Rakyat tentu berharap rencana-rencana pro-rakyat itu bisa segera direalisasi. Saatnya di tengah hiruk pikuk politik yang semakin memanas, para menteri menjunjung tinggi dan mempraktikkan pepatah: “Sedikit bicara banyak bekerja”.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun