Sistem BPJS sebagai pelayanan kesehatan rakyat telah membuktikan kebobrokannya, kesalahan itu disebabkan oleh kerancuan manajemen yang banyak terlihat dari stakeholder birokrat BPJS karena cenderung inkompetensi dalam menjalankan tugas serta fungsinya. Secara inheren sistem BPJS pun tak kalah bobrok. Dalam praktiknya, sistem BPJS tidak dapat mengakomodir pelayanan kesehatan yang berkualitas dan menyeluruh terhadap setiap warga negara dengan premi yang di tawarkan, sehingga menimbulkan 'Gap' antar kelas dalam pemberian pelayanan kesehatan : yang miskin harus menerima pelayanan kesehatan seadanya dan sekenanya.
Selama 6 tahun perjalanan, BPJS tidak sedikit menuai kritik serta komplain. Di pelbagai rumah sakit banyak pasien tidak ditangani dengan baik. Antrean panjang pun membludak, tidak sedikit pasien ditolak untuk berobat jika menggunakan BPJS karena rumah sakit mengutamakan pasien yang membayar dengan uang.
Merefleksi 23 Oktober 2019, Presiden Jokowi Dodo melantik Terawan Agus Putranto sebagai Menteri Kesehatan. Sang menteri baru pun langsung di beri tugas oleh atasanya dalam kewajiban membenahi masalah kontradiksi koheren tentang BPJS Kesehatan. Terutama mengenai defisit anggaran yang diperkirakan tembus Rp.32 Triliyun dan kebijakan ini mengalami polemik bahkan kekecewaan diantara mayoritas Rakyat kelas bawah.
Mayoritas besar rakyat bawah menolak besaran iuran yang dicanangkan naik 2 kali lipat yang berlaku mulai 1 Januari 2019. Ini merupakan sebuah peristiwa pahit bagi rakyat miskin diawal pemerintahan 2 periode Presiden Jokowi Dodo. Dengan kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota 8,51% yang dinilai tidak signifikan terhadap kebutuhan, bahkan inflasi di awal tahun meningkat menjadi 20%, maka kenaikan premi merupakan suatu momok yang menakutkan, karena akan mengambil porsi besar dalam pendapatan rakyat.
Selain itu pemerintah yang ada lebih memilih untuk menggelontorkan uang untuk investasi infrastruktur demi kelancaran modal, dalam kata lain demi meningkatkan profit perusahaan-perusahaan besar. Pemerintah juga menghabiskan banyak dana untuk militer dan peralatan perang. Kementerian pertahanan mendapat alokasi dana sebesar Rp 121 triliun rupiah pada 2019, dan Presiden Jokowi Dodo berjanji akan meningkatkannya menjadi Rp 131 triliun pada 2020. Lantas apa tugas TNI yang mendapat dana triliun rupiah ini? Menggebuki kaum tani yang mempertahankan tanahnya dari serobotan; membubarkan demo. Yang jelas Anggaran negara secara umum mengalami defisit besar karena pemerintah memberi bailout dan stimulus ekonomi bernilai ratusan Triliyun kepada korporasi selama krisis ekonomi sepuluh tahun terakhir, serta memberi banyak keringanan pajak bagi kaum korporasi. Dan semua ini dilakukan dengan mengorbankan anggaran kesehatan, pendidikan, pelayanan sosial untuk rakyat.
Pada akhirnya, permasalahan-masalahan tersebut membuktikan bahwasanya sistem BPJS bukanlah suatu metode serta perjuangan pemerintah dalam memenuhi hak-hak Rakyat dalam menjamin kesehatan. Melainkan hanya sistem asuransi saja. Yang kita butuhkan penerapan pelayanan kesehatan universal yang bebas biaya bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa ada klasifikasi kelas dan jelas merata. Solusi tersebut dapat dijalankan apabila, pemerintah berani melawan tongkat komando korporasi yang telah menjerat kepentingan rakyat banyak, konsekuen terhadap kemanusian, konsekuen terhadap demokrasi, konsekuen terhadap kepentingan rakyat luas.
Konsekuen, konsekuen sekali lagi konsekuen!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H