Mohon tunggu...
Gantari
Gantari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Prodi Belanda Universitas Indonesia

Penyuka bahasa, sastra dan sejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengaruh Pakaian Eropa terhadap Semangat Nasionalis Kemerdekaan pada Tahun 1901-1942

20 Desember 2024   09:33 Diperbarui: 20 Desember 2024   10:19 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Pakaian khas Eropa", sebagaimana yang disebutkan dalam "Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan" (2005) oleh Henk Schulte Nordholt (ed.) adalah pakaian yang menutupi dada yaitu kemeja dan jas, bercelana panjang, mengenakan sepatu, serta terkadang lengkap dengan dasi dan juga penutup kepala berupa topi-topi Eropa. Meskipun pada era pra kemerdekaan pakaian-pakaian tersebut adalah hal yang biasa digunakan sehari-hari oleh penduduk Indonesia, namun pada era kolonialisme, pakaian tersebut sempat dibatasi hanya untuk kalangan tertentu. Namun, pelarangan tersebut tidak dapat ditekankan untuk waktu yang lama, terutama setelah munculnya Politik Etis di tahun 1901.

Awal Mula Penggunaan Pakaian Khas Eropa oleh Bumiputera

Penggunaan pakaian khas Eropa oleh kalangan bumiputera tidak benar-benar baru dimulai di tahun 1900-an. Salah satu pelaku awal yang berpakaian meniru cara Belanda adalah Mangkurat II (1677-1703). Ia mengenakan pakaian dan kaos kaki serta sepatu Belanda, celana selutut dengan kancing-kancing di bagian lutut, jas beludru tiga potong, yang terbuka di bagian depan, dihiasi dengan renda emas, diperindah dengan perhiasan dan sebuah topi. Pakaiannya disebut begitu menyerupai orang Belanda hingga dari kejauhan ia dapat disalahanggapkan sebagai "Sang Gubernur Jenderal dalam perjalanan mengelilingi Jawa" (Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan, 2005).

Pada tahun 1681, raja Ternate juga pernah mengunjungi Batavia dengan menggunakan "kain hitam sesuai gaya Belanda." (Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan, 2005). Upaya lain yang dilakukan kalangan bumiputera dalam mengikuti tren berpakaian khas Eropa terjadi di tahun 1836, yang dicatat oleh Raffles (1978), "Jas yang dikenakan oleh para bupati atau kepala provinsi dan pejabat khusus lainnya sangat mirip dengan jas Friesland, yang dikenakan sekitar dua abad yang lalu dan mungkin telah dimodifikasi, jika tidak sepenuhnya meniru model itu" (Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan, 2005).

Dalam semua contoh yang disebutkan, penggunaan pakaian khas Eropa oleh bumiputera selalu dianggap sebagai bentuk meninggalkan kebudayaan sendiri serta keinginan untuk menyerupai kalangan yang bukan dirinya. Mangkurat II yang senang berpakaian layaknya orang Belanda membuatnya dianggap sebagai sosok penyaru, putra dari seorang admiral Belanda, bukan seorang pangeran Jawa berdarah biru (Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan, 2005).

Mengenakan pakaian khas Eropa juga membawa artian tertentu. Seperti misalnya pemakaian celana panjang dan sepatu yang kuat kaitannya dengan penganut Kristiani, sehingga penggunaan celana panjang di kalangan Muslim terutama untuk dipakai sholat di Masjid dianggap tidak pantas. Selain itu, pakaian khas Eropa juga dapat menjadi penanda bahwa orang tersebut berasal dari kalangan kaya yang dapat mengikuti tren mode Eropa terbaru, termasuk sinyal bahwa seseorang tidak menganggap dirinya lebih rendah daripada orang Eropa, dan oleh karena itu menolak adat istiadat masyarakat setempat serta Islam tradisional (Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan, 2005).

Pakaian Khas Eropa di Kalangan Bumiputera Tahun 1901-1942

Pada masa pergantian abad, kehidupan di Hindia-Belanda berangsur-angsur menjadi semakin modern. Rumah-rumah sudah diisi dengan perabotan bergaya Eropa, pertemuan-pertemuan sudah dilakukan diantara meja dan kursi-kursi, bukan lagi duduk mengeliling di lantai. Dalam hal pakaian khususnya, para pelajar bumiputera yang mengikuti pendidikan menengah dan lanjutan Belanda di HBS, STOVIA, dan Sekolah Pendidikan Guru, lalu diikuti oleh kalangan priyayi yang lebih rendah, para guru, juru tulis kantor, dan pemilik toko-lah yang memprakarsai kemajuan ini (Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan, 2005).

Perubahan ini kian hari semakin diminati karena dengan mengenakan pakaian Eropa, dapat menunjukkan bahwa seseorang terbuka akan ide-ide baru dan maju, tidak kolot. Selain itu, berpakaian menutup dada dan kaki, serta mengenakan celana panjang sesuai ukuran kesopanan Eropa juga memungkinkan kalangan bumiputera berkesempatan semakin besar untuk mendapat pekerjaan kantoran di kota. Misalnya, sebagai subjuru tulis, kurir, dan juga subkepala stasiun. (Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan, 2005). Pekerjaan tersebut memberikan kalangan bumiputera tempat yang lebih "terhormat" di masyarakat, dibanding bekerja sebagai petani di desa. 

Gelombang mode baru di kalangan bumiputera ini sampai-sampai membuat orang-orang Belanda khawatir. Bila sebelumnya pakaian dapat digunakan sebagai cara untuk mengkotak-kotakkan masyarakat, lantas, masuk ke kategori manakah para bumiputera yang mengenakan pakaian khas Barat ini?

Seperti yang dituliskan Nordholt dalam "Outward Appearances", persoalan ini sempat menjadi kekhawatiran yang cukup besar di kalangan Belanda. Madam Catenius menulis dalam bukunya "Ons Huis in Indi" bahwa hanya ada satu jenis bumiputera yang "asli", dan bahwa para bumiputera yang mengenakan pakaian layaknya golongan Eropa adalah "penyamar" yang harus diwaspadai.

Nordholt juga menjelaskan dalam bukunya bahwa pada akhirnya, kalangan ini menjadi sepenuhnya terpisah dari golongan bumiputera. Mereka adalah "eks-pribumi" yang berpakaian necis dengan celana dan juga peci, memiliki gelar akademis "kulit putih" yang terhormat, dan seringkali bepergian menggunakan kereta api, bahkan duduk di kelas dua. Kelas kereta api yang dulunya hanya untuk kalangan Eropa ataupun Indo. 

Mas Marco, dalam karyanya "Student Hidjo", menggambarkan perubahan mode ini sebagai bentuk perjuangan. Hidjo, tokoh dalam karya itu digambarkan mengenakan pakaian necis, pergi belajar ke Belanda, dan pergi berpelesir. Ia melakukan kegiatan-kegiatan layaknya orang Belanda untuk menunjukkan kesetaraan kedudukannya (Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan, 2005).

Pengaruh Pakaian Khas Eropa pada Pergerakan Nasionalis

Dalam buku biografi Soekarno yang disusun oleh Cindy Adams, "Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" (1988), Soekarno berpendapat di dalam PNI (1927), "Selanjutnya saya menganjurkan untuk tidak memakai sarung, sekalipun berpakaian preman. Pakaian yang kuno ini menimbulkan pandangan yang rendah. Di saat orang Indonesia memakai pantalon, di saat itu pula ia berjalan tegap seperti setiap orang kulit-putih. Akan tetapi begitu ia memasangkan lambang feodal di sekeliling pinggangnya, ia lalu berjalan dengan bungkukan badan yang abadi. Bahunya melentur ke muka. Langkahnya tidak jantan. Ia beringsut merendahkan diri. Pada saat itu pun ia bersikap ragu dan sangat hormat dan tunduk." 

Pendapatnya ini ditentang Ali Sastroamidjojo, "Sungguhpun begitu, sarung itu sesuai dengan tradisi Indonesia." yang mana lantas dibalas kembali oleh Soekarno, "Tradisi Indonesia di masa lalu---betul! Akan tetapi tidak sesuai dengan Indonesia Baru dari masa datang. Kita harus melepaskan diri kita dari pengaruh-pengaruh masa lampau yang merangkak-rangkak seperti pelayan, jongos, dan orang dusun yang tidak bernama dan tidak berupa. Mari kita tunjukkan bahwa kita sama progresif dengan orang Belanda. Kita harus tegak sama tinggi dengan mereka. kita harus memakai pakaian modern.". 

Soekarno jelas begitu vokal dalam hal ini. Menurutnya, persoalan pakaian adalah hal krusial yang menunjukkan jati diri seseorang, dan beliau adalah pendukung setia penggunaan pakaian khas Eropa. Meski begitu, Soekarno masih mempertahankan pakaian khas bumiputera pada dirinya, yaitu peci.

Soekarno menganggap peci sebagai pengenal dirinya, kaum bumiputera modern yang tidak melupakan rakyat sendiri. Pemikiran ini muncul pada tahun 1921 setelah dalam pertemuan Jong Java, terjadi pembicaraan hangat mengenai keengganan mereka mengenakan blankon atau peci sebagaimana yang biasanya dikenakan rakyat biasa bersamaan dengan sarung. Keengganan ini adalah bentuk ejekan halus dari kaum terpelajar kepada kalangan yang lebih rendah. Beliau merasa sedih, sehingga memutuskan untuk selalu menggunakan peci bersamaan dengan kemeja, celana dan sepatunya, sebagai lambang solidaritas rakyat sendiri (Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 1988).

Perdebatan mengenai pakaian di kalangan nasionalis sebetulnya sudah marak sejak sebelum itu, yaitu pada tahun 1914. Tidak semua orang setuju dengan kecenderungan baru mengadopsi pakaian modern, bahkan tidak dalam gerakan nasionalis, karena ini berarti menyerahkan identitas diri sendiri pada bangsa lain (Nordholt, 2005:91). 

Di tahun yang sama, R.M. Soetatmo Soeriokoesoemo menulis artikel berjudul "Apakah jas yang baik membuat seorang pria tampil baik?". Beliau khawatir penggunaan pakaian khas Eropa justru akan mengasingkan para nasionalis dengan rakyat sendiri. Sementara itu, Soewardi Soeryaningrat justru mendukung segala bentuk yang bisa mendorong rakyat untuk bPerubahan ini pada akhirnya diterima oleh kaum nasionalis moderat dan radikal sekitar tahun 1916. Pada Kongres Sarekat Islam pertama bulan Juni 1916, anggota-anggota dewan pengurus memakai pakaian malam dengan dasi putih atau jas makan malam (Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan, 2005).erubah. Ia juga menekankan bahwa kain ataupun kain penutup kepala bukanlah sumber asal nasionalisme (Nordholt, 2005:93).

Kesimpulan

Penggunaan pakaian khas Eropa dalam gerakan nasionalis bukanlah suatu hal yang konkret, melainkan hal yang terus diperdebatkan. Antara ingin menampilkan pandangan maju dan menuntut kesetaraan hak dengan bangsa Belanda, atau justru meninggalkan jati diri dan mengasingkan diri dengan rakyat. Di tengah-tengahnya, mungkin peci-lah yang menjadi jembatan, lambang seseorang yang maju namun masih bersama dengan rakyat biasa.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pakaian Eropa membawa perubahan besar pada awalnya. Dengan mengenakan pakaian eropa itulah, para pemuda bumiputera dapat menerima pendidikan serta toleransi yang lebih besar dari siswa lainnya maupun tenaga pengajar. Pakaian itu pula-lah yang baik disadari maupun tidak, memberikan rasa percaya diri yang lebih besar, rasa bahwa dirinya pantas menikmati hidup dan dihormati seperti orang-orang Belanda yang dulu berkuasa di tanah Hindia-Belanda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun