Sebuah jurnal internasional mengatakan bahwa terdapat kesalahan atau ketidakakuratan pengelompokan etnis suku bangsa di Utara Sumatra, khususnya terhadap penguatan keberadaan suku 'Batak dan Melayu' di Sumatera Utara. Kedua nama ini muncul serentak pada abad ke-15 dalam tulisan para etnografer asing yang berkunjung Sumatera bagian utara. Untuk pertama kalinya muncul istilah 'Batak' (Bata, Battak, Battas, Batech) muncul dalam tulisan Pires (1940) dan Pinto (1991) yang mendefinisikan (secara general) orang-orang yang tinggal di pedalaman Aceh dan Sumatera Utara.[1]
Issu penting dalam jurnal ini adalah menjawab pertanyaan kritis yang harus dijawab, yaitu siapa saja yang tergolong masyarakat 'Batak dan Melayu' ? Mengacu pada tulisan Daniel Perret (2010),[2] ada kelompok masyarakat yang mendiami dareah di pegunungan Bukit Barisan. Dibagian utara, yaitu daerah Panyabungan, Mandailing Natal, yang disebut 'Orang Kubu' atau 'Orang Siladang' dan tidak termasuk dalam dua kategori Melayu atau Batak. Hal ini sejalan dengan sumber Belanda, yaitu Kremer (1912) dan Adatrechtbundel (1919) yang menyebutkan keberadaan masyarakat Loeboes (Ulu) yang bermukim di negeri Padanglawas dan Mandailing.
Dalam artikelnya “Is There a Batak History?” sejarawan Anthony Reid (2006)[3] berpendapat bahwa penulisan sejarah tentang kelompok etnis Batak di dataran tinggi (Bukit Barisan) Sumatra telah terdistorsi karena digunakan dalam lensa yang hierarkis. Maka penulisan sejarah tentang kelompok etnis ini adalah masyarakat tanpa negara, dan karena tanpa negara, ia tanpa sejarah–sebagaimana suku bangsa tanpa negara lain di nusantara.
Menurut Reid, satu-satunya elemen ‘Ke-batak-an’ (batakness) yang cukup spektakuler untuk dicatat dalam sumber-sumber sejarah paling awal adalah kanibalisme orang batak. Sumber-sumber asing mencatat kehadirannya di Sumatera jauh sebelum munculnya istilah ‘Batak’ atau ciri lain yang dapat diidentikkan dengannya. Ptolemaeus adalah orang pertama, yang sekitar tahun 100 M, yang mencatat keberadaan kanibalisme dalam apa yang dia identifikasi sebagai gugusan pulau Barusae, yang mungkin adalah Sumatra. Menyusul setelah itu ada serangkaian sumber Arab, India dan Eropa, termasuk Marco Polo, yang menyatakan ada bukti kanibalisme di pulau itu, termasuk di pantai utara yang lebih mudah diakses. Nicolo da Conti adalah orang Eropa pertama, yang pada tahun 1430, yang mencatatkan fakta temuan istilah Batak (Batech) yang menunjukkan sebuah populasi kanibal ini di Sumatra.[4]
Catatan Susiyanto, dalam artikel nBASIS : Kristenisasi dan Kolonialisme di Tanah Batak, mengemukakan catatan Marcopolo (1290) menyebutkan keberadaan Kerajaan Ferlec (Peurlak) di Aceh bagian Timur, penduduk pesisir (perkotaan) telah menjadi penganut Islam dari penganut penyembah berhala sebelumnya, namun penduduk yang tinggal di wilayah pedalaman masih hidup sebagai kanibal. Marcopolo mengambarkan bahwa mereka memakan daging apa pun baik dalam keadaan bersih maupun kotor, termasuk daging manusia.[5]
Meninjau catatan sejarawan Anthony Ride (2006) :
- Terdapat distorsi pnyebutan tentak Batak dan Melayu sebagai penduduk di pedalaman Aceh, Sumatera
- Catatan Perret, mengenai populasi orang Lubu dan Siladang yang mendiami daeran Panyabungan dan Mandailing Natal, dan mereka ini bukan termasuk kategori orang Batak atau Melayu.
- Sumber dari Belanda sendiri, Kremer (1912) dan Adatrechtbundel (1919), yang menyebutkan keberadaan populasi orang Kubu yang mendiami negeri Padang Lawas dan Mandailing.
- Catatan Ptolemaeus pada pada abad ke-2, yang mencatat tentang keberadaan populasi manusia kanibal di gugusan pulau Barussae ( apakah ini tentang Barus di Simatera ?)
- Catatan Nicolo Da Conti (1430) yang menggunakan istilah Batak atau Batech untuk menunujukkan populasi manusia kanibal di pedalaman Sumatera.
KERAJAAN ISLAM SUMATERA
Mengemukakan catatan Tomé Pires dalam ekspedisinya ke Sumatera (1515) menggambarkan kerajaan Islam Aceh, menyebutkan daerah Batta yang berbatasan dengan kerajaan Pasai (Aceh) dan di sisi lain dengan kerajaan Aru (Daruu). Penguasa negeri pedalaman ini disebut Raja Tomjano.[6] Dia adalah seorang kesatria Moor, yang sering pergi ke laut untuk menjarah (merompak), dan Raja Tomjano adalah merupakan Menantu Raja Aru (Pires, 1944:145-146).
Mengemukakan tulisan Mendes Pinto dalam ekspedisinya ke Sumatera (1539), sepanjang pantai utara Sumatera telah dikuasai Kesultanan Islam Aceh, yang kala itu turut diperkuat pasukan ekspedisi kerajaan Turki. Semua negeri pesisir di sepanjang negeri Aceh dan Aru (Melayu) sudah ditaklukkan. Karakter militan Islam dari ekspansi ini digambarkan dengan jelas oleh Mendes Pinto, selain itu juga terlihat dalam literatur-literatur Portugis, Turki, dan Aceh, yaitu tentang konfrontasi abad ke-16 antara koalisi Kesultanan Aceh bersama tentara ekspedisi Turki melawan pasukan ekspedisi Portugis.
Menurut Mendes Pinto, pada masa konfrontasi ini pula terdapat istilah definitif “batak” yang menunjuk kepada kelompok-kelompok milisi di pedalaman Sumatera atau orang-orang yang melawan pendudukan Kesultanan Islam Aceh, dan dalam perjalannya orang-orang ini kemudian terdesak dari pesisir oleh tekanan pasukan pendudukan Aceh, dan lalu orang-orang “batak” ini bermigrasi mendiami pedalaman Bukit Barisan, Sumatera. Mendes Pinto mengisahkan tentang seorang pemimpin kelompok “Batak”, yang kekuasaanya beribukota di Panaju, di bagian selatan Singkil, pantai barat Sumatera, ditepian sungai yang memberikan akses ke negeri Barus. Nama ibukota Panaju sejalan dalam kisah kerajaan Pano (Pão) yang disebutkan di daerah yang sama dalam catatan ekspedisi Tomé Pires.
Akibat pergerakan pendudukan Kesultanan Islam Aceh yang telah berhasil menguasai seluruh pesisir timur dan barat Sumatera, seiring pula dengan pengislaman suku-suku pedalaman. Bahkan dalam masa ini, model pemerintahan raja-raja negeri dan tuan telah dilebur menjadi taklukan yang dikepalai Sultan bentukan Kesultanan Aceh, sesuai dengan model kerajaan Islam. Selanjutnya, terjadi pengislaman raja-raja negeri di pantai Barat dan Timur Sumatera dengan melakukan asimilasi perkawinan silang. Kerajaan Aru dipecah menjadi beberapa kesultanan Melayu, seperti Sultan Deli yang seorang suku Karo yang memeluk Islam. Hal yang sama terjadi di etnis Simalungun yang memeluk Islam (mendirikan Kesultanan Serdang, Bedagai dan Inderapura, Siak), Karo (mendirikan Kesultanan Langkat dan Binjai). Sementara itu kelompok yang menentang pendudukan Kesultanan Islam Aceh terdesak dan melarikan diri ke dataran tinggi bukit barisan dan mereka membentuk milisi-milisi yang memberontak untuk tunduk dibawah kekuasaan Kesultanan Aceh (Pinto, 1989:20-30).