Apa yang ada di dalam benak kalian ketika kalian diberikan kesempatan untuk bertemu dan berdiskusi dengan orang nomor satu di daerah kalian? Tentu sebagian besar dari kita semua akan dirundung perasaan senang bercampur penasaran. Perasaan senang muncul karena kita telah diberi kesempatan untuk dapat bertemu langsung dengan orang nomor satu dan rasa penasaran muncul karena ingin tahu sosok sebenarnya orang nomor satu secara langsung. Perasaan seperti itu (senang dan penasaran) juga meliputi diriku. Rasa itu muncul ketika menerima pesan singkat dari salah seorang temanku. Isi pesan singkat tersebut ialah sebagai berikut, “Teman-teman, besok diharapkan kehadirannya untuk diskusi dengan bapak bupati di pemkab dalam acara Kamisan jam setengah delapan.” Setelah membaca pesan singkat tersebut, anganku melayang. Membayangkan bagaimana asyiknya hari esok. Membayangkan bagaimana aku selaku mahasiswa dapat berdialog dan menyampaikan aspirasi secara langsung kepada bapak bupati. Tak terasa sang mentari telah terbit di ufuk timur. Walaupun tadi malam aku hanya tidur dua setengah jam karena nonton bareng piala eropa, namun pagi ini aku harus melawan rasa kantuk. Untuk melawan rasa kantuk aku pun segera bergegas menuju kamar mandi. Tidak enak rasanya jika terlambat ketika bertemu dengan bapak bupati pikirku dalam hati. Jam dinding di kamarku menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh. Aku segera mengenakan pakaian batik berwarna coklat yang kumiliki. Sebelum berangkat aku pun menyempatkan diri untuk mematut diri di depan cermin. Ku pandangi wajahku dengan lekat, ternyata kantung mataku sedikit membengkak. Kantung mata membengkak ini mungkin disebabkan kurang tidur. Beberapa hari ke belakang aku memang kerap nonton bareng piala eropa dan hal tersebut berdampak pada terganggunya jadwal tidurku. Untuk menuju pemkab dari kosanku tidak perlu memakan waktu yang lama karena jaraknya yang hanya sekitar 1,5 kilometer. Perlahan-lahan sepeda motorku mulai memasuki pelataran parkir pemkab. Di pelataran parkir, ku dapati banyak PNS mengenakan pakaian batik. Satuan polisi pamong praja juga terlihat siaga berjaga di lingkungan sekitar. Sebagian petugas DLLAJR juga terlihat bekerja sama dengan polisi lalu lintas mengatur kendaraan yang lalu lalang. Aku pun segara memarkirkan sepeda motorku. Aku mulai menyusuri lorong menuju ruang diskusi. Ruang diskusi ternyata diselenggarakan di lantai dua. Namun sebelum aku duduk dan menunggu kehadiran Bu Ciciek, Pak Supo dan Mbak Ema, aku diminta oleh salah seorang petugas untuk mengisi daftar tamu. Di bagian resepsionis seorang pegawai telah menungguku. Ku lihat sejenak daftar tamu tersebut. Di dalamnya terdapat kolom-kolom yang terdiri dari nama, alamat, organisasi, permasalahan dan tanda tangan. Aku sempat bingung ketika menulis data di daftar tamu. Kolom permasalahan merupakan titik pusat kebingunganku. Aku pun mencoba meraba-raba permasalahan kami yang sedang kami hadapi dan akan kami sampaikan kepada Pak Bupati. Mungkin kehadiran kami di sini ialah untuk dapat berdiskusi dengan bapak bupati. Berdiskusi membahas acara festival egrang ketiga yang akan kami selenggarakan pada tanggal 7 Juli 2012. Ternyata aku mendapatkan urutan kedua yang akan ditemui oleh bapak bupati. Di jadwal, acara Kamisan akan dimulai pada pukul 07.30. Namun, waktu di jam tanganku telah menunjukkan pukul 07.40 dan tanda-tanda diskusi akan dimulai juga tak kunjung nampak. Tak lama waktu berselang Mbak Ema pun tiba. “Gangsar sudah isi daftar tamu?” tanya Mbak Ema. “Sudah Mbak, Kita dapat nomer urut dua,” timpalku singkat. “Hah nomer urut dua?” “Berarti Aku harus segera mengabari Mas Supo dan Mbak Ciciek,” terang Mbak Ema dengan nada sedikit panik. Tidak lama sedikit demi sedikit tamu-tamu yang ingin berdiskusi dengan bapak bupati mulai berdatangan. Kami semua dikumpulkan di sebuah ruangan. Ruangan tersebut juga telah ditata rapi dengan kursi-kursi dan meja-meja yang cukup mewah bagiku. Di ruangan tersebut juga terdapat enam lukisan besar yang gagah terpaku di tembok. Ada lukisan yang menggambarkan komoditas khas kotaku yaitu tembakau. Ada lukisan yang mengisahkan kesenian tradisional karapan sapi dan beberapa lukisan perjuangan para pahlawan ketika merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Sambil menunggu kedatangan Bu Ciciek dan Pak Supo, aku dan Mbak Ema pun berbincang-bincang. Kami berbincang-bincang masalah seputar Tanoker (komunitas bermain dan belajar). Sambil berbincang-bincang mataku mulai mengamati beberapa pegawai yang terlihat sibuk mondar-mandir membawakan aneka jajanan pasar. Jajanan pasar tersebut beraneka ragam, mulai dari lumpia, kue lapis, naga sari dan lain-lain. Minuman yang disediakan juga bervariasi, mulai dari kopi, teh dan air mineral. Semua jajanan pasar tersebut di tata di meja-meja yang telah tersedia, sedangkan untuk kopi dan teh disediakan di dalam termos besar dengan cup kecil di sampingnya. Karena dari tadi pagi aku belum sarapan, aku pun segera mengambil kue lapis dan nagasari. Tak lupa aku mengambil satu cup kopi panas untuk menemani jajanan pasar yang telah ku ambil. Tak terasa hampir satu jam kami berbincang-bincang dan tamu-tamu yang berdatangan sudah terlihat makin banyak. Namun tanda-tanda bapak bupati ingin menemui kami semua belum terlihat. Tidak lama Bu Ciciek dan Pak Supo tiba. Aku dan Mbak Ema langsung bersalaman dan mencari tempat duduk. Sambil menunggu bapak bupati kami berempat pun berbincang-bincang kembali. “Gangsar kamu dapat undangan dari Pak Sujud,” kata Pak Supo. “Jangan lupa ya, nanti buatkan piala bergilir untuk Pak Sujud dan Mbak Desi,” tambah Pak Supo. “Apa Pak, piala bergilir?” tanyaku terheran-heran dengan usul yang tidak biasa dari Pak Supo. “Ya sudah Pak, nanti coba saya carikan,” ujarku menenangkan Pak Supo. Hampir dua jam aku dan sebagian peserta acara Kamisan menunggu di ruangan ini. Menunggu datangnya bapak bupati. Menunggu untuk dilayani, didengarkan atau sekedar melihat sosoknya secara langsung. Namun hingga saat ini, kami yang memilih beliau menjadi pemimpin kami dan kami juga yang harus menunggu beliau. Sungguh berbeda 180 derajat dengan kondisi waktu bapak bupati membutuhkan suara kami. Acara Kamisan ini memiliki tujuan yang mulia. Acara Kamisan bertujuan sebagai proses hearing (mendengarkan keluhan dan aspirasi dari maysarakat). Sehingga besar harapan tercapainya kesepakatan mengenai penyelesaian masalah dari kedua belah pihak. Bagi bapak bupati diharapkan dengan adanya program ini (Kamisan) dapat mengetahui keluhan-keluhan apa saja yang dirasakan oleh masyarakat, mengetahui aspirasi masyarakat dan mengetahui respon dari kebijakan-kebijakannya yang telah diimplementasikan. Bagi masyarakat sendiri dengan adanya program ini diharapkan mereka dapat langsung menyampaikan aspirasinya kepada bapak bupati. Harapan kecil dari masyarakat sebenarnya ialah adanya perasaan tenang. Tenang karena mereka telah bertemu dan dapat menyampaikan aspirasinya secara langsung kepada bapak bupati. Perkara permasalahan yang mereka hadapi ditindaklanjuti atau tidak, sepertinya mereka tidak terlalu peduli. Namun naas, alih-alih kita bisa bertemu dengan bapak bupati tepat waktu, justru yang ada ialah hampir dua jam kami ditelantarkan oleh bupati kami. Orang yang beberapa tahun lalu memohon kepada kami agar kami memilihnya sebagai pemimpin kami. “Seharusnya Pak Bupati keluar sebentar dan mengatakan kepada Kita semua bahwa masih ada urusan yang harus diselesaikan terlebih dahulu,” terang Pak Supo. “Kalau kondisinya seperti ini kan, Kita yang ada di sini menjadi resah karena seolah-olah Kita menunggu tanpa kepastian.” Benar juga pikirku. Apa sulitnya bagi seorang bupati untuk keluar sebentar dan mengatakan kepada konstituennya untuk menunggu sebentar karena masih ada urusan yang masih harus diselesaikan. Atau paling tidak bapak bupati bisa memerintahkan stafnya. Namun itu semua tidak dilakukannya. Saat yang ditunggu-tunggu oleh kami dan seluruh peserta diskusi lainnya pun tiba. Akhirnya bapak bupati pun tiba di ruang diskusi. Kedatangannya di temani oleh beberapa staf. Baik bapak bupati dan beberapa stafnya hari ini berpakaian batik. Bapak bupati duduk dikursinya sedangkan staf-stafnya duduk di belakangnya. Persis seperti raja yang ditemani oleh para penasihat kerajaan. Tamu pertama pun dipanggil oleh salah satu staf bapak bupati. Bapak bupati langsung menyalami tamunya, “Ada yang bisa Saya bantu,?” tanya bapak bupati. Tidak lama ku lihat mereka mulai berdiskusi mengenai permasalahan yang sedang dihadapi oleh tamu pertamanya. Para staf terlihat mulai sibuk mencatat. Diskusi yang dilakukan oleh bapak bupati dengan tamunya yang pertama tidak memakan waktu lama. Setelah itu, salah satu staf memanggil namaku. “Berikutnya, atas nama Gangsar Parikesit, alamat di jalan brantas XXV.” “Ayo Pak, Bu, Kita sudah dipanggil,” ujarku kepada Pak Supo dan Bu Ciciek. Kami berempat langsung bertatap muka dengan bapak bupati, menyalaminya dan langsug duduk dihadapannya. “Ada yang bisa Saya bantu?” tanya bapak bupati kepada kami. “Begini Pak, kami dari Tanoker Ledokombo, mau menyampaikan bahwa Kami minta dukungan dari Bapak.” “Rencananya pada tanggal 7 Juli, Kami mau mengadakan acara festival egarang yang ketiga,” jelas Pak Supo kepada bapak bupati. “Oh ini teman-teman dari Tanoker ya?” “Kok alamatnya di jalan brantas?” tanya bapak bupati terheran-heran. “Begini Pak, tadi yang mendaftar itu Gangsar, Dia salah satu mahasiswa yang ikut berpartisipasi di Tanoker,” papar Pak Supo. “Oh begitu.” “Sebenarnya Saya ingin sekali bisa bertemu dengan teman-teman di Tanoker, tapi memang hingga saat ini, Saya belum sempat,” jelas bapak bupati. “Nah ayo Pak, main-main ke Ledokombo,” tutur Bu Ciciek mengundang bapak bupati. “Begini saja, Saya pingin lihat adik-adik latihan, kapan kira-kira Saya bisa bertemu dengan adik-adik di sana?” pinta bapak bupati. “Kalau waktu terserah Bapak, adik-adik bisa kami kondisikan,” terang Bu Ciciek. “Bagaimana kalau hari Rabu, karena pada tangga 20 Juni Kami mau mengadakan lomba melukis egrang.” “Syukur-syukur Bapak bisa membuka acara tersebut,” pinta Bu Ciciek. Bapak bupati terlihat berpikir, beliau kemudian menolehkan kepalanya ke belakang dan bertanya, “Saya hari Rabu tanggal 20 ada jadwal tidak?” tanyanya kepada salah satu stafnya. “Kalau tidak ada, tolong disusun jadwalnya, biar Saya bisa berkunjung ke Ledokombo,” perintah bapak bupati kepada stafnya. Di tengah-tengah kami berdiskusi dengan beliau, beliau mulai mengambil kertas pakpir, mengisinya dengan tembakau dan setelah menatanya beliau mulai memilin kertas tersebut menjadi sebatang rokok. Untuk merekatkan kedua ujung kertas pakpirnya, beliau pun menggunakan perekat alami, yakni air liurnya sendiri. Tak lama, api mulai membakar rokok hasil lintingannya. Aroma tembakau pun mulai menusuk hidung kami. Namun beliau dengan santai tetap melanjutkan pembicaraan dengan kami. Bapak bupati yang merokok ketika berdiskusi di depan kami, membuat kami sedikit illfeel. Hal ini disebabkan oleh kurang adanya rasa hormat kepada kami. Mungkin banyak dari peserta diskusi yang seorang perokok. Namun aku rasa, mereka (peserta diskusi yang perokok) masih memiliki rasa hormat dan sungkan. Sungkan ketika berdiskusi dengan bapak bupati sambil merokok. Sambil menaruh rokoknya di asbak, bapak bupati kemudian bertanya, “Terus kenapa pelaksanaan festival egrang harus di Ledokombo, bukankah Kita memiliki alun-alun yang luas dan berada di pusat kota?” tanya bapak bupati. “Memang kami memfokuskan diri untuk memberdayakan masyarakat di Ledokombo terlebih dahulu,” jelas Bu Ciciek. “Terus rencana jangka panjang temen-temen di Tanoker ini apa?” “Mimpi Kami ialah ingin membuat museum permainan tradisional,” papar Bu Ciciek. “Ayo ikut Saya sebentar,” ajak bapak bupati kepada kami. Kami pun kemudian diajak oleh beliau masuk ke dalam ruang kerjanya. Baru pertama kali ini, aku bisa masuk ke dalam ruang kerja bapak bupati. Ruangannya cukup lebar. Di dalamnya terdapat beberapa hiasan, vandel dan beberapa penghargaan. Beberapa harian surat kabar nasional juga tergeletak di mejanya. Bapak bupati pun menggiring kami ke dua buah maket. Satu buah maket tampak seperti ruang terbuka hijau dengan stadion di dalamnya dan satu buah lagi merupakan maket dari stadion itu sendiri. “Rencanya Saya mau membuat ruang terbuka hijau.” “Mungkin nanti Saya bisa memberikan beberapa hektar lahan untuk Anda kelola menjadi sebuah musium permainan tradisional,” jelas bapak Bupati. Setelah mendengarkan beberapa penjelasan mengenai proyek pembangunan ruang terbuka hijau dan stadion, kami pun kembali ke ruang diskusi. Tidak lama pembicaraan diantara kami pun berakhir. Hasil pembicaraan tersebut ialah beliau sangat mendukung acara festival egrang yang akan kami selenggarakan dan beliau juga berjanji akan mengunjungi kami pada tanggal 20. Melalui acara Kamisan ini saya banyak belajar. Belajar bagaimana seharusnya saya bisa memperlakukan rakyat saya kelak ketika menjadi pemimpin. Belajar untuk bisa lebih dekat lagi dengan rakyat dengan mendatanginya secara langsung dan bukan mereka yang saya panggil ke dalam istana saya. Dan tiba-tiba saya teringat dengan ucapan Pak Supo, “kata Prof Kusnadi, pemimpin dan rakyatnya itu ibarat jari-jari tangan.” “Pemimpin itu disimbolkan dengan jempol dan rakyat disimbolkan dengan keempat jari lainnya.” Saya pun sempat berpikir apa maksud dari kalimat Pak Supo. Namun kita coba bersama-sama. Coba dekatkan keempat jari anda ke jempol anda. Susah bukan? Dan coba anda bandingkan jempol anda yang mendekati keempat jari anda. Mudah bukan? Pemimpin pun seperti itu, lebih mudah bagi pemimpin mendekati rakyatnya dibandingkan dengan rakyat yang harus mendekati pemimpinnya. Namun dalam acara Kamisan ini saya tidak melihat raja kecil tersebut layak dijadikan sebagai seorang pemimpin. Raja kecil tersebut masih belum bisa mengayomi dan bersikap santun ketika menemui rakyatnya di istananya. Semoga kelak terpilih raja kecil yang benar-benar bisa berperan seperti ibu jari yang mengayomi jari-jari yang lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H