Mohon tunggu...
Gangsar Parikesit
Gangsar Parikesit Mohon Tunggu... -

Seorang pemuda tanggung dengan kehidupan yang biasa-biasa saja. Namun punya satu impian agar kelak hidupnya tetap dapat bermanfaat bagi sesama manusia...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perubahan di Kotaku

12 Agustus 2012   18:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:53 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika aku mulai menyusun tulisan ini, tiba-tiba aku teringat dengan sebuah pertanyaan kecil namun menggelitik dari seorang kawanku yang bernama Iqbal, yang bertanya, “Melihat kota Karawang yang sekarang berkembang seperti ini, Saya ingin bisa terlibat di dalamnya.”

Alhamdulillah, pada akhirnya aku pun berkesempatan untuk dapat mengikuti acara buka bareng yang diselenggarakan oleh teman-teman seperjuangan pada saat di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Sebenarnya acara tersebut (buka bareng) ialah acara rutin yang diselenggarakan di tiap tahun pada bulan Ramadhan. Namun sayang, setiap diadakan acara tersebut aku jarang mendapatkan kesempatan untuk mengikutinya. Aku pun sempat berpikir, barangkali ini nasib. Nasib, dari keturunan Jawa yang lahir dan besar di bumi Parahyangan (perantauan). Sehingga, acara buka bareng yang rutin diselenggarakan hampir di akhir bulan Ramadhan,  akan menjadi hal mewah yang bisa aku ikuti. Maklum, kata mudik sangat erat dengan keluarga perantauan menjelang hari Idul Fitri. Dan biasanya aku pun telah pulang kampung ketika acara buka bareng diselenggarakan.

Tapi sekali lagi, aku bersyukur, setelah absen dalam beberapa tahun ke belakang, akhirnya aku dapat duduk bersama, berbagi pengalaman dengan teman-teman sambil menunggu adzan Maghrib berkumandang dari masjid Agung. Namun di sore itu ada yang berbeda karena tempat buka bareng dipenuhi dengan muda-mudi dengan atribut khas kelompok mereka. Tidak seperti biasanya, sore itu alun-alun di kotaku dipenuhi oleh muda-mudi dengan menggunakan jaket berwarna perpaduan putih, biru muda dan biru. Di jaket tersebut juga tertera tulisan sexy road yang dipertegas dengan logo lebah dengan posisi ‘mengentup’. Menurutku, gambar ini (lebah) seolah-olah ingin menegaskan bahwa jangan main-main dengan kami, kalau tidak ingin ‘tersengat’.  Sebelum menemukan tempat berbuka yang telah kami sepakati, aku sempat berkeliling alun-alun untuk mencari tempat berbuka namun tempat berbuka yang telah kami sepakati tak kunjung ku temukan. Dan sialnya di sekitar masjid agung dan alun-alun ku dapati muda-mudi yang berlalu-lalang dengan bergandengan tangan dan tak jarang ku dapati dari mereka (muda-mudi) berjalan sambil menikmati camilan ataupun sebatang rokok. Pemandangan tersebut kontras sekali karena tak sedikit dari mereka yang melakukannya di depan atau mungkin pelataran masjid agung. Otak ini sempat berpikir ada acara apakah gerangan, sehingga mampu menarik banyak muda-mudi untuk terpusat di masjid agung? Bukankah selama ini mereka banyak beraktivitas dimalam hari? Bukankah mereka juga sering kali mengotori tembok, rolling door rumah atau pertokoan dengan pylox berwarna biru? Bukankah karena aksi corat-coret yang mereka lakukan yang juga berdampak pada tidak pernahnya kotaku mendapatkan penghargaan adipura (penghargaan untuk kota yang bersih)? Hipotesaku yang tak berdasar mengatakan bahwa, mungkin ini ada acara ceramah biasa dan mereka diundang oleh pihak penyelenggara atau mungkin ini bulan puasa dan bulan puasa tersebut akan dijadikan sebagai titik balik perubahan sikap mereka (insyaf).

Belum menemukan jawaban yang pasti akan pertanyaan di atas, tiba-tiba telepon genggamku bergetar sebagai tanda adanya pesan masuk. Kemudian aku pun segera mengikuti isntruksi dari pesan tersebut dan tak lama aku bertemu dengan teman-temanku. Senang sekali rasanya hati ini, maklum semenjak perpisahan kami di tahun ganjil itu, aku jarang sekali bisa bertemu dengan mereka. Mengomentari perubahan fisik merupakan hal utama dari orang Indonesia yang sudah lama tidak bertemu. “Mas terlihat tampak lebih tinggi,” tegur seorang temanku. “Ah serius?” tanyaku balik. Karena aku tidak merasakan perubahan tersebut. Satu-satunya perubahan yang paling ku rasakan ialah perubahan warna kulit. Maklum saja banyak dari orang-orang yang telah lama tidak bertemu denganku, sekali bertemu yang dikeluhkan ialah, “Sar kok tambah hitam?” Ya, tapi aku tidak pernah menganggap itu sebagai sebuah penghinaan. Aku menganggap itu merupakan bentuk perhatian.

Tidak lama teman-temanku yang lainnya juga mulai berdatangan dan akhirnya kami pun berpindah tempat ke sebuah panggung. Dengan duduk beralaskan tikar, kami pun berbagi pengalaman sesekali diselingi canda tawa, namun kami tetap pasang telinga kalau-kalau adzan Maghrib berkumandang. “Ega kok banyak anak-anak XTC kumpul di sini?” tanya seorang temanku. “Oh Mereka habis menyelenggarakan acara baksos,” terang Ega. “Wah acara baksos?” tanya seorang temanku dengan sedikit nada heran. “Tapi tadi Ku lihat ada sebagian dari Mereka yang tidak berpuasa?” Sambil bergurau aku pun menjawab, “gak apa-apa kan yang penting ada acara baksosnya.” Temanku pun tertawa mendengarkan jawabanku. Sirine dari masjid agung yang meraung-raung menjadi penanda berakhirnya puasa pada hari itu. Kami pun bersama-sama berbuka puasa. Adzan Maghrib berkumandang dari masjid agung, suaranya memecah keramaian di sore itu. Namun sayang panggilan suci itu harus bersaing dengan suara deru mesin-mesin dari kendaraan roda dua yang di bawa oleh anak-anak geng motor tersebut. Salah seorang temanku pun ada yang bertanya, “Sar menurut pendapatmu bagaimana melihat fenomena ini (geng motor yang melakukan baksos, tapi sebagian dari mereka tidak berpuasa dan justru dengan bangganya ketika acara berakhir mereka merasa semakin gagah dengan menarik handle gas sepeda motor mereka)?” “Mereka sedang mencari jati diri saja,” jawabku singkat. Aku sempat mengingat-mengingat buku cultural studies, di mana anak-anak muda yang tergabung dengan geng motor akan semakin merasa ‘laki-laki’ dan eksistensinya pun akan semakin diakui oleh teman-teman yang lainnya. Kemudian aku pun bergurau, “Selama ini aku sedikit antipati melihat anak-anak boy band dan girl band Indonesia yang latah mengikuti boy band dan girl band Korea, tapi jujur saja ketika dibandingkan dengan kumpulan geng motor ini, sepertinya  boy band dan girl band Indonesia yang latah itu lebih terhormat. Terhormat karena mereka tidak mengganggu jalannya adzan Maghrib. Terhormat karena mereka juga menghargai orang yang berpuasa. Baksos yang mereka lakukan sedikit ternoda dengan beberapa perilaku mereka.

Namun aku juga tak ingin ambil pusing dengan memikirkan fenomena tersebut, aku tak ingin ulah mereka (geng motor) mengganggu keasyikan kami semua bercengkrama. Sate maranggi dan nasi yang dibungkus daun pisang yang disajikan oleh temanku menjadi sangat enak sebagai hidangan berbuka puasa. Hal ini disebabkan karena aku yang telah lama hidup di Jawa Timur seperti mengalami romantisisme dengan masakan-masakan Jawa Barat. Aku pun banyak bergurau dengan teman-temanku. Ternyata banyak teman-temanku yang telah bekerja dan berkarya di jalurnya masing-masing. Hanya aku dan beberapa temanku yang sepertinya masih sangat loyal dengan buku, mengerjakan tugas dan mendengarkan dosen-dosen ceramah. Tapi itu bukan menjadi hambatan apalagi menjadi jurang pemisah. Karena selama ini kami berteman berlandaskan atas ketulusan. Selain itu, bukankah persahabatan itu lebih mulia dibandingkan dengan manusia itu sendiri?

Tidak lama makanan dan minuman yang tersedia telah habis. “Yuk pindah ke tempat yang lebih terang,” pinta seorang temanku. “Oh maksud Mu pindah tempat ngobrol?” tanyaku. “Ya Sar.” “Di mana?” tanyaku. “Di KCP saja yang dekat.” KCP, aku sempat bertanya-tanya tempat apakah itu? Maklum karena jarang sekali bisa pulang ke rumah, aku jadi kurang up-date tempat-tempat nongkrong di kotaku ini. Kami pun menuju kendaraan masing-masing. Aku yang tidak tahu apa dan di mana itu KCP hanya mengikuti temanku dari belakang. Tidak jauh dari tempat kami berbuka puasa, ternyata saat ini telah berdiri gagah sebuah plaza. Dan aku baru menyadari bahwa KCP ialah kepanjangan dari Karawang Central Plaza. Batinku pun berteriak, what? Apa lagi ini pikirku. Namun aku mencoba untuk tidak menarik hipotesis terlalu dini. Aku membiarkan diri ini untuk mengetahui lebih lanjut apa itu KCP dari dekat.

Sepeda motorku pun mulai memasuki pelataran parkir KCP. Beberapa orang petugas parkir terlihat kewalahan menuliskan identitas sepeda motor para pengunjung. Tempat parkir sepeda motor di KCP sangat luas dan sepertinya mampu menampung beberapa ratus motor pengunjung. Di saat kami mulai memasuki plaza tersebut (KCP), terlontarlah pertanyaan di atas (pertanyaan yang dilontarkan oleh Iqbal). Aku pun langsung bertanya balik, “Maksudnya bisa terlibat di dalamnya itu apa ya?” “Maksudnya ya buka usaha apa gitu, kan Karawang sekarang telah berubah,” terang Iqbal. “Yupz Karawang sekarang tambah ramai,” paparku. “Ya Ki dengar-dengar mau dibangun bandara.” “Maklum Jakarta sepertinya semakin padat.” “Oh, Karawang saat ini telah menjadi kota satelit,” tambah ku. Kota satelit merupakan kota penyangga. Penyangga kota besar. “Oh maksud Mu mau ikut menikmati ‘kue pembangunan’? gurauku. “Kalau mau berpartisipasi, ayo kita bergerak, kita berdayakan masayarakat disekitar,”gumamku.

Memasuki KCP, mataku semakin terbelalak. Ya Allah, brand-brand semakin banyak yang masuk ke Karawang dan parahnya saat ini semakin menggurita. Di dalam KCP berdiri gagah, logo-logo Multi National Corporation (MNC) seperti Bread Talk, J.CO dan kawan-kawannya. Aku sedikit memikirkan kondisi kotaku lima tahun ke belakang. Di mana di Karawang hanya terdapat Mayofield Mal, Mal Karawang, Hero swalayan yang telah berganti dengan Giant swalayan. Dan kawasan tempat berdiri KCP ini kalau tidak salah merupakan lahan kosong. Namun saat ini, tata letak kota ini semakin kacau. Ruang terbuka hijau semakin berkurang digantikan oleh pusat perbelanjaan. Sawah-sawah mulai digantikan dengan pabrik-pabrik dengan limbahnya yang mengotori sungai Citarum. Apakah ini ciri modernisasi yang sedang Karawang tuju? Pikirku dalam hati. Dan yang paling kontras ialah KCP berdiri tidak jauh dengan RSUD Karawang.

Aku bertanya kepada seorang temanku, “Wan ieu (ini) arek (mau) ngopi di mana?” “Eta (itu) barudak (anak-anak) awewe (perempuan) geus (sudah) dihareupeun (di depan) J.CO.” Aku pun bergurau kepada Marwan, “Wan urang (saya) era (malu) euy lamun (kalau) kapanggih (ketemu) Karl Marx (pencentus gerakan revolusi proletar terhadap kaum borjuis menentang ketidakadilan) gara-garana (gara-garanya) urang ka tempatna kaum borjuis.” Dan ketika kami berkeliling plaza, aku pun berkata lirih pada Marwan, “Wan urang teu (tidak) mawa (bawa) duit loba (banyak) di dompet, ngke (nanti) mun (kalau) duit urang kurang, urang nginjeum (pinjem) heula (dulu) nya ka (ke) maneh (kamu).” Marwan pun berkata santai, “beres Ki.”

Tak lama kami semua duduk berhadap-hadapan di kursi yang telah disedikan J.CO. Teman-temanku satu persatu mulai memesan. Aku hanya duduk ngobrol-ngobrol dengan Puput mengenai pesona alam Jawa Timur. “Aki maneh hayang (mau) naon (apa)?” “Kopi weh (saja) Wan,” pintaku. Tidak lama Marwan datang dengan membawa segelas kopi milikku dan segelas minuman lainnya, aku tak tahu apa itu namanya. Aku pun mulai melihat keadaan di sekeliling, ternyata banyak juga orang-orang yang berbelanja di J.CO. Aku pun mulai mencicipi kopi yang dipesankan oleh Marwan untukku. Sepertinya kopi di sini tidak ada nilai lebihnya. Aku yang pecinta kopi, mengatakan bahwa kopi jos (kopi dengan bara arang) yang dijajakan di angkringan sekitar stasiun Tugu Yogyakarta sebenarnya lebih terasa mantap dibandingkan kopi yang disajikan oleh J.CO. Sense of politics-ku tiba-tiba saja berargumen. “Gangsar J.CO sebenarnya hanya menawarkan tempat yang ekslusif dan adanya peningkatan status sosial ketika kamu bisa masuk ke dalamnya.” Oh ya tiba-tiba aku teringat tulisan seorang dosen di Malaysia mengenai puasa yang dimuat di Jawa Pos beberapa hari yang lalu. Terkadang puasa yang substansinya ialah menahan diri akan terdistorsi oleh ulah manusia itu sendiri yang disibukkan dengan memikirkan hiasan untuk dirinya. Dan ternyata setelah aku browsing di dunia maya, waralaba yang didirikan oleh Johny Andrean Group ini paling banyak membuka cabangnya di Indonesia dibandingkan dengan Singapura, Malaysia dan Cina. Padahal jauh lebih sejahtera dibandingkan Indonesia. Namun mengapa J.CO banyak membuka cabangnya di sini (Indonesia). J.CO tentu bukan waralaba bodoh, banyaknya cabang di Indonesia tentu berarti bahwa pasar di Indonesia sangat potensial dibandingkan dengan pasar di Singapura, Malaysia dan Cina. Walaupun tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia jauh di bawah tingkat kesejahteraan Malaysia, Singapura dan Cina mungkin tingkat konsumsi bangsa ini bersikap terbalik dengan tingkat kesejahteraan.

Berdirinya KCP juga semakin mengukuhkan bahwa kapitalisme dengan kekuatan modal, jaringan dan penciptaan pasarnya semakin menjadikan masyarakat Karawang sebagai objek. Mereka (MNC) yang menciptakan gagasan dan membenamkan bahwa ketika kita mampu makan dan nongkrong di sana, akan mampu meningkatkan status sosial kita. Padahal sederhananya ialah semakin sering kita makan dan nongkrong disana, maka semakin banyak keuntungan yang bisa mereka raup. Satu hal yang benar-benar sedikit kusayangkan ialah nampaknya tesis Herbert Marcuse mengenai manusia satu dimensi semakin mendekati kenyataan. Manusia satu dimensi. Manusia yang homogen. Manusia yang memiliki selera, gaya hidup dan pandangan yang sama. Aku pun berpikir mungkin beberapa tahun ke depan orang Karawang dan orang dari negara-negara Barat lainnya tidak akan memiliki perbedaan, karena kami sama-sama memiliki selera makan, gaya hidup dan pola pikir yang sama. Yang membedakan kami ialah hanya fisik saja. Dan inilah yang ditakutkan oleh founding fathers (Soekarno), bahwa penjajahan yang akan kita hadapi di masa depan bukanlah penjajahan secara fisik, namun penjajahan ide dan gagasan dan bentuk penjajahan ini sangat sulit kita sadari.

Namun itu semua tetap dikembalikan kepada keyakinan masing-masing manusia. Karena pandangan teori-teori pos positivis tidak pernah menjadikan manusia sebagai objek yang harus diperlakukan seperti benda. Manusia ialah subjek. Subjek yang bebas melakukan sesuatu. Sama seperti hal-hal diatas (selera makan, gaya hidup dan pemikiran), namun terkadang kita semua lupa dengan identitas kita sebagai manusia Indonesia. Identitas bahwa kita ialah manusia Indonesia dengan gaya yang hidup sederhana dan inklusif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun