Pendidikan dan penindasan, dua kata yang sebenarnya memiliki sebuah keterkaitan yang sangat erat. Keeratan kedua kata tersebut (pendidikan dan penindasan) dapat kita ketahui dalam proses pendidikan. Proses pendidikan yang sarat dengan penindasan ialah proses pendidikan di mana peserta didik hanya dijadikan sebagai objek yang harus dibantu oleh pengajar. Sebagian pengajar mungkin beranggapan bahwa dirinya lah orang yang memiliki pengetahuan dibandingkan dengan peserta didik, sehingga mereka (pengajar) sering kali menganggap bahwa peserta didik yang baik, ialah peserta didik yang paling mudah diisi (diajarkan) tanpa mengkritis apa yang disampaikannya dan peserta didik yang kritis merupakan peserta didik yang bermasalah dan harus segera ditanggulangi. Penindasan yang dibungkus dengan pendidikan dapat kita ketahui dari proses belajar mengajar yang di dalamnya tidak ada proses dialog antara pengajar dan peserta didik. Selain itu, dalam proses belajar mengajar, sering kali pengajar menghalangi kreativitas para peserta didik. Tentu kita tidak asing lagi dengan sebuah kejadian di mana pengajar memarahi peserta didiknya hanya karena peserta didiknya terlalu kritis.
Oleh sebab itu, saat ini dalam dunia pendidikan mulai marak dengan konsep Problem Based Learning (PBL). PBL merupakan proses pembelajaran aktif yang berpusat pada penyelidikan dan mencari sebuah solusi dari suatu masalah. Dalam pembelajaran ini, (PBL) peserta didik dituntut untuk lebih aktif, sedangkan pengajar menjadi fasilitator. Dalam praktiknya, pembelajaran ini didesain dengan pembentukan kelompok-kelompok kecil, di mana peserta didik diberikan beberapa permasalahan yang harus dipecahkan. PBL mulai dikenal pada akhir tahun 1960, di sekolah kedokteran Universitas Mc Master di Kanada.[1] Tidak lama kemudian Universitas Limburg di Maastricht Belanda menjadi pionir dalam pengembangan sistem pembelajaran PBL di Eropa dan hingga saat ini Belanda telah mendapat pengakuan internasional sebagai negara yang memiliki terobosan dalam PBL. Dengan sistem pembelajaran ini, peserta didik di Belanda menjadi lebih kreatif karena peserta didik diberikan studi kasus yang harus dipecahkan. Selain itu, diskusi-diskusi di kelas pun akan menjadi lebih hidup karena pengajar memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk berdiskusi dan mengemukakan argumen mereka (peserta didik). Keberhasilan sistem pembelajaran PBL di Belanda, menjadikan empat universitas Belanda yaitu, Universitas Utrecht (68), Universitas Wageningen (75), Universitas Leiden (79) dan Universitas Amsterdam (92) berada dalam jajaran 100 universitas terbaik di dunia versi times higher education.[2]
Apa yang terjadi di Belanda sepertinya masih sangat jauh untuk dapat diterapkan di Indonesia. Dunia pendidikan di Indonesia masih terkungkung dengan sebuah tradisi di mana dalam proses belajar mengajar di ruang kelas peserta didik masih memposisikan seorang pengajar bukan sebagai teman dialog, tetapi lebih sebagai ‘pencurah pengetahuan’. Apa lagi dengan adanya kebijakan Ujian Nasional (UN) yang menjadikan siswa, keluaraga siswa dan bahkan gurunya sendiri menjadi ketar-ketir dalam menghadapi UN. Karena dengan sistem UN, maka kelulusan siswa sedikit banyak juga dipengaruhi oleh kemampuan komputer dalam menilai jawaban siswa. Terlalu riskan untuk menggantungkan nasib seorang siswa kepada komputer. Selain itu, standar kelulusan yang diterapkan sama bagi seluruh siswa Indonesia menjadi sangat tidak adil ketika hingga saat ini, masih ada kesenjangan dalam infrastruktur pendidikan. Padahal sejatinya pendidikan bertujuan untuk pembebasan dan pemanusiaan bukan untuk melanggengkan penindasan.
[1]http://fcis.oise.utoronto.ca/~daniel_sch/assignment1/1969mcmaster.html. [8 Mei 2012]
[2]http://www.timeshighereducation.co.uk/world-university-rankings/2011-2012/top-400.html. [12Mei 2012]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H