Hari ini komunitas belajar, bermain, bersahabat dan berkarya Tanoker Ledokombo kedatangan tamu istimewa. Tamu dari Jakarta. Seorang wanita yang bernama Maria Ulfah. Beliau ialah ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Pada awalnya, aku tidak mengetahui rencana beliau untuk berkunjung ke Ledokombo. Namun pada saat mencari sponsorship bersama Ratih barulah aku mengetahuinya. “Saya besok mau ke Ledokombo Mas.” “Mau tahu siapa itu ibu Maria Ulfah,” ujar Ratih saat kami dalam perjalanan pulang dari Sosro. “Mas mau ikut?” tanya Ratih pada ku. “Belum tahu Dek, lihat besok saja,” timpal ku menjawab pertanyaan Ratih.
Aku sebenarnya bingung sekali, apakah harus ke Ledokombo atau tidak. Mau berangkat ke Ledokombo, tapi Bu Ciciek dan Lek Hang belum mengajak. Tapi kalau tidak berangkat, kapan lagi aku punya kesempatan untuk bertemu ketua KPAI tanpa harus melewati birokrasi. Sungkan sekali rasanya kalau menjadi tamu tak diundang. Tapi Alhamdulillah, pada siang harinya jawaban atas keragu-raguan itu terjawab sudah. Dalam status face book-nya, Tanoker Ledokombo mengundang ku untuk hadir ke dalam acara tersebut. Dalam statusnya, Tanoker Ledokombo mengatakan bahwa ketua KPAI akan datang pada pukul empat sore. Ba’da sholat Ashar, aku bergegas menuju Ledokombo. Dalam perjalanan, sepeda motor ku pacu dengan kecapatan cukup tinggi agar aku tidak ketinggalan acara diskusi bersama ketua KPAI, maklum saja aku baru berangkat dari kosan sekitar jam setengah empat.
Pukul empat lebih aku tiba di rumah Lek Hang.Ku parkirkan kendaraan ku di samping rumah. Ternyata sepeda motor Mbak Ema dan sepeda motor Ratih telah terparkir lebih dahulu. Aku segara memasuki rumah, namun ternyata suasana di dalam masih sepi. Di depan rumah juga tidak ku dapati mobil yang terparkir, dengan segera aku bisa menyimpulkan bahwa tamu istimewanya masih belum datang. Sambil mengisi waktu menunggu tamu istimewa itu datang, aku pun mengobrol masalah konflik tanah Ketajek bersama Lek Hang. Selesai mengobrol dengan Lek Hang, aku beranjak menemani Bu Ciciek yang duduk di meja kerjanya. “Bu jam berapa, Bu Maria mau datang ke sini?” tanya ku. “Belum tahu Gangsar, ini katanya masih bertemu dengan anggota DPRD, setelah itu masih harus mengunjungi instansi lainnya,” ujar Bu Ciciek. “Gimana Gangsar skripsinya?” tanya Bu Ciciek yang ingin mengetahui perkembangan skripsi ku. “Alhamdulillah Bu ini sudah BAB 4, InsyaAllah sebentar lagi selesai,” jawab ku. Tak terasa kami berdua pun terlibat pembicaraan yang asyik seputar skripsiku dan rencana ku kedepannya setelah aku lulus kuliah.
Malam telah larut, namun tanda-tanda kedatangan Bu Maria Ulfah juga belum tampak. “Gangsar, Ratih, Pak Muhammad ayo kita makan bubur dulu,” pinta Bu Ciciek kepada kami bertiga. Akhirnya makanan pembuka yang awalnya disuguhkan untuk tamu istimewa, malah menjadi makanan pembuka bagi kami. Ketika sedang asyik menyantap bubur, HP Bu Cicik berdering, ternyata Bu Maria Ulfah telah selesai dengan kunjungannya dan sekarang bersiap menuju Ledokombo. Aku, Ratih dan Pak Muhammad kemudian segera membantu Lek Hang dan Bu Ciciek mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan untuk berdiskusi dengan Bu Maria Ulfah.
Setelah kami menunggu cukup lama, akhirnya tamu istimewa tersebut datang. Dengan dibalut baju batik dan kerudung berwarna hijau, Bu Maria Ulfah berjalan beriringan dengan ketiga rekannya menuju ruang pertemuan. Aku dan Ratih berdiri di dekat pintu, sambil mengulum senyum layaknya pager ayu dan pager bagus, Aku dan Ratih mulai menjabat tangan tamu istimewa itu satu demi satu. “Ini mahasiswa yang menjadi volunteer di sini,” terang Lek Hang kepada Bu Maria Ulfah. Begitu keempat tamu tersebut masuk, aku, Ratih dan Pak Muhammad segera mengeluarkan berbagai macam makanan ke ruang pertemuan. Ibu-ibu yang tinggalnya di sekitar rumah Lek Hang telah berkumpul di dalam. Tidak ketinggalan adik-adik juga telah berkumpul di ruang pertemuan. Sambil menonton video mengenai Tanoker, Bu Maria Ulfah dan rekan-rekannya mulai mencicipi bubur dan kacang kedelai yang kami sediakan.
Dua video pun menemani kami semua pada malam itu. Satu video yang dibuat oleh adik-adik SMAK Santo Paulus dan satu lagi video ketika adik-adik Tanoker perform di acara road show Indonesia Mengajar. Kami semua yang ada di dalam ruang tersebut tertawa terpingkal-pingkal ketika melihat kembali aksi adik-adik yang perform di acara road show Indonesia Mengajar. Setelah video terakhir habis diputar dan tamu istimewa telah menghabiskan santap malam mereka, tibalah acara yang kami tunggu-tunggu, yakni acaradiskusi. Bu Ciciek bertindak seolah-olah seperti moderator. “Silahkan Mbak Maria Ulfah dan rombongan mengenalkan diri,” ujar Bu Ciciek sembari menyerahkan mic ke Bu Maria Ulfah. “Terimakasih, atas kehadiran Ibu-ibu, Adik-adik serta teman-teman dari mahasiswa dan Kami mohon maaf atas keterlambatan Kami.” “Saya Maria Ulfah, dari KPAI dan ini juga ada rekan Saya dari perwakilan Global Peace Woman.” “KPAI itu sendiri merupakan lembaga yang independen yang bekerja mengawasi beberapa lembaga yang bertugas dalam mengurusi masalah-masalah anak.” “KPAI ini dibentuk atas mandat DPR/MPR,” ujar Bu Maria Ulfah dalam mengenalkan secara singkat apa itu KPAI. Bu Maria Ulfah terus melanjutkan kalimatnya, “Kami tadi habis bertemu dengan anggota DPRD Jember, di sana Kami terkejut, karena angka perceraian di Kabupaten Jember ternyata cukup tinggi.” “Bayangkan Ibu-ibu, di Jember dalam satu bulan ada sekitar lima ratus kasus perceraian.” “Coba Kita bayangkan, berapa pasangan yang akan berpisah dalam satu tahun?” Belum sempat kami semua di dalam ruangan itu menjawab pertanyaan dari Bu Maria Ulfah, Bu Maria Ulfah kembali melanjutkan kalimatnya, “Ada enam ribu pasangan, lalu kalau kita anggap setiap pasangan yang bercerai tersebut telah memiliki dua anak, ada berapa anak yang akan terlantar karena ayah dan ibunya bercerai?” “Ada 12.000 anak yang akan terlantar” “Oleh sebab itu, alangkah buruknya dampak dari perceraian, ajaran agama mana pun juga menganjurkan agar umatnya menghindari perceraian.”
“Anak-anak yang broken home ini, tentu akan banyak belajar dari lingkungan di luar lingkungan keluarga.” “Mereka mulai kehilangan figur yang diidolakan di keluarga mereka.” “Ya kalau anak-anak itu lari ke hal yang positif tidak menjadi masalah, yang menjadi masalah kan, ketika anak-anak yang broken home ini lari ke hal-hal yang negatif,” ujar Bu Maria Ulfah meyakinkan kami semua. “Oleh sebab itu Ibu-ibu dan Adik-adik, dalam membangun rumah tangga, kalau hanya berlandaskan rasa cinta saja tidak cukup.” “Kalau kata Pak Quraish Shihab, dalam membangun rumah tangga juga perlu iman.” Aku pun mulai berpikir, apa maksudnya. “Begini Ibu-ibu, kalau cinta saja yang dibutuhkan dalam membangun rumah tangga tanpa di-cover dengan iman, tentu pasangan akan mudah terjebak dalam konflik, karena cinta kan ada pasang surutnya.” “Sama seperti iman, kadang naik dan kadang turun, oleh sebab itu cinta dan iman harus saling melengkapi.” “Satu hal lagi, pacaran dengan waktu yang lama bukan jaminan bahwa rumah tangganya jauh dari perceraian.”
“Ya tadi penjelasan sedikit dari Mbak Maria Ulfah, sekarang silahkan jika ada yang ingin ditanyakan kepada Mbak Maria Ulfah dan perwakilan Global Peace Woman,” ujar Bu Ciciek membuka sesi diskusi. Tak perlu waktu lama, aku langsung mengangkat tangan kanan ku. Mic pun disodorkan ke arah ku. “Terimakasih atas kesempatannya, Saya Gangsar Parikesit, yang ingin Saya tanyakan kepada Ibu Maria ialah, kenapa harus dibentuk KPAI, bukankah telah ada organisasi lainnya yang bergerak dalam perlindungan anak, seperti komnas perlindungan anak?” “Apakah tidak saling tumpang tindih dalam pelaksanaannya?” Setelah aku melontarkan pertanyaan, ada bu bidan yang juga telah siap dengan pertanyaannya. “Bu, menurut Ibu, apa tipsnya agar bisa menghindari kekerasan dalam rumah tangga?” “Ada tetangga Saya yang hampir setiap hari terlibat pertengkaran, bahkan si Suami sering kali melakukan kekerasan, ketika Kami menyarankan agar Suaminya di laporkan kepada polisi saja, si Istri selalu saja bilang tidak usah dilaporkan karena dia masih cinta, nah kalau menurut Ibu bagaimana menyelesaikan masalah tersebut?” tanya bu Bidan menutup pertanyaan dalam diskusi malam ini.
Mic pun kembali diserahkan kepada Bu Maria Ulfah. “Dua pertanyaan yang bagus,” terang Bu Maria Ulfah. “Begini Mas, KPAI ini merupakan lembaga independen yang mengawasi kerja lembaga-lembaga penyelenggara perlindungan anak seperti pemerintah.” “Oleh sebab itu jika semakin banyak lembaga penyelenggara perlindungan anak di Indonesia, tentu makin bagus.” “Karena akan semakin melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada.” “Tentu Kami berbeda dengan komnas perlindungan anak, karena komnas perlindungan anak itu termasuk lembaga penyelenggara perlindungan anak.” “Dari situ kewenangan Kami tidak saling tumpang tindih,” terang Bu Maria Ulfah dengan singkat menjawab pertanyaan ku.
Bu Maria Ulfah pun bergegas menjawab pertanyaan kedua dari bu bidan. “Ini pertanyaan yang bagus,” jelas bu Maria Ulfah. “Kategori KDRT ialah kondisi di mana, ada kekerasan dalam rumah tangga hingga menimbulkan luka atau pendarahan.” “Dalam kasus tetangga Bu bidan ini aneh, coba kita pikirkan bersama, mana ada orang yang mengaku dirinya cinta terhadap pasangannya tapi justru menyiksa pasangannya?” Aku pun sempat berpikir dengan analogi sederhana yang dilontarkan oleh Bu Maria Ulfah. Tapi aku punya pandangan lain, mungkin justru karena cinta tanpa syarat dari si istrilah terhadap suaminya, sehingga menjadikan si istri tersebut tidak melaporkan perlakuan kasar suaminya ke pihak yang berwajib.
“Selain itu, kasus seperti ini juga sering Kami temui, kasus-kasus seperti ini memang sangat menyulitkan,” ujar Bu Maria Ulfah. “Untuk tips-tips menjaga keharmonisan rumah tangga, Ibu-ibu tidak usah jauh-jauh mencari figur, Bu Ciciek sama Lek Hang merupakan salah satu figur yang dapat ditiru,” canda Bu Maria Ulfah pada kami semua. Ku lihat sekilas senyum dari bibir Bu Ciciek yang tidak menyangka jawaban dari Bu Maria Ulfah. Selama aku di Tanoker dan kenal dengan keluarga Bu Ciciek, memang keluarga Bu Ciciek merupakan salah satu contoh keluarga yang demokratis. Di mana seorang suami tidak hanya berurusan dengan masalah eksternal, namun suami juga harus bisa mengurus permasalahan internal. Seorang istri juga tidak harus terlibat dalam urusan tiga M saja (Macak (berias), Masakdan Manak (melahirkan)), namun istri juga diberikan kesempatan untuk berkarya di luar. Pernah suatu hari aku berkunjung ke rumah Bu Ciciek, namun pada saat itu Bu Ciciek sedang keluar kota. Satu hal yang tak ku duga ialah Lek Hang ternyata mampu menjadi figur ibu dan ayah sekaligus. Dengan sabarnya Lek Hang mengupasi apel untuk anaknya. Bahkan Lek Hang juga memasangkan tali sepatu anaknya yang mau berangkat ke lapangan sepak bola.
“Mungkin nanti, rekan-rekan Saya dari Global Peace Woman bisa menjelaskan lebih lanjut,” tambah Bu Maria Ulfah. “Salah satu langkah preventif dalam keharmonisan dalam rumah tangga ialah dengan menghindari pernikahan dini.” “Mensegerakan anak untuk menikah boleh, tapi yang harus diingat menikah itu kalau bisa untuk selamanya,” papar Bu Maria Ulfah. “Dengan kondisi yang matang dari masing-masing pihak, diharapkan nanti akan terbentuk keluarga yang sakinah, ma’wadah dan warohamah.” “Kalau dalam usia muda telah menikah biasanya ego dari masing-masing pasangan masih cukup tinggi, sehingga sering berdampak pada pertengkaran,” papar Bu Maria Ulfa menutup jawabannya atas pertanyaan dari Bu Bidan.
“Pertanyaan dari Ibu Bidan akhirnya memaksa Saya untuk menerangkan sedikit mengenai rumah tangga,” terang perwakilan dari Global Peace Woman. “Begini Ibu-ibu ketika Kita berumah tangga, Kita harus dapat membagi peran Kita dan cinta Kita.” “Peran dan cinta yang Kita bagi secara proporsional merupakan salah satu cara menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga.” “Kalau misalkan Ibu-ibu cerai dengan suaminya tentu yang menjadi korban ialah anak kita.” “Oleh sebab itu Ibu-ibu, kalau misalkan ada masalah yang harus diperbincangkan dengan suami dan masalah tersebut rentan dengan pertengkaran, tolong jangan membicarakan masalah itu di depan anak-anak Kita.” “Kasihan anak-anak Kita nantinya kalau harus melihat ayah dan ibunya bertengkar.” “Anak Kita nantinya bisa mengalami tekanan psikis dan itu tidak baik untuk perkembangan si Anak.”
“Ibu-ibu kalau misalkan uang bulanan dari suami hanya cukup buat beli lauk tahu tempe, suami jangan langsung dimarahi.” “Kasihan kan suami Kita yang sudah membanting tulang di luar sana, kalau pulang-pulang Kita marahi.” “Ada baiknya ditanyakan terlebih dahulu.” “Misalkan, Ayah hari ini Kita makan lauknya tahu tempe lagi, ini karena memang harga-harga kebutuhan pokok lagi naik,” paparnya. “Nah kalau memang sekarang perekonomian keluarga lagi sulit, Ibu-ibu tidak perlu malu untuk turut bekerja demi membantu perekonomian keluarga.” “Ibu-ibu jangan mau kalau tidak diperbolehkan untuk bekerja oleh suami jika alasannya tidak masuk akal,” ujarnya sembari memprovokasi ibu-ibu di dalam ruangan. “Salah satu kasus yang banyak Kami tangani ialah, kasus pertengkaran dalam rumah tangga hanya karena penghasilan istri lebih besar dibandingkan dengan penghasilan si suami.” “Mungkin si suami malu karena penghasilan istrinya bisa lebih besar dibandingkan penghasilannya.” “Dari hal itulah sering sekali timbul pertengkaran dalam rumah tangga,” terangnya. Aku pun berpikir keras dengan contoh yang dikemukakan oleh teman-teman dari Global Peace Woman. Apa mungkin pertengkaran dalam rumah tangga dapat terjadi hanya karena masalah tersebut? Mungkin idealnya baik si suami maupun si istri harus memiliki saling pengertian yang cukup tinggi. Sudah sepantasnya seorang suami jangan memiliki pemikiran bahwa dia tidak berguna ketika penghasilan si istri lebih besar dibandingkan dengan dirinya dan alangkah baiknya jika si istri juga tidak besar kepala ketika dialah yang menjadi tulang punggung dalam rumah tangga. “Ya karena Bu Maria Ulfah dan teman-temannya ini mau melanjutkan perjalanan ke Banyuwangi, maka diskusi kita cukupkan sampai di sini,” ujar Bu Ciciek menutup acara diskusi malam itu. Setelah aku, Ratih, Pak Muhammad dan Mbak Ema membereskan semua peralatan diskusi dan mengembalikkan ke tempatnya masing-masing, kami pun mohon diri.
Tak terasa malam semakin larut, dalam perjalanan pulang ke Jember sambil bersepeda motor menembus udara dingin malam itu. Bibir ku tak hentinya mengucapkan kata syukur. Syukur atas kesempatana dapat bertemu dengan ketua KPAI dan teman-teman dari Global Peace Woman. Bersyukur atas ilmu baru. Ilmu yang sangat bermanfaat dalam membangun rumah tangga yang sakinah, ma’wadah dan warohamah. Banyak hal yang ingin ku lakukan kelak suatu saat ketika diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa menjadi kepala rumah tangga sekaligus seorang ayah. Ingin sekali aku bisa berbagi peran dengan istri ku kelak agar anak yang notabenenya titipan dari Yang Maha Kuasa ini kelak tidak menjadi korban. Ingin sekali aku bisa meluangkan banyak waktu bagi keluarga ku tanpa harus tersandera dengan kesibukkan pekerjaan di luar sana. Dan dalam lamunan ku, tiba-tiba saja aku teringat dengan wejangan dari dosen sosiologi ku. “Setiap manusia dilahirkan dengan watak yang berbeda-beda, tidak ada manusia yang memiliki watak yang sama.” “Oleh sebab itu untuk menciptakan keharmonisan yang kita perlukan bukanlah penyamaan sifat dan gagasan, melainkan Kita harus mampu mengatur konflik agar keharmonisa tetap terjaga.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H