Mohon tunggu...
Ganggas Prasidya Dewangga
Ganggas Prasidya Dewangga Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa di Jogja, Perlu banyak belajar

Menulis untuk memahami

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Larangan Mudik: Pemerintah Benar, Pemudik Tidak Salah

21 Mei 2020   06:00 Diperbarui: 21 Mei 2020   09:55 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Adanya pandemi virus corona yang menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Membuat berbagai macam negara memberlakukan suatu aturan agar  virus corona  tidak menyebar ke seluruh warga negaranya dan untuk meminimalisir bertambahnya korban dari virus corona. Salah satu kebijakan yang diberlakukan di Indonesia adalah larangan mudik oleh pemerintah Indonesia. 

Adanya larangan mudik ini bukan tanpa alasan, karena pemerintah Indonesia khawatir pemudik akan “membawa” virus corona ini tanpa disadari ke tempat asalnya sehingga bisa saja keluarganya atau orang di sekitarnya terkena virus corona. Namun, bagi pemudik tentu tidak ada pilihan lagi selain kembali ke kampung halamannya. Karena bisa saja di tempatnya merantau tidak ada yang bisa dikerjakan lagi. Bagi yang mahasiswa/i sistem kuliahnya online, bagi yang bekerja bisa saja dirumahkan atau yang paling buruk terkena PHK dari perusahaannya. Tapi bagaimanapun kita harus tetap mencoba melihat dari dua sisi.

Dari Sisi Pemerintah

Sejak 24 April 2020, pemerintah telah melarang mudik. Yang sebelumnya larangan mudik hanya berlaku bagi ASN, TNI, Polri, dan pegawai BUMN, kini pelarangan mudik berlaku bagi semua masyarakat. Adanya pelarangan ini bukan tanpa alasan, pemerintah melarang mudik agar penyebaran virus corona dapat dicegah dan agar tidak menambah jumlah pasien yang positif corona. 

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bisa saja para pemudik tersebut “membawa” virus corona tanpa disadari sehingga dapat menyebarkan virus tersebut ke keluarganya atau orang terdekatnya. Hal inilah yang dapat memicu bertambahnya jumlah pasien positif corona di Indonesia. Seperti kejadian penumpang travel yang berasal dari Jakarta menuju Cilacap, mereka yang nekat untuk mudik di tengah pandemi corona ini setelah melakukan tes cepat, hasilnya 8 pemudik tersebut positif corona. Hal seperti inilah yang dikhawatirkan oleh pemerintah yang pada akhirnya benar-benar terjadi.

 Dari Sisi Pemudik

Pemudik yang pada akhirnya nekat mudik di tengah pandemi corona ini sebenarnya bisa dikatakan salah, namun mereka yang memilih nekat mudik pun tentu memiliki alasan mengapa mereka tetap mudik walaupun pemerintah sudah melarangnya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bisa saja di tempatnya merantau tidak ada yang bisa dikerjakan lagi. Bagi yang mahasiswa/i sistem kuliahnya pun online jadi bisa dikerjakan dimana saja. Atau bagi yang bekerja, mereka ada juga yang dirumahkan. Lantas pada akhirnya, apa yang mereka lakukan? tentu memilih untuk kembali saja ke kampung halamannya kan?. 

Seperti ada salah satu kisah pemudik menggunakan jasa travel gelap untuk mudik yang akhirnya digagalkan oleh Direktorat Polda Metro Jaya. Mereka yang nekat mudik tersebut mengatakan bahwa dirinya sudah kekurangan uang untuk bertahan di Jakarta. Dan ada juga pemudik yang memilih untuk berjalan kaki hingga sejauh 440 km. 

Pemudik tersebut merupakan orang asli Solo yang bekerja di Jakarta, alasan pemudik tersebut mudik dengan jalan kaki karena ia di PHK perusahaannya akibat pandemi virus corona. Pada awalnya ia berpikir apakah harus bertahan di Jakarta atau memilih untuk pulang kampung ke Solo. Namun, jika tetap di Jakarta dirinya harus membayar uang sewa kontrakan dan masih mencukupi kebutuhan hidup setiap hari.

Kesimpulan

Pada akhirnya, pemerintah bisa dikatakan benar juga jika mengeluarkan kebijakan dilarang mudik agar penyebaran virus corona tidak meluas dan dapat dicegah. Namun, bagi para pemudik yang nekat mudik pun mereka juga tidak bisa dibilang salah, karena di tempat perantauannya dia tidak bisa melakukan apapun atau kekurangan uang untuk bertahan di tempat perantauannya apalagi mereka yang terkena PHK, tetap harus membayar uang kontrakan atau uang kos dan tentunya juga harus mencukupi kebutuhannya sendiri yang tentunya hal yang sulit bagi mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun