Mohon tunggu...
Ganesha Siti Fariza
Ganesha Siti Fariza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Indonesia

Ganesha Siti Fariza, akrab disapa dengan Echa merupakan salah satu mahasiswa Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu SosiaI dan lmu Politik dengan jurusan Ilmu Politik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Eksil 1965: Penderitaan, Harapan, dan Perjuangan Mempertahankan Identitas

18 Juni 2024   21:55 Diperbarui: 18 Juni 2024   22:04 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Eksil atau exile menjadi sebuah kata yang tidak asing didengar oleh segelintir masyarakat. Umumnya, eksil merupakan sebuah kondisi yang saat itu tidak berada di negaranya sendiri atau terasingkan. Banyaknya Eksil yang menetap di berbagai negara hingga akhir hayatnya tidak dapat terhitung. Mulai dari Eropa, Belanda, Ceko, Uni Soviet Swedia hingga Jerman. Beberapa eksil yang turut andil untuk menjadi narasumber dalam filmnya, diantaranya Asahan Aidit, Chalik Hamid, Djumaini Kartaprawira, Kuslan Budiman, Sardjio Mintardjo, Sarmadji, Hartoni Ubes, I Gede Arka, Tom Iljas, dan Waruno. Mereka merupakan mahasiswa dan pelajar yang saat itu mendapatkan beasiswa untuk ke luar negeri dalam rangka menempuh pendidikan ketika masa pemerintahan Soekarno. Namun, tanpa disangka karena pada saat itu terjadi gejolak politik yang luar biasa, yang dikenal dengan sebutan Peristiwa 1965 atau G30S PKI yang dimana mereka tidak bisa kembali ke Indonesia dan hidup tanpa identitas akibat paspor yang dimilikinya dicabut. Peristiwa G30S PKI menjadi momentum titik balik orde baru yang pada saat itu Soeharto mengambil alih kekuasaan dan banyak melakukan berbagai tindakan, mulai dari penangkapan, penganiayaan bahkan pembunuhan. Hingga akhirnya, menjadi eksil merupakan salah satu pilihan bagi banyak orang untuk menyelamatkan diri dari adanya rezim baru tersebut. 

Keadaan terpaksa membuat para eksil harus dapat bertahan hidup di negara orang lain dengan keadaan yang nomaden dengan melakukan pekerjaan jenis apapun untuk kesehariannya tanpa melihat latar belakang yang dimiliki oleh para eksil. Mereka menginginkan untuk kembali dan tinggal menetap di Indonesia tanpa adanya paksaan serta mendapatkan hak kewarganegaraannya secara utuh. Beberapa arsip yang seringkali ditunjukkan dalam film eksil menjadi bukti bahwa memang benar para eksil memegang track record perjalanan selama kehidupannya dari sejak 1965. Khususnya pada tokoh Sarmadji, yang dalam videonya Sarmadji membuat perpustakaan yang bernama perhimpunan dokumentasi Indonesia. Seorang tokoh yang menetap di Netherland ini membuat perpustakan sebagai monumen peringatan bagi para eksil yang dicabut paspornya secara paksa dan meninggal di luar negeri. Mayoritas isi dari perpustakaannya berkaitan erat dengan bahasan 1965 (BBC News Indonesia, 2015). 

Denasionalisasi Eksil dalam Teori Diskursus dan Žižek 

Menurut teori diskursus dalam film eksil menjadi fenomena migrasi secara paksa yang mengakibatkan adanya pembatasan hak-hak kewarganegaraan dan pengalihan isu identitas. Identitas yang dimaksud menjadi sebuah hal yang harus diperjuangkan, khususnya para eksil yang tidak memiliki kewarganegaraan dengan dicabutnya paspor para eksil oleh kedutaan besar (Mudzakkir, 2015, p.173). Dalam pemikiran Žižek, beliau menekankan terkait dengan kondisi psikologis dan politik yang dirasakan oleh kelompok terasing atau dikecualikan dari norma sosial yang dominan.Žižek juga menggambarkan eksil sebagai aspek penting dari pengalaman manusia yang sering diabaikan oleh ideologi yang berkuasa. Bagi Žižek, diskursus adalah tempat di mana kekuasaan dan ideologi bertemu dan berinteraksi. 

Dalam kaitannya dengan eksil, Žižek menekankan bagaimana eksil dapat dipahami sebagai posisi subjek di luar atau terpinggirkan dari diskursus yang mendominasi. Hal ini eksil diinterpretasikan sebagai seseorang yang merasa terasingkan dan tidak terwakili dalam struktur sosial dan politik. Dengan menempatkan eksil sebagai posisi subjek diluar yang terpinggirkan berarti Žižek menyoroti terkait dengan ketidaksetaraan, ketidakadilan atau ketidakmerataan dalam struktur kekuasaan yang menyebabkan seseorang atau kelompok merasa terpinggirkan atau diabaikan. Jika dikaitkan dengan masa Orde Baru, terjadi sebuah penindasan terhadap segala bentuk oposisi politik dan kebebasan berpendapat. Sehingga dengan hal ini banyak sekali individu atau kelompok yang dikatakan sebagai 'eksil' dari diskursus dominan karena tidak sejalan dengan pemerintah. Mereka dianggap terpinggirkan dan seringkali mengalami pembatasan dalam hak-hak sosial dan politik serta terbatasnya ruang untuk berekspresi. Sedangkan pada era Pasca Orde Baru, menjadi periode yang ditandai dengan adanya proses demokratisasi dan liberalisasi. Namun pada periode ini masih terdapat kelompok atau individu yang terpinggirkan atau tidak terwakili dalam diskursus yang mendominasi. Pada konteks ini, eksil merujuk pada seorang individu yang merasa tidak memiliki akses yang sama dalam struktur kekuasaan politik dan sosial yang baru (Boyle, 2008).

Setelah terjadinya peristiwa yang sangat mencekam yakni Gerakan 30 September pada tahun 1965, masyarakat Indonesia yang mendiami suatu negara di luar negeri dianggap 2 dan dituduh sebagai antek dari PKI. Mereka tidak diizinkan untuk kembali ke tanah air selama tidak menandatangani surat pernyataan dan menjalani sejumlah interogasi. Surat tersebut memiliki dua hal yang harus disetujui oleh para eksil yakni mengutuk pembunuhan terhadap tujuh jendral dan mengutuk pemerintahan Soekarno (Ibrahim, 2023). Konsekuensi apabila peristiwa tidak dijalani oleh para eksil maka hak mereka sebagai warga negara dihapuskan sepenuhnya dan tidak diperbolehkan untuk pulang ke Indonesia. Penyiksaan yang dialami oleh para eksil akibat kejadian ini sangat traumatis dan dialami selama hidupnya. Dengan keadaan tanpa identitas kewarganegaraan tentu saja mereka juga akan kehilangan hak yang dimiliki oleh setiap individu yakni hak asasi manusia. (Mudzakkir, 2015, p.173). Selain itu pengalihan identitas eksil dalam teori diskursus difokuskan pada konteks politik dan sosial yang disebut denasionalisasi eksil. Denasionalisasi eksil menjadi sebuah situasi dan kondisi para eksil yang pada awalnya memiliki identitas warga negara lalu berubah menjadi identitas stateless (tanpa kewarganegaraan) (Nabilah, 2023, p.213). 


Konteks Marxisme dalam Eksil 1965 

Sekitar tahun 1965, terjadi sebuah peristiwa yang sangat cukup bersejarah yang dikenal sebagai Gerakan 30 September. Peristiwa 1965 ini dianggap sebagai upaya para pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi Komunis. Pembunuhan dan pembantaian yang dilakukan oleh petugas militer dalam aksi ini menyebabkan terbunuhnya enam jenderal dan seorang letnan tingkat menengah. Dengan adanya peristiwa G30S, Partai Komunis Indonesia dilarang dihubungkan dengan apapun yang berhubungan dengan komunisme atau pemikiran "kiri", terutama dalam penyebaran atau yang biasa disebut doktrin Marxisme-Leninisme. Dengan adanya penggantian ideologi yang dilakukan oleh PKI, orde baru menginginkan untuk menyamakan pemikiran Indonesia dengan satu ideologi berasas tunggal yakni pancasila (Nabilah, 2023, p.198-200). Soeharto pada saat itu mengeluarkan keputusan presiden tanggal 12 Maret 1966 No. 1/3/1966 terkait dengan pembubaran PKI beserta ormasnya. Melalui TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 semakin diperkuat terkait pembubaran PKI dan partai maupun ideologinya secara resmi dihapus. Hal itu dikarenakan ideologi Komunis-Marxis-Leninis tidak sesuai dengan bentuk republik Indonesia dan berusaha untuk menghancurkan. Dengan menerapkan taktik tersebut, Soeharto berharap agar PKI dengan pengikutnya tidak semakin menyebar walaupun pada saat pemilihan umum 1955, PKI menjadi salah satu partai yang memperoleh suara terbanyak keempat dalam perhitungannya dengan total 16,4% (Melvin, 2018, p.64). 

Setelah adanya penetapan kebijakan tersebut, para eksil merasa takut karena minimnya informasi dan terbilang cukup terbatas pada peristiwa 30 September. Lalu, pada 7 Mei 1966, Soeharto sebagai presiden orde baru membuat instruksi kepada mahasiswa Indonesia yang sedang berada di luar negeri untuk melakukan pemeriksaan terkait loyalitas di era pemerintahan orde baru. Bila mereka menolak hal ini, mereka hanya mendapatkan stempel ijin untuk pulang ke Indonesia sekali dan masa paspornya sudah habis sehingga eksil tidak akan dapat kembali ke Indonesia dan kehilangan status kewarganegaraannya (Hill, 2010, p.31-32). Selain itu, adanya penyaringan yang dilakukan bagi WNI di luar negeri dan apabila hasilnya terdapat yang berafiliasi dengan PKI akan dicabut paspornya dan sulit untuk kembali ke Indonesia. Banyaknya WNI yang terasingkan menandakan adanya konflik politik yang membuat mereka harus memilih antara mendukung terhadap rezim orde baru atau masih dengan keyakinan politik mereka dengan akibat fatal yaitu dihapuskannya kewarganegaraan Indonesia. (Mudzakkir, 2015, p.200). Melalui lensa Foucault (1971) untuk memahami lebih mendalam terkait dengan dinamika kekuasaan, kontrol dan resistensi. Pertama, teori biopower Foucault menjelaskan terkait dengan bagaimana kekuasaan negara mengatur dan mengendalikan tubuh individu serta populasi yang ada. Hal ini terlihat jelas ketika rezim orde baru dimulai di Indonesia pada tahun 1965 yang menggunakan kekuasaan biopolitik untuk mengendalikan individu yang dianggap musuh negara atau pemberontak. Dengan adanya penangkapan, penahanan tanpa pengadilan dan pengasingan terhadap individu yang dicurigai yang memiliki hubungan dengan PKI atau gerakan kiri lainnya menjadi suatu tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah. Kedua, terkait dengan pendekatan marxisme yang menyoroti konflik kelas dan eksploitasi sebagai faktor sentral dalam dinamika sosial. Para eksil 1965 merupakan seorang individu yang dipaksa untuk meninggalkan negaranya yang berasal dari kalangan pekerja, petani dan intelektual yang berjuang melawan kapitalisme, kolonialisme dan ketidaksetaraan sosial. Hal ini dapat dilihat bahwa eksil menjadi bagian dari konflik kelas yang lebih luas, yang mana kekuasaan politik dan ekonomi dipegang oleh elit membentuk dasar dari penindasan terhadap kelas pekerja dan rakyat kecil (Siregar, 2021).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun