Cabai merupakan salah satu komoditas pertanian yang menjadi kebutuhan pangan bagi masyarakat Indonesia. Menurut Piay dkk (2010), Cabai merah (Capsicum annuum L.) adalah tanaman pangan yang dimanfaatkan buahnya yang mengandung capsaicin sehingga memberikan rasa panas pada yang mengonsumsinya. Rasa panas ini sering kita sebut dengan rasa pedas. Cabai ini sering dimanfaatkan sebagai rasa pedas berbagai makanan Indonesia seperti bakso, nasi padang, mi ayam, ayam geprek, dan lain-lain. Sehingga cabai merupakan komoditas sayuran yang memiliki nilai ekonomi tinggi karena memiliki pasar yang besar di Indonesia.
Bukan berarti bertani cabai merupakan usaha yang mudah dan selalu untung. Kenyataannya harga cabai tidak stabil sehingga petani ragu untuk mempertahankan usahanya. Harga cabai sering kali jatuh bahkan sampai 500 rupiah per kilogram dan adakala harga cabai naik drastis yang membuat petani mendapat untung yang luar biasa. Harga yang tidak stabil membuat petani cabai tidak selamanya sejahtera bahkan ada yang rugi besar karenanya.
Harga cabai yang rendah disebabkan oleh tingginya penawaran dibandingkan dengan permintaannya. Dengan demikian ketika cabai jatuh banyak cabai yang beredar di pasaran melebihi kebutuhan konsumennya. Maka ketika harga jatuh bukan hanya rugi karena harga cabai tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan tetapi juga sulitnya masuknya cabai karena adanya persaingan kualitas cabai. Tetapi petani tidak punya pilihan lain, mau tidak mau cabai harus tetap terjual karena cabai memiliki umur simpan yang singkat sehingga daripada busuk tanpa mendapat hasil sama sekali.
Dengan teknologi pangan yang maju, dapat meningkatkan umur simpan pangan dan hasil pertanian lebih panjang. Pembusukan pada cabai disebabkan adanya respirasi dan metabolisme yang terus-menerus sehingga cabai menuju pembusukan. Selain itu, adanya faktor eksternal sepeti bakteri dan jamur yang mengurai cabai sehingga mempercepat pembusukan. Pada umumnya pembusukan tersebut dapat diperlambat dengan teknologi pendinginan sehingga memperlambat metabolisme serta aktivitas jamur dan bakteri. Selain itu dapat juga dengan teknologi pengolahan pangan untuk mempertahankan umur simpan. Salah satunya adalah bubuk cabai.
Menurut Arkhima (2022), bubuk cabai adalah salah satu metode pengolahan cabai dengan melalui proses berupa pencucian, pemblansiran, penirisan, pengeringan, penggilingan, dan pengayakan. Dari proses tersebut yang paling utama dalam menentukan kualitas cabai adalah pengeringan. Hal ini disebabkan kadar air yang rendah memperlambat metabolisme serta aktivitas bakteri dan jamur. Pengeringan ini sangat dipengaruhi suhu, kelembaban, dan waktu pengeringan.Â
Bubuk cabai memiliki manfaat berupa meningkatkan nilai tambah ekonomi sehingga membantu petani untuk meningkatkan penghasilan. Selain itu bubuk cabai memiliki daya simpan lebih lama yaitu 3 sampai 4 tahun, sedangkan cabai yang tidak diolah 2 sampai 3 bulan lamanya.
Sumber :
Piay, S.S., A. Tyasdjaja., Y. Ermawati., F.R.P. Hantoro. 2010. Budidaya dan Pascapanen Cabai Merah (Capsicum annuum L ). BPTP Jawa Tengah
Arkhima, S.B., Haslina., dan D. Larasati. 2022. Pengaruh Lama Pengeringan Terhadap Bubuk Cabai Katokkon (Capsicum Chinense Jacq) Asal Tana Toraja. Jurnal Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian. 15(1) 1-7
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H