Mohon tunggu...
Gandhi Kuntoyudho Danova
Gandhi Kuntoyudho Danova Mohon Tunggu... Lainnya - Berbahagialah!

Halo!

Selanjutnya

Tutup

Bola

Pengurus PSSI Yang Tak Kunjung Mengerti Tentang Sepak Bola

18 Januari 2022   18:36 Diperbarui: 18 Januari 2022   20:51 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buntut dari kegagalan timnas Indonesia dalam gelaran Piala AFF kemarin, salah satu anggota Komite Ekskutif (exco) PSSI Haruna Soemitro mengatakan "Kalau prestasinya hanya runner-up ya apa bedanya dengan yang kemarin. Indonesia itu sudah lima kali jadi runner-up". Lebih lanjut lagi dia mengkritik pelatih timnas dengan "Loh memang bukan soal proses. Sepak bola itu tentang hasil. Tanpa hasil semua itu nothing". Secara garis besar pernyataan Haruna menggambarkan pengurus PSSI yang tidak peduli proses, akan melihat pada satu hasil, kalo tidak juara ya berarti anda (si pelatih) gagal.

Satu kata yang tepat mendefiniskan pernyataan Haruna di atas, yakni: Bodoh. Hal demikian menggambarkan karakter berpikir pengurus PSSI. Mereka, para elit PSSI diisi oleh orang-orang yang tidak kompeten dalam dunia sepak bola dan tentunya tidak punya kecintaan pada olahraga sebelas lawan sebelas ini. Jika hal dasar itu saja tidak mereka miliki, mustahil kita mengharap integritas dan konsistensi mereka. Sepak bola meskipun sudah mengarah pada bisnis praktis tidak pernah lepas dari kontribusi mereka yang benar-benar mencintai olahraga tersebut.

Saya tidak membayangkan jika pengurus PSSI mengurus federasi sepak bola Belgia. Mungkin Roberto Martinez sudah didepak dari kursi ke pelatihan karena tidak mampu membawa negara pemilik ranking  1 FIFA itu menjadi juara eropa maupun dunia. Belgia menjelma jadi salah satu kekuatan yang diperhitungkan Eropa saat ini diawali dengan gagasan besar Michael Sablon. Sablon mereformasi sepak bola Belgia pasca kegagalan mereka ketika menjadi tuan rumah Euro 2000. Bersama para pelatih lokal lainnya, Pria yang pernah menjadi staf pelatih timnas Belgia pada Piala Dunia 1986-1994 dan ditunjuk sebagai Direktur Teknik Federasi Sepak Bola Belgia (KBVB) pada 2001 itu merumuskan cetak biru.

Belgia memiliki kurikulum sepak bola yang jelas dan keseriusan mereka tidak berhenti disitu. Mereka mendirikan pusat pelatihan nasional seperti halnya Clairefontaine di prancis. Dalam mengeksekusi gagasan besarnya Sablon menggandeng pemerintah, mengajak klub-klub lokal menjalin kerjasama dengan sekolah sepak bola setempat dan bekerjasama dengan instansi akademik dalam mempelajari aspek manajemen dan teknisnya. Yang mendasari kemajuan sepak bola Belgia bukan semata-mata uang melainkan adanya keseriusan dan dukungan dari mereka yang benar-benar mencintai sepak bola seperti Michael Sablon. Sampai saat ini Belgia memang belum memperoleh gelar juara bergengsi apapun.

Namun Hasil dari keseriusan dan kesabaran itu berbuah tatkala nama-nama besar semacam Eden Hazard, Romelu Lukaku dan Kevin De Bruyne menghiasi jagat liga top eropa beberapa tahun terakhir. Belgia sukses mengirim pemuda berbakat mereka untuk bersaing dengan pemuda lain yang memilki kultur sepak bola kuat semacam Jerman, Brazil dan Italia. Tak sedikit yang mengatakan ini adalah generasi emas sepak bola Belgia. Apa yang dilakukan Belgia mungkin lebih mudah dibandingkan dengan apa yang dilakukan Jepang.

Sampai 1988, Jepang hanyalah anak bawang di dunia sepak bola. Jangankan lolos Piala Dunia, masuk putaran Piala Asia saja mereka belum pernah merasakan. Hulu permasalahan yang harus diselesaikan Jepang berbeda dari Belgia. Mereka harus lebih dulu membangun ketertarikan masyarakat pada sepak bola dengan membuat anime atau manga bertema sepak bola: 'Captain Tsubasa'. Jepang punya 'Rencana 100 Tahun' untuk berniat menjadi negara sepak bola terhebat di dunia. Keberanian mereka bermimpi, percaya pada proses dan peka terhadap detail kini mulai terbukti dengan munculnya pemain-pemain jepang yang berlaga di liga top eropa. Jepang juga merupakan negara pemilik gelar Piala Asia terbanyak  dan selalu lolos ke putaran final Piala Dunia sejak 1998.

Segalanya memang tidak ada yang instan. Kisah Belgia dan Jepang merupakan cerita tentang kecintaan pada sepak bola dengan berani untuk bermimpi dan mau untuk berproses. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Sepak bola hanya dinilai dari juara atau tidaknya suatu tim tanpa melihat aspek lain. Lebih memprihatinkan lagi bahwa kisah kepengurusan sepak bola kita ialah kisah segelintir elit politik yang cari makan dan beberapa pengusaha menggali cuan. Entah sengaja atau kebetulan, untung jersey tim sepak bola kita menggunakan lambang garuda yang merupakan lambang negara. Mungkin terlalu menjijikan andai kita membayangkan lambang federasi sepak bola kita yang amburadul itu yang melekat didada sebelah kiri. Ya, sangat menjijikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun