Mohon tunggu...
Gandhi Kuntoyudho Danova
Gandhi Kuntoyudho Danova Mohon Tunggu... Lainnya - Berbahagialah!

Halo!

Selanjutnya

Tutup

Politik

G-30-S atau Kemanusiaan?

8 Oktober 2021   01:13 Diperbarui: 8 Oktober 2021   01:22 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Diakhir September, tepatnya tanggal 30 kita warga Indonesia akan menjumpai lagi isu komunis dan hantu-hantu yang selalu bertebaran atau mungkin sengaja ditebarkan. Menonton film G30S/PKI atau sering disebut pengkhianatan PKI seperti agenda rutin yang selalu diadakan. Bahkan sekolah pun ikut menyelenggarakan. Efek menonton film garapan Arifin C. Noer Dkk ialah kesedihan serta empati pada para korban yang menyulut teriakan "Komunis pengkhianat!!" atau yang lebih mengerikan: "PKI wajib mati!!". Suara itu meraung-raung ke seantero negara ini. Lantang, membuat kuping pengang, dan terdengar sumbang. Mengapa?

Realitas sejarah memang tidak bisa terbantahkan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) telah melakukan pemberontakan tiga kali yakni pada tahun 1926, 1948 dan 1965. Cara radikal mereka pada tahun-tahun itu mendidih-kan suhu politik nasional. Lewat sayap organisasi dibawahnya mereka blusukan dari kota ke desa, dari lapangan terbuka sampai ke rumah-rumah, dari kelompok buruh hingga seni mereka rangkul untuk membesarkan partai tersebut. 

Melalui pementasan ketoprak, ludruk dan seni lainnya PKI sukses melakukan agitasi kepada masyarakat lapisan bawah. PKI, dengan surat kabar yang mereka miliki, tidak segan-segan melancarkan kritik pedas  atau melakukan provokasi pada lawan-lawan politiknya. Cara militan, terstruktur dan masif itu dibuktikan oleh data yang diperoleh dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nasional. PKI berada di urutan keempat untuk partai pemenang pemilu dengan total mencapai 6 juta suara atau 16 persen dari total kursi DPR.

Kisah kebesaran PKI itu menemui ajalnya setelah PKI dianggap terlibat huru-hara Gerakan 30 September 1965. Kematian para perwira angkatan darat sontak mengagetkan dan saat itu pula PKI menjadi organisai yang paling dibenci tidak hanya oleh lawan politiknya namun seluruh rakyat negeri ini.  

Setahun kemudian TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 muncul dan PKI pun dilarang. Pelarangan itu tidak hanya berlaku terhadap PKI sebagai organ politik namun ideologi selaku nyawa PKI itu pun diberantas. Mereka semua yang terlibat dari kepala sampai ujung kaki di partai berlambang palu-arit itu diburu, dibunuh atau bahkan dilenyapkan.

Dari sejarah hidup dan mati PKI itu sendiri, saya pribadi tidak pernah setuju dengan semboyan komunis yang selalu ingin menjadikan anarkisme sebagai bidan dari revolusi seperti apa yang dikatan Karl Marx. Terbukti setiap gerakan politiknya akan selalu memakan korban. Pembunuhan seperti hal yang sangat ringan bagi mereka yang dianggap tak sejalan dan dicap anti revolusioner. Tetapi saya pun tidak pernah setuju siasat menyingkirkan komunis dengan cara yang bengis tanpa mekanisme hukum dan menginjak-injak Hak Asasi Manusia (HAM).

Problem kemanusian yang menjadi ekses dari pada tragedi yang melibatkan Partai Komunis Indonesia seharusnya bisa dijadikan pisau bedah untuk membelah kerumitan sejarah yang menumpuki peristiwa itu sehingga bisa menjelaskan harus kemana bangsa ini bersikap. Dengan hanya berfokus pada kasus HAM yang terjadi dari kejahatan kemanusian 1965  dan genosida setelahnya kita dapat melihat polemik tersebut dengan jernih. 

Jika anda membayangkan para santri dan ulama yang terbunuh pada peristiwa tahun 1948, atau sedang mengingat bagaimana para pahlawan revolusi dimasukan ke lubang buaya, dan mungkin terekam bagaimana PKI dihabisi beserta keturunannya, lihatlah pada substansi utama bahwa itu semua telah merenggut kemanusiaan dari ibu Pertiwi.

Sejarah yang sudah terlalu lama terkubur itu jika diumbar-umbar untuk kepentingan segelintir orang pencari elektoral hanya akan menyayat kembali luka lama. Siapa menyalahkan siapa menuduh tanpa bukti mencaci tanpa henti harus berhenti. Kita akui, bahwa negara punya kesalahan dimasa. Kita tegaskan juga, bahwa siapapun yang terlibat dalam tragedi kemanusiaan tersebut jika terbukti harus dihukum. Sengketa politik masa lalu  memang tak bisa dilupakan. Tapi masa depan kita harus sepakat pada kemanusiaan. Sekian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun