Mengantuk!
Adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan saya saat membuka pintu kamar. Betapa tidak selain menjelma jadi kelelawar setiap malamnya. Jam 4 pagi adalah saat saya masih mencoba merangkai mimpi.
Tapi rasa kantuk itu mendadak hilang saat saya melihat owner dan beberapa petinggi perusahaan telah berdiri di depan pintu kamar dan mengajak ikut serta blusukan ke mess karyawan.
Agenda tetapnya setiap kamis pagi dan kejutannya adalah, semua karyawan tidak diberi tahu kemana akan dibawa pergi. Jadi bisa dibayangkan, selain nggak ada yang pada mandi. Aroma di dalam mobil pun sudah semerbak dengan aroma theraphy.
Kamis minggu pertama bulan November, semua karyawan diajak ke objek wisata air terjun yang lebih dikenal dengan sebutan Waterfall Tukad Cepung, yang berada di Kabupaten Bangli, Bali. Sebuah kawasan wisata yang masih jarang di kunjungi orang. Jalan menuju ke air terjun pun sangat sulit dan masih sangat alami.
Kita seperti berada diajak masuk ke dalam perut bumi. Melewati celah-celah dinding batu yang menjulang tinggi dan sempit. Selain dindingnya yang berlumut, semak dan pepohonan yang tumbuh di areal tersebut menambah asri objek wisata air terjun ini.
Terus terang, saat melihat letak air terjun yang tersembunyi di antara celah dinding batu yang menjulang. Saya langsung teringat cerita Jaka Tarub.
"Jangan-jangan ini adalah tempat para Bidadari mandi" Batin saya.
Kesan pertama saat memasuki Desa Adat Penglipuran ini adalah suasana yang sangat asri, sejuk dan bersih. Selain rumahnya tertata rapi dan saling berhadapan, jalan di tengah pemukiman ini menjadi pembatas dan menuju ke puncak tertinggi yang ada di Desa Adat Penglipuran.
Uniknya, di rumah-rumah ini banyak para pelajar dari beberapa negara (istilah saya) ngekost, dan menjadi bagian dari keharmonisan dan kebersamaan penduduk asli di Desa Adat Penglipuran.