Mohon tunggu...
Ganar Firmannanda
Ganar Firmannanda Mohon Tunggu... -

mahasiswa biasa salah satu universitas di bandung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kampung Festival Tamansari: Event Kreatif di dalam Kampung Perkotaan

26 September 2012   00:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:41 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sabtu, 22 September 2012

Jika disebut taman hewan, salah satu daerah di tamansari, di pikiran awamku adalah menelusuri jalan sempit sebuah bentuk 'kampung kota' di Bandung, pemukiman padat di bantaran sungai cikapundung, dengan penduduk yang telah berpuluh tahun tinggal disana, dan sekarang dipersempit dengan menjamurnya kost mahasiswa beberapa universitas di sekitarnya.

Satu kata, Kumuh. Yah, memang seperti itu adanya, pemikiran tak acuh seorang manusia ini, apalagi buat seorang yang tak tinggal disitu, yang hanya melihat dari luar. Namun, beberapa komunitas berpikir lain, untuk menyembuhkan kota Bandung harus dimulai dari langkah-langkah kecil. Komunitas BCCF (Bandung Creatif City Forum), melakukannya dengan menstimulus beberapa titik-titik di kota Bandung ini, seperti akupuntur, beberapa titik di tusuk, maka si tubuh akan sembuh sendiri. Seperti itu analogi yang mereka kembangkan untuk merubah wajah kota ini, melalui rangkaian acara yang mereka namakan HELARFEST.

Helarfest 2012 kali ini hinggap di daerah RW 08 tamansari ini dengan judul "Kampung Festival Tamansari", setelah beberapa waktu lalu mengadakan "lighchestra" di hutan kota babakan siliwangi. Sesuai nama komunitasnya, event yang digelar melakukan pendekatan utama dari sisi seni. Yah, untuk orang yang ga tau apa-apa tentang proses acara ini seperti saya, cukup terkejut juga dengan acara yang cukup wah, ditengah lapangan RW setelah menelusuri gang-gang sempit untuk mencapainya. Bayangkan panggung, sound system, dan lighting ala acara-acara besar yang sering digelar di dalam kampus. Berkolaborasi juga dengan mahasiswa seni rupa dan arsitektur ITB. Acaranya sendiri digelar dari kamis (20 September), dan acara puncak seremony-nya digelar hari sabtu. Bintang tamunya lumayan, musisi sekelas Nada Fiksi, Teman Sebangku, Sound of Hanamangke, dan beberapa grup musik kontemporer lainnya. Dan untuk penutup ada sebuah Video Mapping dari INTERAKTA Intermedia FSRD ITB. Produk lain yang dapat di lihat dari rangkaian acara pada hari sabtu itu adalah layang-layang hasil karya anak-anak kebon kembang ,taman hewan dan mural lapangan, dan direncanakan 200 atap rumah warga akan di mural juga. Yang membuat heran lagi, hanya ada beberapa sponsor yang mendukung acara ini, bahkan yang tercantum di poster cuma satu, hebat hebat, hehe.

Lalu, apakah sudah itu saja? tentu saya tertarik dengan isu sebenarnya yang dibawa dari acara ini. Kenapa BCCF memilih tempat ini sebagai salah satu titik akupunturnya? hasil googling-pun membawa hasil nihil akan pencarian isu ini, sang mesin pencari hanya menampilkan iklan acara ini, tanpa menemukan ada detail lengkap latar belakangnya. Namun dari beberapa sambutan yang dilontarkan memang dari analogi akupuntur itu, melalui kreatifitas dan seni untuk memajukan kampung tersebut secara mandiri. Seperti ciri kota dan masyarakat Bandung, kreatif!

Lama sebelumnya, himpunan mahasiswa arsitektur ITB membuat beberapa instalasi wahana permainan anak-anak, tujuannya menurut penuturan teman mahasiswa arsitek adalah membuka ruang aktivitas warga, sebagai pemicu aktivitas warga tentunya. Seperti yang mereka lakukan juga di RW 04, merestorasi lapangan milik RW, dan hasilnya saya rasakan sendiri karena sering berkunjung kesana, warga menjadi aktif mengadakan kegiatan di tempat tersebut, setidaknya setiap sore dipakai anak-anak bermain sepakbola.

Sepertinya tak hanya itu, saat pertama kali datang ke tempat itu, terlihat beberapa bangunan tinggi di sebelah barat lapangan, di balik sungai cikapundung ada bangunan tinggi Ciwalk yang gagah, tak mau kalah, di sampingnya ada dua calon gedung yang lebih tinggi lagi, yang pak gubernur bilang akan dipergunakan sebagai rumah susun. Sedikit terjawab juga dengan isi video mapping yang ditampilkan, seperti menyinggung pemukiman versus bangunan-bangunan tinggi itu.

Seorang teman bercerita tentang adanya gedung tinggi itu, dan dampaknya pada pemukiman. Secara teknis, gedung tinggi itu menghambat angin dan menyebabkan turbulensi. Pernah ada kejadian dimana atap rumah-rumah warga rusak saat musim angin. Yah mungkin ini menjadi isu utamanya, dengan dimuralnya atap ingin menunjukkan ke langit, "heyy, disni ada pemukiman loh", atau mungkin membawa orang luar, bahkan sekelas bapak walikota, ataupun penduduk sekitar yang tak sadar dengan keadaan itu, untuk melihat langit dan mencium udara yang setiap hari dirasakan warga kampung tersebut, yang juga merupakan bagian dari penduduk kota dan objek pembangunan yang tak boleh dilupakan. Ah tapi tanpa menyinggung pihak manapun, soal isu gedung ini hanya opini probadi, hehe.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun