Syaikh Subaity –hafizhahullah- mengakhiri doa sekaligus khutbahnya. Beberapa orang masih terdengar sesenggukan di kanan kiri. Allah Ya Kariem kudapati dua anak kecil satu shof di depanku tampak menundukkan kepala. Yang sebelah kiri menoleh kepada saudaranya di sebelah kanan sambil mengusap pipinya. Terlihat bekas air mata dari dua bocah cilik ini. Seumuran anak lima SD kira-kira. Keduanya saling menatap dan senyum kemudian menunduk lagi. MaaSyaaAllah Tabaarokallaah sebuah pemandangan yang sangat indah.
***
Memang mereka hanya bocah cilik. Hanya? Iya. Hai bocah, walaupun ‘hanya’ kataku tapi sedikitpun aku tak bermaksud merendahkanmu. Justru berkat dirimu lah aku mengucap syukur pada Rabbku atas tanda-tanda kebesaranNya yang ada pada tetesan air matamu itu.
Lagi-lagi ‘hanya’. Hanya gara-gara khutbah jum’at anak seumuran mereka sudah bisa meneteskan air mata bagiku itu sangat luar biasa. Sayang, masa kecilku tak sehebat dirimu.
Entah apa gerangan yang membuat matamu berlinang tangis tadi siang. Karena masjid yang penuh sesakkah? Kurasa bukan bahkan masjid nabawy siang ini terasa sejuk. Atau mungkin karena lelah menanti selesai khutbah? Kurasa juga bukan bahkan bisa dibilang kali ini khutbah tak terlalu panjang. Lalu apa gerangan? Ataukah perasaan kita sama? Mungkin iya, dan aku lebih mengira bahwa hatimu benar-benar ‘terhipnotis’ oleh untaian nasehat Syaikh Subaity tentang ukhuwah dan persaudaraan. Tentang kerukunan dan kesatuan. Tentang kisah derita saudara-saudara kita di negeri syam.
Kalau menangis itu lantaran hatimu tersentuh dengan materi khutbah itu berarti pesan dan petuah beliau tersampaikan. Itu tandanya kau paham apa yang khotib sampaikan. Kalau kau yang masih belia saja sangat tersentuh kenapa orang-orang yang lebih tua darimu hanya terdiam?
Kukira tebakanku tepat. Ternyata tolok ukurnya bukan masalah usia. Bukan pula karena banyak ilmunya. Kalaulah karena usia berapa banyak bapak-bapak, kakek-kakek di sekelilingmu masih terlelap dalam tidurnya. Kalaulah karena banyak ilmunya berapa banyak penuntut ilmu di sekitarmu yang masih tertipu dalam lamunannya. Sungguh tangisanmu itu karunia dan rahmat dari Allah. Allah telah luluhkan hatimu wahai anak muda. Tentu kau sangat bahagia memiliki hati yang masih terjaga.
Benarlah pangkal kebahagiaan berada di hati. Semakin bersih hatinya semakin ia terikat dengan RabbNya. Tanda-tandanya pun tak sukar dikenali. Siapapun akan mampu menilai hatinya masing-masing manakala disebutkan ayat-ayatNya bergetarlah hatinya. Barangkali masih terlalu luas untuk dicerna. Bagaimana aktualisasinya? Dahulu salafuna sholih tatkala di katakan kepadanya, “Ittaqillaah (takutlah Allah wahai saudaraku!) lantas seketika itu juga iya menangis, ia benar-benar takut atas peringatan dari saudaranya ini. Sebuah tamparan luar biasa ketika saudaranya sampai mengatakan hal itu. Dia menyadari betapa saat itu saudaranya melihat ia sedang lengah, lupa mengingat Allah, lupa ancaman Allah, lupa akan siksaNya, lupa akan janjiNya kepada orang-orang yang berpaling dari mengingatNya.
Wahai yang 'masih' dikarunia hati, seberapa tergerakkah engkau tatkala mendengar pesan ini, “ Dua mata yang tak akan tersentuh api neraka, yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang berjaga di jalan Allah.” (HR. Turmudzi).
Kenapa mesti menangis?
Karena menangis yang seperti ini menghalangimu dari siksaNya.
Kapan terakhir saya menangis?:'(
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H