Mohon tunggu...
Erick Trenggana Jati
Erick Trenggana Jati Mohon Tunggu... karyawan swasta -

perindu rembulan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Yang Merangkak ke Surga...

7 Oktober 2011   17:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:13 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

" Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya, sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah orang yang Kami janjikan kepadanya suatu janji yang baik (surga) lalu ia memperolehnya, sama dengan orang yang Kami berikan kepadanya kenikmatan hidup duniawi, kemudian dia pada hari Kiamat termasuk orang-orang yang diseret (ke dalam neraka) ?" (QS. Al-Qashash:60-61)

Adalah firman Allah Ta'ala yang selalu diingat-ingat dalam benak pikirannya, seorang tokoh besar sahabat Rasulullah SAW, yang sepanjang perjalanan sejarah ia dikenal sebagai tokoh yang sangat dermawan, beliau adalah Abdurrahman bin Auf  ra. Keberhasilannya di bidang bisnis perdagangan telah mengantarkan dirinya sebagai businessman yang sukses dan konglomerat muslim terkaya pada zamannya. Beliau selalu berpijak di atas jalan yang lurus, yakni bimbingan Allah dan Rasul-Nya selalu menaungi sepanjang jalan hidupnya.

Sejak hijrah dengan Rasulullah SAW bersama kaum Muhajirin lainnya ke kota Madinah, Abdurrahman bin Auf tinggal menempati rumah salah seorang sahabat dari kaum Anshar yang sudi menerima dan membantunya, Saad bin Rabi'. Pada suatu kesempatan ia berbincang-bincang dengan sahabat barunya, Saad bin Rabi' berkata, " Saudaraku Abdurrahman, rumah saya ini adalah juga rumah Anda. Saya kira Anda tidak perlu merasa sungkan ataupun merasa malu, pilihlah kamar mana saja yang Anda suka. Dan saya mempunyai cukup banyak harta. Kalaulah Anda tidak merasa keberatan, Anda boleh mengambil sebagian dari harta saya". Sungguh betapa arif dan bijaksananya kaum Anshar ini, dengan ketulusan hati, mereka mau berkorban demi kepentingan saudara-saudara mereka yang sama-sama satu agama.

" Saudaraku Saad, saya sangat merasa berterima kasih sekali atas segala kebaikan anda yang tak mungkin saya balas. Dengan susah payah anda telah banyak menolong diri saya. Sebagai seorang tamu dan sahabat saya merasa benar-benar telah merepotkan anda. Anda begitu baik sekali, akan tetapi sayang sekali, Anda sebagai tuan rumah belum menyempurnakan semua kebaikan anda itu pada saya."

Sambil mengernyitkan kedua alis dan dahinya Saad berkata, " Sobat, apakah segala kebaikan yang selama ini telah saya berikan kepada Anda belum cukup?", sambil tersenyum, dengan nada bercanda Abdurrahman menjawab dengan tenang, " Tentu saja sobat, kalau memang anda telah benar-benar menyempurnakan kebaikan anda pada saya, maka tentunya pada saat sekarang ini anda sudah membawa saya ke pasar, maksud saya anda telah membawa saya untuk jalan-jalan ke pasar ". Mendengar demikian Saad hanya tertawa karena ternyata Abdurrahman bin Auf tidak begitu serius dengan kata-katanya. Ternyata ia hanya bercanda, akhirnya sepanjang hari mereka berdua saling berbicara dan bercerita, saling bertukar pikiran dan pengalaman, diiringi bercanda dan bersenda gurau, bagaikan dua orang saudara kandung yang baru saja dipertemukan setelah sekian lamanya dipisahkan.

Pada keesokan harinya merekapun pergi ke pasar, disinilah  kepiawaian Abdurrahman bin Auf sebagai businessman ulung teruji, seorang eks pedagang besar yang sangat terkenal di kota Makkah hingga ke negeri Irak dan Syam sebelum di embargo oleh bangsa Arab Quraisy sejak Beliau menyatakan keislamannya, sebab dalam pandangannya kebahagiaan dunia itu sifatnya semu dan tak mungkin kekal untuk selamanya, seorang yang berpengaruh besar dalam mengembangkan perekonomian Islam di Kota Madinah.

Beliau berkeliling melihat keadaan pasar, berniaga dan menjual sepanjang hari. Hingga akhirnya mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Sampai-sampai Saad bin Rabi' pun merasa sangat begitu terharu sekali dan sedikit iri dengan keberhasilannya. Betapa tidak! Dalam jangka waktu yang begitu singkatnya, ia telah berhasil mengumpulkan uang dan harta sekian banyaknya. Hingga Saad pun bertanya pada Abdurrahman mengenai kunci keberhasilannya,

"Begini Saad, sebenarnya keberhasilan dan kesuksesan saya dalam bisnis perdagangan ini pada dasarnya tidaklah terlepas dari dua kunci utama yang selalu saya pegang teguh, kunci pertama adalah saya selalu berlaku jujur dan tidak pernah menipu seorangpun dari para pembeli barang-barang saya. Dan kunci kedua adalah Dia Tuhan Yang Maha Pengasih rupanya telah menjadikan jual beli ini sebagai bagian dari kehidupan dunia saya. Mungkin saja saya telah dilahirkan di dunia ini dengan karunia fitrah sebagai seorang pedagang. Saya bersyukur kepada-Nya karena Dia telah menunjukkan jalan yang lurus sepanjang perjalanan usaha saya ini sehingga sedikitpun diri saya tak pernah menyimpang dari jalan petunjuknya yang lurus. Hingga kini saya masih ingat ketika itu para pembeli datang berbondong-bondong mengunjungi dan mengerumuni kios perdagangan saya. Kata mereka, mereka merasa puas dengan kejujuran dan keadilan saya, karena saya tidak pernah mengurangi meteran, timbangan maupun takaran, lebih dari itu saya juga tidak pernah menjual barang-barang dengan harga yang sangat tinggi diluar jangkauan para pembeli. Bagi saya cukuplah mendapatkan keuntungan yang sedikit di bawah dari keuntungan yang berlaku di pasaran dan yang terpenting dari semua itu adalah bahwa segala apa yang selalu saya usahakan ini adalah halal dan selalu di ridhai oleh Allah dan Rasul-Nya..."

Beliau pun mulai menguasai dan mendominasi pangsa pasar yang sebelumnya telah dikuasai oleh para pedagang Yahudi. Untuk mencukupi kebutuhan pasar, sengaja mengimpor berbagai macam jenis barang-barang dagangan yang berasal dari negeri Yaman dan Syam untuk kebutuhan para penduduk kota Madinah dengan standar harga yang relatif murah dan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat kota Madinah. Disamping itu pula, Beliau pun selalu membantu orang-orang fakir miskin dan melindungi orang-orang Islam yang lemah. Dalam jangka waktu yang teramat singkat, akhirnya Beliau telah dapat mengumpulkan harta kekayaannya yang berlimpah ruah, dan dengan hartanya Beliau turut serta dalam membantu syiar dakwah Islam. Oleh karena itu, Beliau minta izin kepada Rasulullah SAW, agar diperkenankan membantu para tentara dan pejuang-pejuang Islam dengan harta, jiwa, dan raganya.

Berkat kerja keras dan keuletannya dalam mengelola bisnis perdagangan, Beliau berubah menjadi seorang saudagar yang paling kaya raya di kota Madinah dan memiliki harta kekayaan yang tak terhitung jumlahnya. Hingga orang-orangpun bercerita bahwa Abdurrahman bin Auf jika sedang memegang batu maka akan segera berubah menjadi segenggam emas, bahkan apabila Beliau melemparkan satu buah benih, maka benih itu akan segara di tuai dan dipetik hasilnya. Mendapat pujian sedemikian tingginya, Beliau tidak bersikap arogan dengan membusungkan dadanya, walaupun kaya tidak pernah melupakan sesamanya. Rasa kepedulian sosialnya amatlah tinggi dan sangat patut dipuji. Demi kepentingan negara dan masyarakat Islam, Beliau rela menghibahkan sebagian besar dari harta kekayaannya sehingga pernah pula dikatakan bahwa sepertiga dari harta kekayaannya sengaja diperuntukkan orang-orang fakir, sepertiganya khusus buaat orang-orang miskin, dan sepertiganya lagi untuk menutupi kebutuhan orang-orang Islam yang berpiutang.

Namun dengan melimpahnya harta tersebut Abdurrahman bin Auf semakin menjadi banyak berpikir dan dalam kesehariannya tampak selalu murung, rupanya seluruh harta kekayaannya tidaklah menjadikan dirinya merasa gembira dan bahagia, malah sebaliknya, setiap saat Beliau selalu merasa ketakutan dan setiap waktu selalu merasa terbelenggu dengan harta kekayaannya, anehnya, setiap kali Beliau mencoba untuk menjauhi harta, maka setiap kali harta itu selalu mengejar-ngejar dirinya. Ditengah-tengah sendu dan rintihan isak tangisnya Beliau berkata, " Sesungguhnya Allah dengan harta ini tengah mengujiku dan sesungguhnya beban berat ini sedang menimpa kepala dan menghimpit dadaku". Semakin lama rasa takutnya terhadap harta semakin menjadi apalagi Beliau selalu terngiang-ngiang sebuah sabda Rasulullah SAW, yang dahulu pernah didengarnya,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun