Mohon tunggu...
Abdul Rahman Sutara
Abdul Rahman Sutara Mohon Tunggu... profesional -

suka membaca, terus suka lupa deh..;))

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jika Saja Makan Siang di Warteg Itu Bersama Presiden

26 Juni 2011   16:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:09 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_117539" align="aligncenter" width="176" caption="Foto koleksi PB PMII"][/caption] Hidup dan tinggal disebuah Negara yang besar dan kaya, berada dalam komunitas yang pantas dianggap mapan, karena usianya yang sudah puluhan tahun, ternyata belum mampu mejamin individu- individu yang berada didalamnya stabil. Dalam hal ini, tolak ukur sederhana stabilitas individu adalah kesejahteraan mikro; terpenuhi kebutuhan sandang, pangan dan memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Sudahkah negara ini, bersama elemen- elemen komunitas sosial yang ada didalamnya menjamin stabilitas setiap individu ? Apakah bentuk- bentuk pembangunan dinegara ini, telah memberikan jaminan dan harapan hidup (Life expectacy) kepada rakyatnya?. Bagaimana dengan elemen kelompok sosial yang berada didalamnya, yang senantiasa memberikan kontribusi berupa gagasan dalam sudut pandang Makro untuk negaranya, namun secara tidak sadar membiarkan individu- individu “kecil” (kadernya) hidup menggelandang, bahkan tak jarang “melacur” kapada kepentingan kelompok elit politik apapun, asalkan bisa memberikan jaminan social kepada mereka. Jika sudah begini, kemanalagi ibu pertiwi harus mencari pendekar- pendekar social disaat para “politisi pembangunan” sudah tak layak lagi menjadi pendekar dalam membangun bangsa ini. Masihkah bisa kita berharap pada para aktivis, karena sepertinya, merekapun sulit sulit meraih harapanya sendiri.. Inilah potret kaum bangsa yang kita cintai, ternyata harus jujur diakui; Kita belum mampu meraih kemerdekaan 100%, seperti yang dicita- citakan deklarator Indonesia untuk dunia; Tan Malaka. Saat siang hari, sebelum pulang seperti biasa ”Dia” sempatkan diri untuk makan siang di warteg yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Dahsyat betul suasana makan hari itu, “Dia” di temani oleh empat orang bapak- bapak yang kebetulan sudah lebih dulu berada disitu.., sambil makan siang kami menyaksikan sebuah berita politik tentang profile beberapa calon presiden dari salah satu stasiun TV swasta. Heum… santap siang sambil menyimak berita politikpun terasa semakin hangat, saat bapak- bapak yang berada disitu menyimak dan mengomentari berita- berita politik yang muncul. Salah satu diantara mereka berujar; “aalah.., mau siapa aja yang jadi presiden, sama aja ko..,”, sementara yang lain menanggapi..”iya.., gak kayak presiden- presiden yang dulu, apalagi waktu zaman Gusdur, masih mending harga- harga gak terlalu mahal… sampe- sampe saya bisa beli TV”.., yang lain juga tak mau ketinggalan komentar…”Iya..ya.. zaman Megawati ko’ kayaknya masih banyak yang murah.., Eeeh.. pas zaman Bambang Yudhoyono malah musibah yang banyak….” Bapak- bapak yang lain, menanggapinya dengan sinis..”Lha.., kalo’ musibah sih itu urusan Tuhan… bukan manusia” sepertinya bapak- bapak yang satu ini Fansnya SBY… ujar dia dalam hati. Sambil menikmati menu balado tongkol, mau- tak mau “Dia” nikmati pula pembicaraan bapak-bapak tersebut sambil sesekali tersenyum dan berfikir “Oouh.. ternyata, kesejahteraan hidup serta kesanggupan mereka dalam membeli beberapa kebetuhan hidup merupakan jaminan yang selalu ingin mereka dapatkan dan rasakan dari para pemimpin mereka...” Sebentar dulu, ceritanya belum selesai disitu. Keesokan harinya, kebetulan libur. Dan kebetulan juga “Dia” bangun pagi, kalau tidak salah waktu itu pukul 08.00. Belum sempat mandi, sambil memanaskan motor dan menikmati teh hangat dan rokok sebatang, lima menit kemudian ia bergegas menuju salon cuci motor di daerah kp. Utan. Setibanya disalon cuci motor tersebut, seperti biasa, patugas mengambil alih kunci motornya kemudian memindahkanya ke tempat steam. Sambil menunggu proses cuci motor selesai, “Dia” pun duduk disalah satu kursi depan sebuah kios. Sesaat kemudian, baru saja “Dia” hendak menyalakan rokok, terdengar suara menyapanya; “…. Ngopi bang…….??” Sebentar “Dia” diam dan merespon, “Ooou… ya boleh, kopi item ya.. jangan terlalu panas”. Lagi- lagi belum sempat dia menyalakan rokoknya.. pelayan kios itu kembali memnyapanya dan bertanya… “PMII UIN masih aktif bang,,,,,??” untuk yang satu ini “Dia” agak tersentak… beranjak dari duduknya menghampiri pelayan kios tersebut yang sedang membuatkanya kopi, dan bertanya “Sory… Lo anak PMII juga…??”. …….”Ia bang, dulu waktu semester II sampe semester IV saya aktif di PMII fakultas Adab, Saya juga pernah lihat abang.. waktu ngelantik anak- anak PMII komisariat Adab..” sambil mengambil kopi yang dibuatnya, “Dia” hanya tertegun sambil mengangguk- ngangguk dan menatap pria pelayan kios itu dengan seksama, berusaha mengingat- ngingat wajah pria itu, namun sayang tetap saja “Dia” tidak mampu mengingat keberadaan pria itu di komunitas PMII, dalam hatinya, “Dia” merasa malu dan bersalah karena tidak sempat mengenal pria pelayan kios tersebut (mudah-mudahan ini tidak Lebay)… ahh. Kemudian “Dia” bertanya kembali kepada pria pelayan kios tersebut…; “Terus, kuliah masih aktif…??” pria itu menjawab; “… duuh bang, gak di terusin, gak ada uang euy….” Aaagh… lagi- lagi “Dia” merasa malu oleh jawaban pria tersebut. “Dia” bukanlah seorang pucuk pimpinan tertinggi, dia hanya seorang aktivis yang berusaha membagi waktu pengabdianya, untuk keluarga, Tuhan dan komunitas PMII yang telah menularkan “virus” anti diam kepadanya, meski terkadang “virus” itu telah membuatnya insomnia; dimulai dengan membenturkan kepentingan akal dengan hati. Saat itu, dalam benaknya, betapa beratnya setiap takdir kepemimpinan yang diterima dan diemban oleh semua umat manusia, jika salah satu dari tanggung jawab kepemimpinan tersebut lalai terlaksana. Meski level kepemimpinan tersebut hanya pada sebuah organisasi kemasyarakatan. Coba bayangkan, bagaimana jika dua situasi berbeda diatas dialami langsung oleh seorang pimpinan Negara, Preiden. Wallahua’lam.. Situasi ini, harus direnungkan untuk merumuskan kembali konsepsi kesejahteraan individu dan organisasi yang tidak melulu bergantung pada konsepsi politik dan stabilitasnya. Dalam hal ini, “Dia” hanya tidak ingin jika seorang aktivis atau seorang penggiat organisasi harus menjadi seorang “gelandangan” karena gagal dalam menghadapi persaingan social, terkecuali jika menggelandang untuk sebuah perlawanan, seperti Tan Malaka, atau kelompok gelandangan Yogyakarta ditahun 1980-1981 (Artijo Alkostar; Gelandangan, Pandangan Ilmu Sosial. LP3ES 1994). Tidak adalagi konsepsi kebenaran tentang “penganiayaan diri” sebagai doktrin perjuangan dalam organisasi kepada kader- kadernya!. Harus di Ingat, aktivis adalah kaum yang mengerti serta luas pengetahuanya. Maka sangat aneh, jika ia masih belum sadar; bahwa situasi ketimpangan kesejahteraan yang hari ini dialami oleh individu di organisasi dan masyarakat luas, merupakan dampak dari sebuah sistem ekonomi yang sengaja didisen untuk menguntungkan kelompok- kelompok elit ¬coorporasi dan kelompok pengendali sistem relasi kekuasaan. Sungguh prihatin dan miris (rasanya… ingin sekali ku banting computer ini…) namun, terpaksa ku lanjutkan menulis. Jika dalam sebuah organisasi, praktek- praktek monopoli kesejahteraan dan eksploitasi potensi kader (malahan bukan mengembangkanya) dilakukan oleh seorang elit penguasa organisasi, bahkan terkadang oleh orang yang sok berkuasa diorganisasi tersebut, maka akan sulit dihindari keberadaan organisasi hanya akan menjadi "rumah" para gelandangan. Sepertinya kita memang harus mengingat kembali, tentang teori konsepsi ekonomi; “…bukan pertumbuhan yang menciptakan kemerataan, melainkan kemerataanlah yang menciptakan pertumbuhan…”. Siapapun diantara kita yang saat ini dan esok akan menjadi pemimpin, berilah kesempatan secara luas kepada “mereka” untuk mengeksplorasi potensi dirinya, bukan menutupi ataupun menghalang- halanginya. Sungguh tidak ada satu kesuksesan individu yang diraih dengan single experience, melainkan karena semangat kebersamaan dan kolektivitas perjuangan. “Dia” pun memaksaku menyelesaikan tulisan ini, karena “dia” mengerti; batin ku tak mungkin ‘tega’ menceritakan semuanya. Sambil berpesan; “…Sahabat, diawal abad 21 tepatnya awal tahun 2000-an sekitar tahun 2008, kapitalisme liberal perlahan akan hancur, konsepsi ekonomi Third way ala’ Anthony Giddens meski mereka malu mengakuinya, telah gagal. Masihkan kita terjebak didalamnya, dengan prilaku- prilaku “sadar- tidak sadar” kita yang bergaya capital dan consumire ini… ” Jika mungkin, hari- hari esok “Dia” tidak ingin lagi mendengar; “….Sobat, aku pinjem uang 20.000 dong, gak ada ongkos neh.. buat jalan ke acara bedah buku dosen ku…,“. Mari kita ingat kembali sebuah lirik lagu tentang pembebasan “… Hari- hari esok adalah milik kita,, Terciptanya masyarakat sejahtera,, Terbentuknya tatanan masyarakat…”. “Dia” hanya berharap, kelak suatu saat nanti, lirik lagu ini akan menjadi nyata, bagi dirinya, kelompoknya dan bangsanya…,

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun