Mohon tunggu...
gama putra
gama putra Mohon Tunggu... -

Senang menulis, membaca dan berefleksi, merasa berumah di Kompasiana. Lahir di Yogyakarta. Saat ini tinggal, bekerja dan menuntut ilmu di Hasselt, Belgia.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menunggu yang Membesutkan Sejarah...

30 Desember 2009   00:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:43 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Menunggu sudah jamak sekali dianggap sebagai pekerjaan yang membosankan. Tapi beberapa orang, membuatnya menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda. Ruang tunggu di rumah sakit umum adalah siksaan nyata, dimana kuman, virus, bakteri, dan bau tidak sedap campur aduk dalam riuh antrian pasien. Tapi lounge di hotel bintang lima atau sudut empuk, ruang tunggu pada klinik gigi do sebuah penthouse jelas membuat penungguan menjadi hal yang berbeda. Dua tempat terakhir adalah yang memikat untuk membuat anda mau menunggu, lama barangkali, hingga dengan ringan bisa berujar: OK, aku tunggu! Oh ya... ngga apa, biar saya tunggu! Ya, saya bisa tunggu kok! Katakan saja, saya masih betah menunggu! Ya, kira-kira begitulah ekspresi senang menunggu. Hotel ataupun dokter gigi super mahal, di penthouse pula, adalah tempat nyata-nyata nyammman dirasakan dengan kelima indra kita. Tapi, mau berapa lama? Setiap kita pastinya punya standar yang berbeda untuk mau menunggu. Beberapa orang terlalu pelit dalam toleransi waktu menunggu. Menunggu teman baik atau rekan bisnis Anda tentunya tidak mungkin hingga satu atau dua jam. Menunggu dokter gigi, biasanya lebih singkat lagi, karena sudah ada janji lewat telfon sebelumnya. Namun bagaimana dengan menunggu kelahiran putra atau putri Anda.Menunggu anak-anak tumbuh dewasa dan meninggalkan Anda, kelak. Atau, menunggu kekasih melamar Anda, hingga kemudian menunggu hari yang bersejarah itu, PERNIKAHAN. Apakah yang bisa kita lakukan selain memilih pakaian, menyiapkan koper dan mencari pengasuh atau sekolah yang tepat bagi si buah hati? Apakah yang sesungguhnya terjadi pada saat kita menunggu? Ketegangan! Rasanya ingin cepat-cepat diakhiri. Tetapi, apa dengan memicing? Menarik dirii pada hari ini, karena takut ada hegemoni aneh yang merubah penantian? Atau menyiapkan diri sembari menanti. Saat menyambut ujian, banyak orang yang puas dengan usaha pas-passan, lalu berharap ada keajaiban datang di hari H. Namun yang tidak ajaib adalah jika kebetulan kita dapat mencontek pekerjaan teman yang cukup pintar. Yang seperti ini jelas sama sekali tidak ideal. Saya percaya, apa yang kita lalukan hari ini adalah investasi di masa depan. Ketimbang cemas memikirkan ya atau tidak, sukses atau gagal, HOT atau biasa aja, maka lebih baik membuat program yang matang sehingga di hari H kita siap take off. Ragu, cemas dan khawatir itu semua perasaan yang membuat kita capek. Saya percaya, hidup dan semesta ini pastinya sudah mempersiapkan sesuatu bagi setiap kita. Kita cuma menjalani saja. Kalau kita bisa melihat lebih jernih, maka yang diberikan hidup akan berbuah potensi berbuat, namun jika kita khawatir dan ragu-ragu, yang datang ke kita, tidak lebih dari beban tanggungan. Saya tidak pernah ingin merasa tidak beruntung. Semuanya seperti sudah tepat. Saya menunggu karena memang ada momentum yang mesti diulur. Hari ini adalah waktu yang terulur itu, dan hari ini, adalah bagian dari hari-hari yang akan selalu menggemukan pengalaman hidup, meski tidak begitu kuat kejutnya. Kejutan memang momen yang menyenangkan, hari di luar itu adalah proses penting yang yang membesutkannya. Saya paling suka bertanya, "Ada hal baru apa hari ini?" Sebuahi pertanyaan yang membuat saya mencuat dari rutinitas, 'berubah' dan mengundang hal-hal baru, hingga akhirnya kejutan yang lain muncul. Jadi masa-masa menunggu, sebenarnya tidak serta merta pasif. Ia cuma persoalan kreativitas mengolah cara pikir. Setiap hari saya belajar banyak, saya berubah, hingga beberapa hari, bulan, tahun, perubahan ini mengejutkan saya, dan terciptalah SEJARAH.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun