Sampai saat ini penyakit tuberkulosis (TB) paru masih menjadi masalah kesehatan yang utama di Indonesia. Terapi yang efektif tergantung pada diagnosis yang cepat dan tepat dari Mycobacterium tuberculosis. Kultur tetap menjadi gold standard untuk diagnosis M. tuberculosis dan pemeriksaan BTA merupakan salah satu alat diagnosis baku yang digunakan. Namun, rendahnya mutu mikroskop dan pereaksi (reagen), kurang terlatihnya tenaga pemeriksa,serta lamanya waktu yang dibutuhkan menimbulkan kendala dalam memeriksa BTA secara mikroskopis Hal ini berakibat pada terlambatnya diagnosis dan pengobatan yang berkontribusi pada tingginya angka mortalitas dan penularan TB. Kondisi ini berakibat penggunaan berlebihan obat anti-TB dan mempercepat timbulnya resistensi. Penelitian ini merupakan lanjutan dari studi sebelumnya pembuatan antigen rekombinan Ag38-rek dari M tuberculosis galur Malang yang bertujuan untuk mengembangkan kit diagnostik TB sederhana berbasis deteksi s-IgA pada saliva menggunakan antigen Ag38-rek M tuberculosis. Protein antigen Ag38-rek akan diisolasi dengan metode elektro elusi. Tahap selanjutnya adalah pengujian sensitivitas dan spesifisitas protein antigen Ag38-rek M. tuberculosis spesifik IgA dengan metoda Dot blot. Selanjutnya alat diagnostik akan dibuat berdasar prinsip immunochromatographic yang didasarkan pada penangkapan antibodi sIgA spesifik Ag38-rek dari saliva menggunakan protein antigen Ag38-rek M. tuberculosis. Tahap akhir dari penelitian  adalah pengujian kit dipstick pada pasien infeksi TB. Ketersediaan Rapid daignostic Tests (RDTs) berdasarkan deteksi antigen bakteri memberikan keuntungan kecepatan dalam waktu dan kemudahan dalam penggunaan, yang memungkinkan laboratorium di daerah atau staf klinik untuk membuat diagnosis ditempat tanpa harus melihat bakteri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H