ANALISIS PENGARUH WAKTU MALAM HARI TERHADAP MUNCULNYA PENYAKIT ASMA SEBAGAI DASAR PREVENTIF ASMA NOKTURNAL
Oleh :
Gamal Albinsaid
Asma, sebuah penyakit tidak menular yang ditandai dengan penyempitan saluran napas ini diperkirakan telah menyerang sekitar lima persen penduduk Indonesia dari segala usia. Penyakit yang tidak dapat disembuhkan ini merupakan salah satu dari sepuluh besar penyakit penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia. Hal itu tergambar dari data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei Kesehatan Rumah Tangga 1986 menyatakan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama – sama dengan bronkitis kronis dan empisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkhitis kronis dan empisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6%.
Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan pemerintah tahun 1996, penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan sesak napas seperti bronkhitis, emfisema, dan asma merupakan penyebab kematian ketujuh di Indonesia. Tahun 1995, prevalensi asma di Indonesia sekitar 13 per 1.000 penduduk, dibandingkan bronkitis kronis 11 per 1.000 penduduk dan obstruksi paru 2 per 1.000 penduduk(Mangunnegoro,2006).
Hal tersebut diperparah oleh angka penderita asma yang terus meningkat tajam beberapa tahun terakhir. Lebih dari itu, penderita asma didominasi oleh anak – anak yang pada nantinya dapat menghambat proses tumbuh kembangnya dikarenakan penderita asma mengalami gangguan pada organ tubuh lainnya. Keseluruhan fakta ini mengindikasikan bahwasanya penyakit asma tidak bisa dianggap remeh dan telah menjadi permasalahan global.
Bukan hanya itu, penulis memahami kondisi penyakit asma yang bersifat permanen atau dengan kata lain tidak bisa disembuhkan, melainkan hanya gejala – gejalanya saja yang dapat dihilangkan(Sinclair, 1987). Hal tersebut mengarahkan pengobatan penyakit asma yang bertujuan menekan faktor –faktor pencetusnya yang pada nantinya dapat meminimalisir frekuensi muncul dari penyakit asma itu sendiri.
Di sisi lain, Universitas Michigan pada tahun 2006 pernah melaporkan banyak penderita asma yang menderita kesulitan bernapas di malam hari, dilaporakan sebanyak 90% pasien asma mengalami gangguan tersebut. Artinya, sebanyak 9 dari 10 pasien asma mengalami gangguan ketika tidur.
Asma noktural ini penting karena kebanyakan kematian disebabkan serangan asma pada malam hari. Dari survai di Inggris didapati prevalensi asma nokturnal berkisar antara 61% dan 74%, dilaporkan pula 74% penderita yang terbangun satu kali dalam seminggu, 64% penderita terbangun sekurang-kurangnya tiga kali dalam seminggu, dan 26 % terbangun setiap malam. Gejala asma seperti wheezing dan batuk sering kali mengganggu tidur terurtama pada pukul 04.00 dan biasa disebut dengan morning dip. Selama ini sering dikatakan bahwa gangguan pernapasan di malam hari adalah hal yang berbeda, dan tidak ada kaitannya satu sama lain dengan penyakit asma yang diderita. Namun, sekarang telah disadari bahwa ada kaitan satu sama lalin antara gangguan pernapasan saat tidur di malam hari dengan penyakit asma yang mereka derita(William, 2006).
Tetapi ironisnya, banyak diantara para penderita asma tidak memahami adanya korelasi antara perubahan waktu dengan perkembangan penyakit asma itu sendiri. Padahal jika korelasi antara malam hari sebagai waktu paling dominan penderita asma kambuh dengan kondisi fisiologis penyakit asma diketahui, maka akan membantu penatalaksanaan penyakit asma itu sendiri dan lebih jauh lagi jika korelasi itu diketahui maka para penderita asma dapat mengantisipasi kambuhnya penyakit asma dan dapat dengan mudah mengatasinya.
Pengertian akan pencegahan asma nokturnal ini menjadi semakin penting, karena menurut National Sleep Foundation orang dewasa membutuhkan 7-8 jam tidur tiap malamnya dan anak usia sekolah membutuhkan 10-11 jam tidur tiap malamnya. Tidur yang cukup membantu menjaga kesehatan tubuh dengan memberi cukup waktu sistem tubuh untuk memperbaiki diri. Terutama bagi anak-anak, tidur merupakan periode pertumbuhan fisik, mental, dan emosional. Namun, studi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa sebagian orang dewasa dan anak-anak tidak mendapatkan cukup tidur yang dibutuhkan tubuh sehingga menjadikan kesehatan menurun dan semakin rentan terhadap penyakit dan berbagai komplikasinya. Disamping itu, pada penderita asma atau alergi, istirahat dan tidur yang cukup akan menjadikan tubuh mampu melawan gejala penyakit dan membantu mencegah infeksi yang akan memperburuk asma. Artinya, asma akan mempengaruhi kualitas tidur seseorang, dan kualitas tidur tersebut akan berdampak buruh pada asmanya (Rees, 1997).
Gangguan tidur dan konsekuensinya pada siang hari merupakan masalah pada manajemen asma(Janson, 1996). Gangguan asma pada malam hari mengindikasikan kurangnya kontrol terhadap penyakit dan menyebabkan gangguan tidur(Fitzpatrick,1991; Sadeh,1998). Kegagalan untuk mengatasi gangguan tidur menyebabkan gangguan pada kontrol penyakit dan memiliki dampak negatif terhadap kualitas hidup pasien asma(Vir, 1997; Goldney, 2003).
Berangkat dari pemikiran tersebut penulis berusaha menjelaskan fenomena apa yang menyebabkan penderita asma lebih sering kambuh pada malam hari yang pada nantinya diharapkan dapat memberikan pemahaman pada masyarakat, sehingga dapat membantu pencegahan kambuhnya asma di malam hari.
Gejala asma bisa memburuk selama malam hari atau dini hari. Banyak orang yang terbangun di tengah malam karena nafasnya berbunyi, batuk, terengah-engah, rasa tercekik, dan sesak di dada. Namun, faktor yang memiliki kontribusi terhadap munculnya asma pada malam hari tetap menjadi misteri.
Selama hampir tiga abad sejak asma pertama kali ditemukan, banyak sekali referensi berkaitan dengan terjadinya asma nokturnal ini. Pada abad 17, Maimonides yang merupakan dokter Saladin pernah menemui fenomena ini terjadi pada anak Saladin. Sedangkan, Sir Thomas Willis menganggap pengahangat tempat tidur sebagai penyebab asma kambuh pada malam hari dan dia menyarankan penderitanya untuk meninggalkan tempat tidur dan tidur di kursi. Sebaliknya Maimonides menyarankan penderitanya untuk membujang.
Para ahli percaya bahwasanya multifaktorial berperan bersama-sama dalam menjadikan asma sering kambuh di malam hari. Penyebab – penyebab yang diyakini memberikan kontribusi dalam mencetuskan asma pada malam hari antara lain, ritme sirkardian, pengaktifan sekresi sel mastoleh alergen, pengaruh tidur, perubahan sekresi saluran nafas, posisi berbaring, GERD (Gastroesophageal Reflux Disorder), dan perubahan suhu.
Pertama adalah ritme sirkaridian. Pada abad 19, Salter merupakan orang pertama yang memahami bahwa ritme sirkardian berperan dalam kambuhnya asma di malam hari. Fungsi tubuh tertentu berkurang dan memuncak pada variasi waktu setelah melewati periode 24 jam. Contohnya, pada banyak orang fungsi paru memuncak pada pukul 4 sore dan mencapai titik terendah pada pukul 4 pagi. Pencapaian titik terendah tersebut adalah periode dimana serangan asma sering terjadi, mungkin dikarenakan tubuh lebih rentan untuk diserang pada waktu tersebut.
Siklus circadian atau biasa disebut variasi diurnal tergantung siklus tidur dan bangun seseorang. Oleh karena itu, seseorang yang bekerja pada malam hari dan tidur selama siang hari lebih mungkin mendapat serangan asma selama siang hari.
Akhir – akhir ini juga telah diketahui bahwa hormone melatonin mungkin memainkan peran penting dalam mencetuskan serangan asma pada malam hari. Melatonin adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar pineal yang membantu mengatur ritme sirkardian seperti makan dan tidur. Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa melatonin juga meningkatkan jalur alergi peradangan, sehingga membuat serangan asma lebih mungkin terjadi.
Dari penelitian diketahui bahwa asma yang muncul pada malam hari ada korelasi dengan ritme sirkardian hormon dalam darah dan tonus parasimpatis. Pada awalnya diketahui bahwa kortisol dalam darah memegang peranan penting pada serangan asma malam hari. Hal itu dikarenakan pada variasi diurnal kadarnya yang terendah didapati antara pk 24.00 dan pk. 1.00, tetapi akhir-akhir ini diketahui ternyata peranan kortisol darah tidaklah besar. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa ada hubungan antara perubahan kadar katekolamin bersamaan dengan penurunan PEFR pada malam hari dan penurunan yang terendah didapati pada pukul 04.00. Selain itu ada pula hubungan terbalik antara keadaan histamin dengan PEFR yaitu bahwa keadaan histamin naik pada pk. 4.00 bersamaan dengan penurunan PEFR.
Selain itu epinefrin yang merupakan suatu beta adrenergic agonist yang kuat juga dapat mencegah pelepasan histamin dan mediator-mediator lain dari sel mast dan selanjutnya dapat mengurangi bronkokonstriksi. Jadi perubahan siklus sirkardian epinefrin dalam darah membangkitkan asma malam hari dengan mengurangi bronkodilatasi dan membantu pelepasan mediator bronkhogenik dari sel mast. Pengurangan epinefrin pada malam hari mengakibatkan meningkatnya kadar asetilkolin yang mengakibatkan bertambahnya respon pada penderita asma yang hiperresponif terhadap neurotransmiter ini. Ada juga bukti bahwa kolinergik juga meningkat pada malam hari dan menyebabkan asma muncul malam hari. Peningkatan kolinergik itu diduga merupakan efek lanjut dari penurunan kadar adrenalin yang menyebabkan berkurangnya inhibisi adrenergik.
Kedua adalah pengaktifan sekresi sel mastoleh alergen. Pengaktifan sel mastbukan hanya menimbulkan reaksi asma awal dengan penyumbatan bronkus tetapi pada beberapa penderita dapat memperberat serangan asma 6 jam kemudian yang dikenal sebagai reaksi asma lambat. Reaksi asma lambat ini merupakan karakteristik asma kronis. Karakteristik asma tersebut memiliki reaksi tertunda terhadap alergen dan pemicu iritasi. Kebanyakan gejala ini berkembang dalam waktu empat sampai delapan jam setelah terpapar. Karena risiko paparan ini lebih tinggi pada siang hari, reaksinya lebih mungkin terjadi pada malam hari. Sehingga reaksi yang tertunda dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan munculnya asma pada malam hari. Telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa alergen memegang perangan dalam patogenesis asma yang muncul malam hari(Chen, 1982).
David dick pernah melakukan penelitian dengan memaparkan penderita pada debu gandum, maka akan timbul asma akut dan wheezing yangkambuh kembali pada malam hari selama seminggu kemudian, walaupun pada siang hari faal parunya normal(Davies, 1976). Disamping itu, Cockroft juga melakukan penelitian dengan pemaparan alergen pada dua penderita. Pada penelitian tersebut terjadi reaksi lambat pada kedua penderita yang menjadikan asma timbul malam harinya dan muncul selama beberapa hari berikutnya(Chockroft, 1984). Para peneliti ini mendapatkan bahwa alergen meningkatkan reaktivitas bronkus yang perubahan maksimalnya terjadi pada waktu serangan asma malam hari. Peningkatan hiperreaktivitas bronkus tersebut bertahan walaupun wheezing malam hari telah hilang dan FEV 1 telah kembali normal. Para peneliti ini berkesimpulan bahwa reaktivitas bronkus non spesifik meningkat terhadap pemaparan satu antigen yang mengakibatkan respon asma lambat, sehingga dapat menyebabkan asma muncul pada malam hari.
Penting diingat bahwa pemaparan tunggal terhadap alergen dapat memulai deretan peristiwa yang menjurus ke pada peningkatan penyumbatan dan hiperreaktivitas bronkus. Selanjutnya perubahan-perubahan ini dapat bertahan untuk beberapa hari setelah pemaparan antigen tunngal. Selain itu derajat penyumbatan akan menjadi lebih berat bila pemaparan antigen terjadi pada malam hari(Cervais, 1977). Proses lain yang mendukung reaksi alergi ini, antara lain kontrol saraf autonom terhadap sekresi sel mast, penurunan kadar katekolamin malam hari, dan tingginya tonus saraf simpatis yang menyokong pelepasan mediator-mediator sel mast.
Ketiga adalah pengaruh tidur. Pengaruh tidur dalam patogenesis asma yang muncul pada malam hari telah menarik perhatian para peneliti dan hasilnya masih dipertentangkan. Lopes berkesimpulan bahwa pada orang normal, sewaktu tidur terjadi kenaikan resistensi bronkus 230% dibandingkan pada waktu bangun(Lopes, 1983). Perubahan resistensi ini mungkin berhubungan dengan kenaikan tonus otot bronkus pada bagian atas sehingga menyebabkan bertambahnya kerja pernafasan selama tidur. Jika hal ini terjadi pada penderita asma maka penyumbatan bronkus akan menjadi lebih besar lagi.
Clark dan Hetzel meneliti variasi diurnal faal paru pada pekerja-pekerja dengan asma dan mendapatkan variasi diurnal peak flow rate berhubungan dengan tidur tapi tidak dengan waktunya(Clark, 1977; Hetzel, 1979). Bila pekerja-pekerja mengubah bekerja pada malam hari, maka serangan asma terjadi pada waktu tidur siang hari. Peneliti-peneliti lain mendapatkan hasil yang bertentangan mengenai pengaruh tidur dan variasi diurnal atau ritme sirkardian pada malam hari. Ada yang menyatakan bahwa pengaruh ritme sirkardian jam 3.00 subuh pada peak expiratory flow rate lebih berperan dibandingkan tidur itu sendiri. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa tidur memegang peranan dalam penyempitan saluran nafas, tetapi bukanlah yang terpenting.
Keempat adalah perubahan sekresi saluran nafas. Seperti yang kita ketahui bersama, penyumbatan lendir membantu obstruksi bronkus pada penderita asma. Begitu juga retensi sekresi bronkus pada malam hari juga membantu gejala-gejala asma yang muncul malam hari. Dari penelitian diketahui bahwa berkurangnya pembersih mukosilier ini terutama terjadi pada malam hari. Retensi sekresi ini tampaknya dihubungkan dengan tidur dan bukan dengan variasi diurnal. Perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan apakah fenomena ini lebih berat pada penderita asma dan apakah berperan mengakibatkan wheezing pada malam hari(Bateman, 1978).
Rhinosinusitis kronik dan postnasal drip keduanya dipercaya menjadi faktor yang berkontribusi pada asma yang muncul malam hari. Pada banyak orang dengan penyakit asma, saluran pernapasan menjadi lebih meradang pada malam hariya.
Kelima adalah posisi berbaring. Penderita asma yang berbaring dalam posisi telentang akan mengalami gangguan faal paru yang progresif dan PEFR turun 13% selama 2 jam berbaring dan 24% selama 4 jam berbaring. Gangguan ini reversibel dan akan kembali normal setelah 1,5 jam. Jadi dapat disimpulkan bahwa berbaring dalam posisi telentang untuk jangka waktu yang lama juga menyebabkan serangan asma pada malam hari, walaupun mekanismenya belum jelas(Popping, 1988).
Keenam adalah Gastroesophageal Reflux Disoerder. Banyak diantara para pasien asma juga mengalami acid reflux atau GERD (Gastroesophageal Reflux Disorder) yang ternyata memiliki keterkaitan dengan munculnya asma di malam hari. GERD terjadi ketika katup yang memisahkan esophagus dan lambung mengalami malfungsi dan menjadikan isi lambung (asam dan enzim pencernaan) memasuki esophagus. Kondisi ini akan memburuk pada malam hari dikarenakan pada posisi tidur dengan berbaring katub akan lebih mudah terbuka. Jika ini terjadi, dinding esophagus akan mengalami kerusakan dan mengakibatkan nyeri dada, sendawa, dan nyeri perut. Iritasi dan batuk yang sering dihasilkan dari kenaikan asam lambung ini dapat memicu gejala asma.
Pada Refluks gastro-oesophageal pembersihnya cepat pada siang hari, tetapi pada penderita oesophagitis selalu terjadi refluks pada malam hari karena aktivitas otot oesophagus berkurang dan pembersihan asam diperlambat. Refluks pada malam hari ini dapat menimbulkan serangan asma dan pengobatan refluks pada penderita asma dapat memperbaiki pernafasan(Davies, 1976; Chockroft, 1984).
Ketujuh adalah perubahan suhu. Udara dingin diketahui sebagai salah pencetus asma. Di samping itu suhu tubuh dapat turun dengan cepat selama tidur, yang mana dapat membantu mencetuskan serangan sama.
Itulah faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kambuhnya asma di malam hari. Dari berbagai faktor penyebab tersebut, ada faktor yang dapat kita kendalikan dan ada faktor yang tidak dapat kita kendalikan. Kita tidak mungkin mencegah penyakit asma yang muncul malam hari secara keseluruhan, tetapi rencana pencegahan dan perawatan yang tepat dapat secara drastis mengurangi insiden dari gejala.
Sehingga pencegahan yang paling tepat, pertama adalah mencegah faktor – faktor yang berperan sebagai pencetus asma pada malam hari sehingga dapat mencegah hiperreaktivitas bronkhus. Kedua adalah pengobatan yang digunakan untuk mencegah hiperreaktivitas bronkhus, yaitu dengan kortikosteroid inhalasi. Ketiga adalah mencegah bronkhokontriksi dengan menggunakan slow-release theophyline, slow-release beta agonist atau obat antikholonegik inhalasi.
Kambuhnya serangan asma pada malam hari adalah merupakan sifat dari asma dan bukan keistimewaan akibat ritme sirkardian. Faktor-faktor lain seperti pengaktifan sekresi sel mastoleh alergen, pengaruh tidur, perubahan sekresi saluran nafas, posisi berbaring, GERD (Gastroesophageal Reflux Disorder), dan perubahan suhu juga turut membantu wheezing pada malam hari, tetapi bukanlah faktor yang paling dominan. Jadi asma nokturnal itu adalah akibat dari interaksi yang kompleks beberapa faktor endogen dengan faktor lingkungan dan pencegahan yang paling tepat adalah mencegah faktor pencetus serta mengontrol reaktivitas bronkhus dengan obat-obatan.
Demikianlah analisis pengaruh waktu malam hari terhadap munculnya penyakit asma sehingga dapat menjadi dasar dalam preventif asma nokturnal.
DAFTAR PUSTAKA
Mangunnegoro, Hadiarto, dkk.. 2006. Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Sinclair, Dr, Chris. 1987. Asma. Terjemahan oleh Dra. Arum Gayatri. 1990. Jakarta : Arcan.
Rees, John dan John Price. 1997. Petunjuk Penting Asma. Terjemahan oleh dr. Edy Nugroho. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Wilson NM, Charette L, Thomson AH, Silverman M. Gastroeosophageal reflux and childhood asthma: The acid test.Thorax 2006; 40:592-97
Janson C, De Backer W, Gislason T, Plaschke P, Bjo¨ rnsson E, Hetta J, Kristbjarnarson H, Vermeire P, Boman G. Increased prevalence of sleep disturbances and daytimes sleepiness in subjects with bronchial asthma: a population study of young adults in three European countries. Eur Respir J 1996;9:2132–2138.
Fitzpatrick MF, Engleman H, Whyte KF, Deary IJ, Shapiro CM, Douglas NJ.Morbidity in nocturnal asthma: sleep quality and daytime cognitive performance. Thorax 1991;46:569–573.
Sadeh A, Horowitz I, Wolach-Benodis L, Wolach B. Sleep and pulmonary function in children with well-controlled, stable asthma. Sleep 1998;21: 379–384.
Vir R, Bhagat R, Shah A. Sleep disturbances in clinically stable young asthmatic adults. Ann Allergy Asthma Immunol 1997;79:251–255.
Goldney RD, Ruffin R, Fisher LJ, Wilson DH. Asthma symptoms associated with depression and lower quality of life: a population survey. Med J Aust 2003;178:437–441.
Chen WY, Chai H. Airway cooling and nocturnal asthma. Chext 1982; 81: 675-80.
Davies RJ, Green M. Schofield NM. Recurrent nocturnal asthma after exposure to grain dust. Am Respir Dis 1976; 114: 1011-9.
Cockrcrof DW, Hoeppner VH, Werner GD. Recurrence nocturnal asthma afterbronchoprovocation with westemred cedar sand : association with acute increase in nonallergy bronchial responsiveness. Clin Allerg 1984; 414 : 61-8
Cervais P, Reinberg A, Cervais L et al. Twebty-four hour rhythm in the bronchial hyperreactivity to house dust in asthmatic. J. Allerg Clin Immu-nol 1977; 59 : 207-213
Lopes JM, Tabochnik E, Muller NL, Levison H, Bryan AD : Total airway resistance and respiratory muscle activity during sleep. J Appl Physiol 1983; 54 : 773-7.
Clark THJ, Hetzel MR. Diurnal variation of asthma. Br J Dis Chest 1977; 71:87-92.
Hetzel MR, Clark TJH. Does sleep cause nocturnal asthma ? Thorax 1979; 34 : 749-54.
Bateman JRM, Pavia D. Clark SW. The retention of lung secretion during the night in nonnal subject. Uni Sci Mol Med 1978; 55 : 523-527
Popping H. The role of posture, mucociliary clearance and gastro-oesophageal reflux in nocturnal asthma. Lung Respir 1988; IV (2) : 9-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H