Mohon tunggu...
Galuh Trianingsih Lazuardi
Galuh Trianingsih Lazuardi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Forza Lazio!\r\n\r\nhttp://galuhtrianingsihlazuardi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapresiasi Pencitraan Dan Menafikkan Kejujuran Sejak Usia Dini

31 Januari 2012   21:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:13 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1328043855747281151

oleh Galuh Trianingsih Lazuardi

© 2012

Sewaktu saya masih duduk di sekolah dasar tiap menjelang bulan Ramadan guru Agama akan membagikan Buku Aktivitas Ramadan pada kami para siswa mulai kelas tiga ke atas. Kami harus mencatat semua aktivitas ibadah selama bulan suci itu, termasuk puasa, shalat wajib, shalat tarawih lengkap dengan nama khotib dan imam tarawihnya serta tema ceramah singkat (biasa disebut kultum atau kuliah tujuh menit) menjelang ditegakkannya shalat tarawih berjamaah. Saya bersekolah di sebuah SD Islam Terpadu, satu-satunya SD di di komplek perumahan tempat saya tinggal, sehingga semua teman sekelas adalah juga teman bermain sehari-hari karena praktis kami semua bertetangga. Saat membagikan buku itu, pak guru akan menekankan pentingnya menyempurnakan semua ibadah wajib dan sunah selama Ramadan karena pahalanya berlipat-ganda. Tak lupa beliau menjanjikan hadiah bagi yang ibadahnya penuh dan mengumumkannya di papan pengumuman setelah kami masuk lagi usai Lebaran, supaya semua orang tahu, mana siswa yang “baik” dan mana yang “kurang baik”. Semuanya akan ditentukan berdasarkan buku yang harus kami isi tersebut. Tentang kejujuran dalam mengisi buku, hampir tak pernah disinggung, atau kalaupun terucap, bobotnya jauh di bawah pentingnya kesempurnaan ibadah.

Biasanya kami para siswa akan terbagi dua jenis dalam mengisi buku tersebut. Yang mengisinya dengan penuh kejujuran, dan mereka yang merekayasa entrinya dengan memenuhi semua kolom dengan “ya” pada setiap butirnya. Saya dan beberapa teman, alhamdulillah, termasuk kelompok yang pertama. Sayang, jumlah kelompok pertama ini kalah jumlah oleh kelompok kedua, kelompok perekayasa. Di antara kelompok terakhir ini ada yang sudah mengisinya bahkan sebelum Ramadan dimulai. Isinya, puasa penuh, shalat tak pernah terlewatkan. Tentang khotib, imam dan tema tarawih, gampang saja. Tinggal sempatkan sejenak ke masjid, dan catat lengkap nama, jadwal dan tema ceramahnya. Semuanya ada di papan pengumuman masjid, bersama-sama dengan daftar infaq harian.

Di antara kami yang mengisi buku dengan jujur, jarang sekali ada yang isinya penuh semuanya. Satu-dua kali ada saja yang melewatkan waktu shalat atau batal puasanya karena tak kuat menahan lapar dan haus. Atau tak shalat tarawih berjamaah di masjid karena malas atau tertidur akibat kekenyangan saat berbuka. Sebaliknya, kelompok perekayasa akan memiliki buku yang gilang-gemilang. Kami tahu persis upaya rekayasa mereka, karena seperti saya sebutkan di atas, kami adalah teman bermain sehari-hari dan tinggal di komplek yang sama sehingga tahu siapa yang puasa atau tidak pada hari tertentu. Dan masjid Al Ikhlas adalah satu-satunya masjid di komplek kami, sehingga kami tahu siapa yang datang tarawih dan siapa yang tidak.

Alhasil, saat sekolah dimulai usai Lebaran, jarang di antara kami yang tak pandai merekayasa ini yang dikategorikan sebagai “anak baik” oleh guru agama kami. Sebaliknya, kelompok perekayasa akan memperoleh hadiah dan namanya dicantumkan dalam daftar anak soleh di Ramadan tersebut. Kami yang bodoh dan lugu karena mengisi dengan jujur, akan mendapat wejangan panjang-lebar dari pak guru, dan tentu saja disuruh meneladani para “anak soleh” tersebut.

Demikianlah sejak kecil kepada kami telah dipertontonkan betapa pentingnya usaha pencitraan, betapa demi pencitraan maka memanipulasi data adalah hal yang wajar saja dilakukan. Betapa pencitraan penuh rekayasa ini mendapatkan apresiasi tinggi. Dan betapa kejujuran dapat saja membawa kita ke situasi yang tidak menguntungkan.

Maka ketika pencitraan menjadi kiat pemimpin negara dalam menuai dukungan publik, ketika data statistik direkayasa untuk menunjukkan keberhasilan pembangunan atau pengentasan kemiskinan, seharusnya para tokoh yang meneriakkan hal ini menjadi maklum. Karena dari generasi ke generasi, telah ditunjukkan betapa pencitraan adalah penting, betapa kita berhak mengklaim keberhasilan walaupun dengan manipulasi data, sekaligus menunjukkan bahwa kejujuran tidak perlu diapresiasi karena dikalahkan oleh pencitraan itu sendiri. Dan itu semua dimulai sejak dini, kepada anak-anak yang pada saatnya akan memimpin negeri ini. Dan dilakukan oleh sistem pendidikan formal. Menyedihkan memang!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun