Opera van Formello
oleh Galuh Trianingsih Lazuardi
© 2012
Sesaat setelah wasit Christian Brighi meniup peluit panjang tanda laga Lazio-Fiorentina di Olimpico usai Senin dini hari lalu, sekitar 25.000 Laziali di curva nord langsung memberikan standing ovation dengan berdiri, bertepuk tangan dan meneriakkan nama allenatore Reja. Mereka memberikan penghargaan kepada pria kelajiran 66 tahun silam itu bukan hanya untuk kemenangan 1-0 malam itu. Juga bukan atas permainan yang baru saja disajikan anak asuahannya, karena malam itu skuad Lazio yang dilanda cedera dan kelelahan tidak tampil indah. Mereka memberikan penghargaan pada Reja atas kesediannya meneruskan kiprahnya di Lazio setelah selama dua pekan terakhir Formello seolah menyajikan sebuah pertunjukkan opera. Tepuk tangan tersebut, untuk sementara, bolehlah dianggap sebagai applaus sebuah drama yang berakhir dengan happy ending, setidaknya bagi Irriducibili Lazio.
Sesungguhnya semua cerita opera ini berawal dari kekecewaan dan kemarahan Reja pada Mercato Januari yang mengurangi secara drastis kekuatan Biancocelesti akibat kebijakan transfer yang aneh. Berlanjut dengan sikap Direktur Olahraga Lazio, Igli Tare, yang justru menyalahkan Reja atas dua kekalahan di Liga Eropa atas Atletico Madrid serta aib kekalahan 1-5 atas Palermo di Stadio Renzo Barbera. Keberangan Reja yang tidak terima dijadikan kambing hitam, pengunduran dirinya sebagai pelatih, dan gonjang-ganjing yang terjadi akibat hal tersebut.
Tuah Reja di Formello
Reja adalah pelatih sangat berpengalaman yang sudah malang-melintang di berbagai klub selama 33 tahun. Prestasi monumentalnya adalah ketika dalam waktu dua tahun berhasil membawa Napoli dari Serie-C1 ke Serie-A. Reja datang ke Lazio saat klub ini berada di ambang degradasi pada musim 2009/2010 di bawah pelatih Davide Ballardini. Reja berhasil menempatkan Lazio ke tempat 12 di akhir musim. Musim berikutnya, Reja berhasil mengoptimalkan pemain barunya, Hernanes, dan merevitalisasi Ledesma, Mauri dan Zarate, dan mengakhiri musim di posisi 5 dan membawa Lazio kembali bertanding di Liga Eropa. Musim 2011/2012 ini, dengan tambahan pasukan dari Klose, Cisse, Lulic dan Marchetti, Reja berhasil mempertahankan posisi Lazio selalu di lima besar sejak giornata 6 hingga saat ini. Dan, meloloskan Lazio ke fase knock out Liga Eropa.
Selama menangani Lazio, Reja telah memainkan 93 pertandingan resmi di berbagai ajang, dengan hasil 48 menang, 18 seri dan 27 kalah. Sebuah prestasi yang lebih dari sekedar lumayan, mengingat kualitas, usia dan kerentanan skuad Lazio terhadap cedera. Sungguhpun begitu, ultras Lazio tak kunjung mendukung Reja. Desakan mundur selalu terdengar walaupun prestasi telah ditorehkan, walaupun akhirnya musim ini derbi dimenangkan. Tetapi Reja bergeming melatih Ledesma dan kawan-kawan, karena Reja didukung Lotito, dan lebih dari itu, Reja disayangi dan dibela oleh para pemainnya.
Reja memang punya kelemahan. Di tangannya, Lazio bermain pragmatis, cenderung negatif dan jauh dari keindahan. Reja juga tak cukup berani “berjudi” dengan memasang para pemain mudanya dari Primavera. Dan tentu saja, kalah empat kali dalam derbi, membuatnya tak kunjung mendapat tempat di hati ultras. Selebihnya, tuah Reja mampu membawa Lazio menjadi salah satu klub papan atas Lazio selama satu setengah musim ini.
Badai Pasca-Mercato
Akhir tahun, skuad Lazio dilandai badai cedera. Playmaker Mauri bahkan hanya sempat merumput di dua laga. Brocchi dan Cana menyusul. Lini belakang lah yang paling parah, cedera silih berganti menyerang Dias, Biava, Diakite, Radu, Konko dan Stankevicius. Lazio musim ini, tidak memiliki kedalaman tim. Secara kualitas, terdapat jarak yang lumayan besar antara pemain inti dan cadangan. Reja yang sebelumnya selalu menunjukkan sifat penurut, kali ini meminta manajemen untuk menambah masing-masing satu pemain tengah dan penyerang.
Alih-alih memenuhi keinginan Reja, Tare justru secara sistematis mengurangi kekuatan Lazio di Mercato Januari. Satu pemain tengah memang didatangkan, tetapi bukan yang sekualitas Mauri atau Hernanes, melainkan Candreva, pemain medioker dari Cesena, yang tahun 2009 secara terbuka mengakui dirinya romanista. Dan penyerang muda Uruguay, Emiliano Alfaro, yang belum teruji dan dalam keadaan cedera. Sementara itu tak kurang dari Cisse, Sculli, Ceccarelli dan Del Nero dihapuskan oleh Tare dari lini depan Lazio. Cisse memang hanya mencetak 1 gol selama setengah musim di Serie-A, tetapi dia adalah pemberi assist terbanyak di Lazio. Dan Sculli berperan penting di banyak laga Lazio pada Liga Eropa maupun Serie-A. Reja harus kehilangan semua itu, tanpa mendapatkan ganti yang sepadan. Dia pun secara terbuka menyuarakan kegeramannya. Tak hanya Reja, Klose pun mengungkapkan kekecewaannya atas kehilangan Cisse dan Sculli, dan harus berjuang sendirian seiring dengan cederanya Rocchi.
Satu hikmah yang terjadi, ultras Lazio untuk pertama kalinya menyatakan dukungan terbuka kepada Reja. Untuk pertama kalinya pula namanya diteriakkan sebagai penghormatan dari curva nord usai laga dramatis melawan Cesena.
Goro Goro
Goro-goro adalah episode terjadinya situasi chaos di pertunjukan wayang. Pada Opera van Formello, hal ini dimulai dari kekalahan atas Genoa, Atletico Madrid dan berpuncak di Stadio Renzo Barbera. Lazio harus turun dengan seperempat kekuatan akibat cedera dan hukuman yang menimpa beberapa pemain. Saking kritisnya, Ledesma pun sampai-sampai harus diturunkan sebagai bek tengah. Anehnya, seolah tanpa menyadari bahwa ini adalah akibat ulahnya, Tare justru menyalahkan Reja. Maka pelatih tua ini pun memilih untuk mengajukan pengunduran dirinya menjelang laga leg kedua melawan Atletico Madrid. Pengunduran diri ini ditolak Lotito. Reja tetap pada pendiriannya walaupun bersedia mendampingi pemainnya berlaga di Estadio Vicente Calderon.
Sekembali di Kota Roma, situasi makin tak menentu. Reja gagal menemui Lotito, sementara Tare panik mencari pelatih pengganti. Lippi menolak mentah-mentah. Alternatif hanya tinggal pada Zola dan De Canio. Di titik inilah ultras Lazio bersikap keras, dengan meminta Lotito melupakan Zola dan De Canio serta mempertahankan Reja dan mendepak Tare. Rocchi, Mauri dan Klose dikabarkan juga sempat berbicara pribadi dengan Lotito di Formello seusai Sang Presiden menemui para pemainnya.
Happy Ending?
Entah apa yang terjadi dalam 24 terakhir menjelang laga lawan Fiorentina. Dikabarkan akhirnya Reja berhasil menemui Lotito. Entah apa yang dibicarakan antara keduanya. Rumor berhembus bahwa Reja mengultimatum Lotito untuk memilih antara dirinya atau Tare yang bertahan di Formello. Apapun, akhirnya Reja memutuskan tetap bertahan hingga akhir musim, sesuatu hal yang sangat melegakan ultras. Dan Opera van Formello pun ditutup dengan standing ovation curva nord Olimpico sebagai penghormatan ultras bagi Reja. Penghormatan, yang memang berhak didapatkan Reja sejak lama.
Opera van Formello, bagaimana pun harus segera diakhiri. Karena Lazio harus segera menyiapkan diri untuk sebuah drama lain, kali ini adalah drama yang sangat panas dan menyeramkan bagi pecinta sepakbola di Italia akhir pekan ini: Derby della Capitale. Sebuah derby yang menurut Nesta, “Membuat Derby della Madonnina serasa sebuah laga uji coba pramusim.”
Di sana gunung, di sini gunung. Ditengah-tengahnya Formello. Lotito bingung, Curva Nord lebih bingung. Yang penting, kita bisa berseru: FORZA LAZIO!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H