Mohon tunggu...
Galuh Iftita A.
Galuh Iftita A. Mohon Tunggu... Freelancer - Galuh Ifitita Alivia

Seorang mahasiswa perencana dari Universitas Jember, suka merencanakan termasuk merencanakan ingin menulis apa

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kontroversi Pembebasan Lahan dan Degradasi Lingkungan pada Program Food Estate

28 April 2021   19:42 Diperbarui: 28 April 2021   19:52 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Sesuai dengan Masterplan Perecepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) menyebutkan bahwa Indonesia kini memprioritaskan untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia melalui program food estate.  Menjaga ketahanan pangan nasional pada dasarnya sudah menjadi isu penting, terutama sejak adanya pandemi yang melumpuhkan sebagian besar roda ekonomi masyarakat secara global. Sehingga diperlukannya upaya untuk mengadakan lumbung pangan nasional yang nantinya dapat menumbuhkan perekonomian daerah tersebut. 

Program food estate ini dicetuskan atas beberapa keadaan mulai adanya Global Food Crisis yang disebabkan dari peningkatan kebutuhan pangan yang oleh pertumbuhan penduduk. Kemudian tingginya alih fungsi lahan pertanian yang terjadi akibat adanya urbanisasi di banyak daerah di Indonesia. Sehingga memerlukan lahan lain yang dapat difungsikan sebagai lahan pertanian, namun kebanyakan lahan terbuka ini masih belum dioptimalisasi untuk menjadi penyedia pangan nasional. Hingga dibuat program yang dapat mengakomodasi kegiatan pengembangan pangan yang mengintegrasi bidang pertanian, perkebunan, dan peternakan pada suatu kawasan.

Program yang dijalankan pada tahun 2020 hingga 2022 ini akan ditargetkan dikerjakan pada lahan sebesar 165.000 ha dan menjadi bagian dari Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Salah satu lokasi pelaksanaannya berada di Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Lahan yang dipakai merupakan lahan aluvial bukan gambut di kawasan bekas Pengembangan Lahan Gambut atau PLG yang ada di Kalimantan Tengah. Lahan rawa ini nantinya akan dimanfaatkan sebagai lahan produktif komoditas pangan sebagai lumbung pangan nasional. Namun dikhawatirkan dengan memanfaatkan lahan bekas PLG yang gagal ini dapat mengurangi produktivitas tanaman sebagai akibat dari degredasi lingkungan dan kesuburan tanah yang rendah. Disisi lain pemanfaatan lahan tidur diharapkan dapat meningkatkan nilai lahan dan mengurangi pembukaan lahan hutan sebagai kebutuhan lahan tanaman pangan.

Permasalahan pembebasan lahan juga menjadi salah satu kendala dalam proses pelaksanaan program Food Estate. Dari empat provinsi yang dijadikan wilayah pelaksanaan program Food Estate ini sebagian besar berada di lahan hutan, naik hutan alam hingga lahan gambut. Tentu saja hal ini menjadi isu penting yang dapat membahayakan ekosistem dan memperkeruh keadaan alam akibat Climate Change yang terjadi di dunia. Adanya pembukaan lahan secara masif perlu adanya peninjauan kembali terhadap penggunaan lahan dan mengecualikan hutan alam, ekosistem gambut, hingga tanah adat. Hal ini agar tidak adanya dampak berkepanjangan sebagai akibat dibukanya lahan baru sebagai bagian dari persiadan lumbung pangan namun menyebabkan adanya pengurangan kualitas lingkungan.

Pelaksanaan program Food Estate ini hendaknya mengkaji beberapa faktor penting yang dapat memaksimal hasil produktifitas tanpa perlu mengorbankan aspek lingkungan yang dalam konteks ini adalah hutan. Perlunya mengkaji kelayakan lahan dan agroklimat yang akan dimanfaatkan penting untuk melihat kecocokan terhadap vegetasi yang ditanam. Kualitas infrastruktur yang belum memadai menjadi salah satu penghambat dalam proses pelaksanaan program, dibutuhkannya saluran irigasi yang baik untuk memenuhi kebutuhan air hingga jalan untuk melakukan jalur distribusi. Kemudian perlunya pengkajian terhadap perizinan pemanfaatan lahan dan kepemilikan lahan yang saat ini digunakan. Diketahui bahwa setelah kedatangan Presiden Joko Widodo ke lokasi dan membagikan sertifikat tanah kepada masyarakat, permasalahan tersebut dapat diselesaikan sementara.

Permasalahan perizinan ini diharapkan dapat diselesaikan setelah adanya pengkajian terhadap lahan hutan yang dipakai. Tidak adanya pembebasam lahan hutan baru yang dapat mengurangi kualitas ekosistem. Kementerian ATR/BPN sendiri telah melakukan inventarisasi data penguasaan, kepemilikan, penggunaan, serta pemanfaatan tanah atau (IP4T) yang digunakan untk pengembang program. Survei ini dilakukan untuk mengetahui data bidang tanah pada lahan dan kepentingan yang ada mulai daeri penguasaan, kepemilikan, penggunaan, hingga pemanfaatan tanah melalui sensus. Melalui kegiatan survei di Area Of Interest program pengembangan Food Estate ini diketahui hasil lahannya adalah sekitar 74.000 ha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun