Masa remaja adalah periode transisi dari masa anak-anak menuju dewasa, pada fase ini ditandai dengan berbagai perubahan fisik, kognitif, dan psikososial (Berk, 2014). Masa remaja merupakan masa ketika anak menginjak usia 11 hingga usia 19 tahun. Masa remaja adalah masa yang berada antara masa anak-anak sampai masa dewasa ketika seseorang dihadapkan dengan hambatan-hambatan dan tantangan masa perkembangan (Papalia et al.,2009). Menurut teori psikososial Erik Erikson (dalam Santrock, 2012) menyatakan bahwa remaja menghadapi tugas 'identity versus identity confusion' sehingga mereka memilliki tuntutan dalam membentuk gambaran yang utuh mengenai diri sendiri melalui proses eksplorasi terhadap berbagai jenis nilai, ideologi, dan pekerjaan, serta identitas seksual (Santrock, 2012).
Erikson juga menyatakan bahwa fidelity yang tumbuh ketika remaja yang berhasil menyelesaikan tugas pada tahap 'identity versus identity confusion' akan meningkatkan keyakinan remaja mengenai diri mereka sendiri, nilai atau ideologi yang mereka adopsi serta arah tujuan hidup yang dipilih (Papalia et al., 2009; Santrock, 2012). Di sisi lain, kegagalan untuk memecahkan krisis identitas pada masa ini akan membuat remaja menarik diri dari lingkungan atau melakukan perubahan secara terus menerus pada gambaran mengenai diri berdasarkan kondisi lingkungan sosial (Santrock, 2012). Hal ini akan berpengaruh terhadap konsep diri remaja.
Menurut beberapa penelitian konsep diri akademik peserta didik menjadi kurang positif. Hal tersebut menurut Argyle, sebagaimana dikutip oleh Budiarsih dan Zen (2016: 115) karena terdapat empat faktor yang berkaitan antara satu dengan yang lain, yang berpengaruh terhadap perkembangan konsep diri, yaitu reaksi dari orang lain, peranan seseorang dan identifikasi terhadap orang lain
Penelitian yang dilakukan oleh Neri Sondari (2017, hlm. 79) pada peserta didik kelas VIII SMP Negeri 3 Kawali Tahun Ajaran 2017-2018 menunjukkan, sebagian besar peserta didik berada pada kategori konsep diri akademik negatif, artinya peserta didik merasa tidak yakin terhadap kemampuan akademiknya. Perilaku yang ditampilkan diantaranya: tidak percaya diri tampil di depan kelas, kurang mampu dalam menerima palajaran dan menyelesaikan tugas ujian, kurang merasa diterima oleh teman sebaya dan kurang memiliki siatif untuk belajar.
Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan dalam memperbaiki self-concept adalah solution-focused brief counseling (SFBC) dengan setting kelompok. SFBC merupakan pendekatan client-directed therapeutic yang berfokus pada tujuan, diaplikasikan dalam waktu yang singkat, dan membantu individu fokus pada solusi dari pada masalah (Roeden, Maaskant, & Curfs, 2014).
Hal ini juga diperkuat dengan pendapat Hoag dan Burlingame (dalam Brabender, Fallon, & Smolar, 2004) menemukan bahwa setting kelompok efektif dalam meningkatkan keterampilan sosial, memperbaiki masalah sosial, locus of control, self-esteem, dan self-concept pada remaja. Berdasarkan penelitian Kim (2008) menunjukkan bahwa solution-focused brief counseling efektif untuk mengatasi permasalahan yang bersifat internalizing behavior seperti depresi, kecemasan, konsep diri, dan self-esteem. Penelitian dari Omotunde, Akporobaroh, dan Odunayo (2017) menunjukkan bahwa SFBC dapat meningkatkan konsep diri pada remaja. Hal ini disebabkan karena SFBC membantu remaja untuk fokus terhadap solusi yang bisa mereka lakukan untuk mengatasi masalahnya, bukan hanya terus menerus menekankan adanya masalah.
Maka dibuatlah panduan Solution Focused Brief Counseling (SFBC)
Link Panduan :
https://drive.google.com/file/d/1oA5e3xK28tRyLZ-kdQ2sSDsBWEqvr6C-/view?usp=sharingÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H