Mendapatkan segala kebaikan dalam segala yang dilakukan merupakan keinginan setiap orang yang berakal. Termasuk mendapatkan kesuksesan. Kesuksesan dapat diartikan sebagai suatu keadaan tercapainya tujuan atau cita-cita. Kita ambil contoh, pencuri dikatakan sukses jika ia berhasil mencuri barang yang diinginkan tanpa tertangkap, seorang polisi dikatakan sukses jika ia menjalankan tugasnya dengan baik,seorang pengusaha dikatakan sukses ketika usahanya mendapatkan untung yang besar dan berkembang.Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana dengan mahasiswa? Tentunya Anda sebagai mahasiswa menginginkan kesuksesan juga bukan? Indikator apa yang untuk menyebut bahwa seorang mahasiswa dikatakan sukses? nilai UAS tinggi , IPK summa cumlaude, lulus cepat, banyak penggemar, punya fans club, menjadi mawapres? Atau?
Standar yang Benar
Sudah menjadi pemahaman umum bahwa ketika manusia memandang atau menilai sesuatu maka hasilnya tidak lepas dari subjektivitas. Akal manusia tidak mampu menilai baik-buruk sesuatu karena keterbatasan fungsinya yang hanya dapat berpikir kecuali ada 4 komponen yang terpenuhi (otak sehat, indera, fakta yang terindera, dan informasi sebelumnya). Sedangkan Allah, Tuhan Semesta Alam yang mengetahui dari a-z tentang manusia yang merupakan makhlukNya. Sehingga standar baik dan buruk untuk menilai kesuksesan pun juga haruslah dari Allah. Seperti Firman Allah:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2]: 216)
Indikator Kesuksesan Mahasiswa
Seorang mahasiswa muslim yang sukses dapat dicirikan dengan dengan 2 indikator: Pertama, memiliki kepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah), Kedua, Menguasai ilmu pengetahuan yang menjadi bidang studinya. Seorang mahasiswa muslim yang sukses, dengan demikian, adalah mahasiswa yang berhasil memiliki kedua indikator tersebut secara bersamaan. Mahasiswa yang hanya menguasai pengetahuan yang menjadi objek studinya, namun dangkal dalam pemahaman Islamnya, hakikatnya adalah mahasiswa yang gagal, meskipun menurut standar konvensional yang sekuleristik, dia adalah mahasiswa yang “sukses”!
Kegagalan Mahasiswa
Siapa yang mau gagal, tentu tidak ada. Namun sayang banyak yang kemauannya ini tidak diselaraskan dengan perbuatan untuk menjauh dari kegagalan. Ukuran kegagalan yang dibahas di sini adalah gagal dalam wilayah yang dikuasai manusia. Karena penetapan hasil merupakan ketetapan Allah, manusia hanya bisa berikhtiar untuk menggapai keinginannya (sukses). Berikut ini paling tidak 3 (tiga) kegagalan mahasiswa yang sering dialami: 1.) Gagal di tingkatawalan 2.) Gagal di tingkat proses 3.) Gagal di tingkat hasil.
1.Gagal di Tingkat Awalan
Mahasiswa yang mempunyai niatan dan tujuan untuk kuliah yang keliru merupakan mahasiswa yang gagal di tingkat awalan. Dalam sebuah hadits dikatakan, “Sesungguhnya setiapperbuatan tergantung niatnya, dansesungguhnyasetiaporang(akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan”
(إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى).
Salah satu yang sering menjangkiti mahasiswa muslim saat ini adalah sindrom “study oriented”. Sindrom “study oriented” merupakan awal kegagalan mahasiswa. Mahasiswa ini meniatkan masa kuliahnya hanya fokus untuk kuliah dan praktikum (ilmu dunia) dan meninggalkan aktivitas lain yang harusnya lebih diprioritaskan seperti menuntut ilmu agama (tsaqafah islam). Inilah mahasiswa yang telah gagal sebelum “berperang”. Apa jadinya masa depan umat jikalau calon-calon pemimpin ini tidak hanya memoles diri dengan ilmu keduniawian saja?
Mahasiswa sukses seharusnya adalah mahasiswa yang “akhirat oriented” seperti yang Allah Firmankan:
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS. Al An’am [6] : 32).
Oleh karena itu agar tidak gagal di tingkat ini, kiatnya antara lain: 1.) Luruskan niat bahwa kuliah sebagai media untuk menuntut ilmu yang nantinya dimanfaatkan untuk memberikan manfaat kepada orang lain, menafkah rizki hasil pemanfaatan ilmu yang dimilki kepada tanggungan (bagi laki-laki jikalau sudah beristri dan atau mempunyai anak), dll sebagai bentuk kesadaran menjalankan perintah Allah 2.) Status sebagai mahasiswa tidak menjadikan aktivitas-aktivitas yang lebih diprioritaskan (menuntut ilmu agama /tsaqafah, berdakwah, dsb) kemudian dipinggirkan atau bahkan ditinggalkan.
2.Gagal di Tingkat Proses
Niatan yang benar dan tujuan yang benar saja belum cukup untuk menjadi mahasiswa yang sukses. Diperlukan proses yang benar pula dalam menaiki tangga kesuksesan yang hakiki. Karena tujuan tidak menghalalkan/membolehkan segala cara. Tujuan atau niat yang baik harus diikuti dengan cara yang baik pula. “al gayyah la tubarriru at thariqah”. Misalkan, tidak diperbolehkannya menyontek ketika ujian walau tujuannya baikkarena untuk membahagiakan orang tua.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan di tingkat ini:
1.Sistem pendidikan yang sekuleritik-materialistik.
Sistem ini menghasilkan paradigma dan asas penyelenggaraan pendidikan yang sekuleritik-materialistik. Lihatlah bagaimana output sistem ini sekarang, begitu banyak orang yang berpendidikan tinggi namun tidak berakhlak (korupsi, suap-menyuap, khianat, dll). Lihat pula “para penuntut ilmu” yang berada di dalamnya di setiap jenjang pendidikan, termasuk di kampus. Maraknya ayam kampus sudah menjadi barang lumrah, mencontek, pelecehan seksual atau bahkan pemerkosaan oleh siswa SMP/SMA/mahasiswa menghiasi media massa hampir tiap hari.
Oleh karena itu dilihat dari kuantitas yang tinggi dan penyebaran yang merata, ini bukan masalah padaindividu semata melainkan memang sudah pada tataran sistem. Namun sayang, kita masih belum mampu lepas dari cengkraman sistem pendidikan ini karena belum ada sistem pendidikan Islam saat ini. Bagaimana ingin menjadi sarjana yang berkepribadian islam (sukses hakiki) jikalau sistem tidak mendukung? Mahasiswa yang merasa nyaman dengan kondisi ini, dia dianggap telah gagal. Seharusnya mahasiswa muslim minimal resah dan berusaha melakukan perubahan secara revolusioner sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.
2.Tidak ada sinergi antara sekolah/Perguruan Tinggi, masyarakat, dan keluarga.
Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping masing-masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar. Mahasiswa yang sudah paham kesuksesan hakikinya akan dianggap aneh dan asing oleh masyarakat secara umum, termasuk keluarga. Oleh karena itu dalam kasus ini keimanan seorang mahasiswa muslim benar-benar diuji. Yang tergoda dan goyah akan lebih memilih “main stream” karena dirasa lebih aman dan nyaman. Inilah kegagalan.
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al ‘Ankabut [29] : 2).
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. At Taubah [9] : 16).
3.Lingkungan yang tidak kondusif
Memilih lingkungan yang kondusif adalah hal yang tidak bisa dianggap sepele. Seorang yang baik akan dapat terpengaruh menjadi buruk ketika lingkungan di sekitarnya buruk. Firman Allah yang artinya, “Dan (ingatlah) hari (ketika) orang yang zalim itu menggigit dua tangannya, seraya berkata, "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan (yang lurus) bersama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan jadi teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari al-Qur'an, ketika al-Qur'an telah datang kepadaku. Dan syaitan itu tidak akan menolong manusia”. (QS. Al-Furqaan [25] : 27-29)
Rasulullah pun sudah memperingatkan:
Dari Abu Musa al Asy'ari Radhiallaahu anhu dia berkata, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah bersabda, "Sesungguhnya perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dengan tukang pandai besi. Seorang penjual minyak wangi akan memberi kamu minyak, atau kamu membelinya atau kamu akan mendapati bau yang harum darinya. Sedangkan pandai besi, maka bisa jadi akan membakar bajumu dan bisa pula engkau akan mendapati darinya bau yang busuk." (Muttafaq 'alaih)
3.Gagal di Tingkat Hasil
Lulus kuliah dengan sukses sebagai sarjana muslim yang berkepribadian islam yang menguasai ilmu pengetahuan di objek studinya juga masih belum cukup. Kepribadian islam yang dimiliki harus terus melekat dalam diri seorang muslim dengan dimanapun dan kapanpun. Tsaqafah yang didapat selama di kampus (majelis-majelis ilmu) harus senantiasa ditingkatkan, karena kewajiban menuntut ilmu sampai akhir hayat. Aktivitas dakwah pun tidak bisa ditinggalkan, karena ini pun kewajiban, bahkan harus bisa melebarkan sayap-sayap dakwah untuk tegaknya kalimat Allah.
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’” (QS. Fushshilat [41]: 33)
Menikah dan mempunyai anak yang berarti menambah tanggungan pun tidak menjadi alasan. Bukankah Rasulullah dan para Shahabat juga demikian? Padahal mereka sudah jelas mengalami benturan pemikiran dan perasaan yang tidak bisa dikatakan kecil. Kita?
“Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab yang membicarakan kebenaran, dan mereka tidak dianiaya.” (QS. Al Mu’minun [23] : 62)
Khatimah
Kegagalan merupakan sebuah langkah awal menuju keberhasilan dan kesuksesan. Gagal sekarang bukan berarti gagal di masa depan. Masih ada harapan untuk berubah. Sistem Pendidikan Sekuleristik-materialistik di negeri ini hanya akan menghasilkan output mahasiswa-mahasiswa yang sekuler kecuali mereka yang berpegang pada teguh pada Al Quran dan Al Hadits dan berusaha menerapkannya.Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma Islam. Sementara pada tataran derivatnyadiselesaikan dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam.
Mari kita renungkan Firman Allah SWT:Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan,” (QS. An Naba [78] : 31). “Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al Anfal [8] : 73).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H