Mohon tunggu...
Galing Cendekia
Galing Cendekia Mohon Tunggu... -

Urun rembug

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gagal Lagi Bikin Karya Fiksi!

26 Agustus 2013   07:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:49 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kerap kali aku begitu gusar dibuatnya, saat bersama melalui hari. Ingin rasa aku utarakan bahwa akulah pria terbaik yang pernah dilahirkan oleh dunia dan kelak bersamamu menunggui ajal. Dengan ringan kau selalu utarakan jejeran para sastrawan pemikat keterpesonaanmu dan nama-nama itu begitu asing di telingku. Seperti biasa terucap ringan dari mulutmu kalimat, “Ah dia keren puisinya, cerpennya atau novelnya!,” muka ini kusut mendengarnya.

Kalimat itu menohok jantungku, pikiran tegang dan suhu badan terasa panas. Kesal yang tertahan, menyumbat pernafasan hingga ritme nafas mulai tak teratur. Lalu kutarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan dengan panjang. Ingin sekali aku menghardik ceritanya lalu kunyatakan, “Orang yang keren itu aku! Aku yang patut kamu sanjung, sial. Jutaan kata yang kubuat hanya untuk kesenanganmu, tapi hasilnya? Kamu selalu mengutarakan hal yang sebaliknya. Ga asik!” tapi ungkapan itu hanya bergelora di dalam dada tak mampu terucap saat bersamamu.

Padahal aku telah memacu otakku dan menghafal ribuan kata indah hanya untuk mencari keterpikatanmu. Mengartikan kata, membuatnya begitu indah, lalu mengutarakan teori-teori usang yang telah lama aku padamkan. Nyatanya keterpesonaanmu tak secuilpun hadir dan memperhatikan diriku. Selalu saja, Ah ga asik, ga menarik, kayaknya ada yang kurang deh! Selalu itu yang terucap. Damn!!

Batinku terus bergolak mencercanya namun dia tak merasakan isi hati ini. Aku hanya mengosok-gosok rambutku dengan cepat, mengurut-urut jidat agar menemukan ide gemilang yang mengemparkan dan mendapatkan pujian serta sanjungan tulus darimu.

Tapi semuanya terasa sia-sia!

Walau kadang, dengan wajah datar dan bermalas-malasan saat aku sodori sebuah karya yang semingguan aku kerjakan dan dengan antusias aku memperlihatkan kepadanya. Lalu dia bilang, “Wah keren!” Tapi aku yakin itu hanya pujian kosong, hanya untuk menina bobokan atau tak ingin mematahkan semangatku. Ah hal yang paling menyakitkan.

Baiklah aku akan buktikan! Rutukku.

*

Diruang kamarku, buku berceceran. Puluhan buku aku lahap. Mata lebam akibat seharian membaca buku-buku fiksi karya tokoh-tokoh besar. Anton Chekov, Pramodya A.T, Dan Brown, Paulo Coelho, Albert Camus, Sartre, Dewi lestari, Djenar Mahesa Ayu, Seno Gumira, hingga nama-nama entah yang sama sekali aku tak kenal. Itupun semalaman aku browsing di internet. Begitu melelahkan!

Sudah aku rencanakan siang ini selepas aku terbangun, aku akan membuat sebuah mahakarya yang akan membuat perempuan yang kupuja dalam hati ini akan mengatakan, ah karyamu begitu mempesona! Aku bakal terbang dibuatnya. Aku tersenyum membayangkan kata-kata itu tulus terjulur dari mulutnya. Indah sekali nampaknya! Oh…Khayalku.

Malam nanti adalah tepat hari dimana dia dilahirkan. Mungkin karya yang bakal aku bikin ini merupakan kado terindah baginya. Ah aku sudah merasakan pelukan hangat dan ciuman mesra menyambangiku. Oh itu keindahan yang tak terkira sepanjang hidupku!

Siang ini, aku terus membangunkan kata-kata dan berusaha menghidupkannya, setelah begitu banyak referensi yang mengendap di kepala ini dan siap dimuntahkan. Masih segar teori-teori itu berikut kata indah yang telah aku kumpulkan dari pujangga kawakan dan pastinya mengikuti kaidah EYD! Aha…mari menulis, ajakku dalam hati.

Aku akan membuat puisi indah. Ah tidak-tidak takut tergelincir jadi lebay

Cerpen yang mengisahkan kesetiaan, keindahan dan romantika cinta? Yes aku harus bisa!

Aku nyengir mengikuti dialog-dialog hati ini. Baiklah kita buat! Jemari ini lincah menari diatas keyboard laptopku.

“Pada sebuah pohon di dekat sebuah telaga, aku terlahir. Tumbuh dan membesar bagai tanaman yang terus dialiri air. Aku duduk dekat sebuah telaga, ditemani sinar matahari yang menyengat. Telaga ini berbeda dengan telaga lainnya, rasanya asin seperti air laut. Semua penduduk menamainya Telaga Air mata.

Telaga yang lahir dari cucuran air mata para penduduk kampung. Hampir setiap hari, orang kampung mendatangi telaga ini. Dia memuntahkan isi hatinya, berteriak dan mengumpat nasib buruk yang menimpa dirinya. Kelakuan itu telah dilakukan turun temurun.

Penduduk kampung di desa air mata tahu. Kalau hidup tak lebih dari kepedihan dan kepenatan. Kegembiraan hanyalah bius, seperti orang mengkonsumsi alkohol. Semua orang di desa ini meyakini, hidup adalah kesengsaraan. Hidup merupakan pengasingan manusia. Hidup adalah sebuah hukuman!”

Mengapa tulisannya jadi begini? Aku menghentikan kegiatan menulisku. Aku perhatikan kembali.

Ah kenapa jadi soal air mata? Bukannya malamnantihari bahagia?

Jangan-jangan!! Bodoh! Bodoh! Aku tepuk jidat beberapa kali

Mengapa bisa seperti ini? Pikirku. Kembali aku menulis.

Saat malam itu menjelang, rembulan bulat utuh bersinar meneduhkan. Kau tahu tentang keindahan itu, sayang? Keindahan dua insan yang bercumbu dalam sinar rembulan. Berkelakar tentang fiksi murahan yang tercipta dari tangan-tangan nakal untuk mengapai surge kebersamaan. Aku ingin mereguk pelukan bidadari disaat pagi dan bercengkrama penuh sayang ditemani bulan purnama. Hanya aku, kau dan rembulan yang melukis dikanvas ranjang yang berkelambu kemesraan.

Mengapa puisi? Ah biarlah, aku yakin puisi ini akan membuat hatinya bergetar dan saat membacanya, dia akan terbawa ke awang-awang. Berdua merasakan keindahan dari arti cinta. Ah aku yakin sejuta pujian tulus akan dia persembahkan untukku. Lalu kami berpelukan, berkelakar dan bercumbu. Satu tahap yang bakal membuat keterpesonaannya beralih hanya untukku. Ya, karena akulah yang layak untuknya, pengorbananku, cintaku dan karyaku.

Kembali aku merebahkan diri setelah membayangkan semua itu dan menunggu waktu yang tepat menjelang malam. Senyum simpul hadir kembali dan aku pun terlelap.

*

Tepat malam itu, aku mengundangmu untuk kerumah. Seperti hari-hari sebelumnya, aku mengatakan telah berjajar buku-buku fiksi yang akan membuatmu terdiam. Nama-nama sastrawan besar dipelosok dunia telah bertengger di rak bukuku.

Seperti hari-hari sebelumya, diapun selalu antusias untuk menyambangi rumahku. Dia hanya terkagum-kagum koleksi bukuku semakin membludak. Bahkan, rak buku tak mampu menampung jajaran buku yang telah aku beli seminggu lalu. Bola matanya lincah mengawasi jajaran buku itu.

“Wow…keren banget, makin banyak koleksinya”

Aku hanya bisa nyengir dan tak mampu berkata-kata.

“Aku punya karya yang paling indah dan bakal kamu suka”

“Mana?” dia mengulurkan tangannya.

Tepat jam 12 malam, aku mengambil kertas puisi itu yang sempat baru kusematkan judul, saat dia memperhatikan koleksi buku itu. Karena baru sadar, kalau aku lupa memberikan judul saat menuliskannya siang tadi. Violetta judulnya, nama anggun yang selalu menakjubkan di hati.

Violetta

Saat malam itu menjelang, rembulan bulat utuh bersinar meneduhkan. Kau tahu tentang keindahan itu, sayang? Keindahan dua insan yang bercumbu dalam sinar rembulan. Berkelakar tentang fiksi murahan yang tercipta dari tangan-tangan nakal untuk mengapai surge kebersamaan. Aku ingin mereguk pelukan bidadari disaat pagi dan bercengkrama penuh sayang ditemani bulan purnama. Hanya aku, kau dan rembulan yang melukis dikanvas ranjang yang berkelambu kemesraan.

Selamat ulang tahun bidadariku!

Dia pun membacanya, wajahnya mengernyit. Beberapa detik kemudian, “Ah gombal! Paling jago kalau urusan begini.”

“Baguskan?” tegasku, berharap khayalan siang tadi bakal terwujudkan.

“Apaan, lebay kayak gini. Pake acara ranjang kemesraan, dasar cabul”

Hah…..badanku pun lemas, khayalanku hancur.

“Tapi terima kasih ya, masih ingat hari ini ulang tahunku.”

Aku mengangkat sedikit bibirku, wajahku kusut! Gagal lagi bikin karya fiksi yang membuatnya terkagum!

Nasip…eh pake b ya…ulangi lagi… nasib…ah jadi kacau pikirannya.

*note tulisan ini hanya fiksi belaka. Nama dan kejadian hanya sebuah kebetulan

GDC

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun