Mohon tunggu...
kusnun daroini
kusnun daroini Mohon Tunggu... Petani - Pemerhati sosial politik dan kebudayaan dan sosial wolker

Pemerhati / penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Sang Maestro, Lahir dari Intuisi (rahim Kompasiana), Bukan Akademisi

21 November 2017   22:45 Diperbarui: 22 November 2017   19:08 1068
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bersenyawa dengan "air jernih" yang mengalir.

Benar kata orang bijak bahwa hidup itu adalah misteri yang cukup rumit untuk diungkap. Manusia hanya bisa mengintip dengan celah yang sangat sempit dan dengan teropongan mata buram. Dengan sebuah kesimpulan bahwa setiap orang tidak akan mampu mengerti apa yang terjadi pada besuk hari.

Pikiran diatas biasanya akan muncul secara tiba-tiba, disaat kondisi lagi tidak stabil dan galau. Atau bahkan sebaliknya, Ia akan menyembul keluar disaat kita lagi termenung duduk diatas gunung untuk meneropong jauh kedepan. Ada pertanyaan-pertanyaan klise yang terkadang juga sulit untuk menjawabnya. Misal, mau kemana sich sebenarnya hidup ini mau kita jalankan, mengapa hidup tidak seideal yang kucita-citakan, untuk apa hidup ini dijalani,  Mengapa kita harus berfikir tiada henti. Dan mengapa juga setiap masalah yang kita pikirkan tidak serta merta menemukan solusi yang begitu indah seperti layaknya sebuah tayangan sinetron yang bersambung.

Namun dari deretan pertanyaan tersebut, ada satu pertanyaan yang bagi saya nampak sedikit terang dan terkuak misterinya. Yaitu, mengapa saya tertarik dan terpikat dengan kompasiana. Jawaban dari pertanyaan ini bisa saya ibaratkan mengapa  saya harus suka dengan "air jernih yang mengalir". Ya, saya kira tepat sekali. Metafora  air jernih yang mengalir. Satu  pilihan dari sekian banyak air mengalir yang mayoritas ditengarai terkontaminasi oleh beragam unsur yang sarat dengan racun dan limbah. Sehingga dapat dipastikan tidak layak konsumsi karena tidak ramah lingkungan dan kesehatan. 

Menurut hemat saya, Kompasiana sudah "ada, berada dan mengada" pada saat dan momentum yang tepat sekaligus akurat. Istilah  momentum juga relevan ketika saya kaitkan dengan perasaan  gerah dan gusar  belakangan ini  menyikapi menjamurnya Media Massa, baik itu media cetak ,on line ataupun media elektronik yang lain. 

Karena jika dicermati dengan sikap mendalam dan jauh kedepan, mayoritas konten berita dan efek wacana yang tertular ke publik sudah tidak mengindahkah isi berita yang "berimbang". Apalagi berorientasi "cerdas-mendidik" bertumpu untuk semua kalangan tanpa muatan tendensius. Sekali lagi, untuk era pasca reformasi ini sangat sulit kita cari. Kalaupun ada hanyalah dalam hitungan jari. Secara otomatis Kompasiana sudah masuk dalam kategori yang saya sebut terakhir. Sebagai ruang komunikasi yang "alternatif" sekaligus berupaya "mencerahkan" suasana yang lagi pengap dan gelap gulita oleh kepungan arus media utama yang sarat muatan pragmatis dan politis..

Menurut pengalaman saya sendiri, Kompasiana tetap menjadi "oase" yang menggembirakan dan melegakan.  Ketika saya menjatuhkan pilihan berselancar di kompasiana, memori saya selalu tertuju pada berita harian cetak Kompas. Saya sendiri juga tidak mengerti mengapa arus pemikiran terus mengajak Flashback ke era "tempoe doeloe" disaat masa yang penuh dengen gegap gempita. Jujur saja ketika mulai masuk dipelataran bangku kuliah sejak tahun 1997 sudah tidak bisa lepas dari Media koran harian "Kompas". Bicara media Cetak pada waktu itu ya koran Kompas. Rasa haus akan berita, lunas seketika membaca koran kompas. Bahkan seingat saya, berlangganan harian kompas sudah berlangsung bertahun-tahun sebelum maraknya sistem informasi digital. Belakangan ini saja, penulis tidak tertib lagi secara of line. Namun segera saya lunasi   di media harian on linenya.

Masih terasa segar dalam ingatan, bagaimana "sepinya" wacana alternatif pada waktu itu jika tidak berlangganan Kompas. Makhlum di era 90 an adalah tahun-tahun politik. Perkembangan politik dalam hitungan detik. Media cetak laris bak kacang goreng. Saya rasakan bagaimana kehadiran kompas betul-betul menjadi "kompas" kemana Republik ini mau melangkah. Bahkan setiap diskusi yang saya gelar rutinan bersama teman-teman kala itu terasa belum final jika belum membacanya. Tidak jarang ujung dari diskusi issu-issu aktual kemudian melahirkan sikap untuk "turun jalan" alias demonstrasi.

Indah betul, bagaimana aksi-refleksi menyatu dalam wacana yang hidup dan menggairahkan. Dan jujur saya akui "kompas" turut berjasa dalam melecut keberanian bersikap untuk "melawan" Rezim kekuasaan pada waktu itu. Keberanian dan kecerdasan membuat manifesto, juga terlahir dari tajamnya piranti analisis berita yang digunakan waktu itu.

Benang Merah itu sekarang adalah " Kompasiana".

berita-admin-1-59eec9b196bb087f321f4954-5a144804ca269b6e8904b282.jpg
berita-admin-1-59eec9b196bb087f321f4954-5a144804ca269b6e8904b282.jpg
Era kebangkitan tersebut sekarang mulai menggeliat kembali berkat kompasiana. 9thKompasiana adalah momentum bagi saya untuk beranjak kembali  menyikapi situasi dengan kritis dan dewasa. Walaupun dengan suasana dan zaman yang berbeda. Namun bagi saya keberadaan Kompasiana sudah mampu saya jadikan sahabat setia untuk kembali bersenyawa menyapa dunia.  Wacana dan pengetahuan memang bisa didapat sekaligus  dalam satu genggaman jika kemauan dan keberanian untuk berbenah tidak terasa lelah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun