"Pancasila adalah pendidikan hidup bangsa yang menuntun setiap warganya untuk menciptakan kedamaian dan keadilan" -- Ki Hadjar Dewantara
 Pendidikan Pancasila harus diintegrasikan secara menyeluruh dalam kurikulum pendidikan nasional untuk menanamkan nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila kepada generasi penerus (Arifin, 2017). Dengan demikian, Pendidikan Pancasila tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan intelektual saja, tetapi juga membentuk karakter bangsa yang berbudi luhur, bijaksana, dan bertanggung jawab dalam menjalani kehidupan sehari hari (Setiawan, 2019). Hal ini penting mengingat tantangan zaman yang semakin kompleks dan global, yang sering kali mempengaruhi perilaku dan karakter bangsa (Syamsuddin, 2019).
 Pada intinya, Pancasila sangat penting untuk membentuk karakter bangsa dalam menghadapi tantangan zaman yang sering mempengaruhi perilaku dan karakter sehari-hari. Perjalanan Pendidikan Pancasila penuh dengan transformasi, tantangan, dan ancaman yang silih berganti. Dari keseluruhan tantangan dan ancaman, kita justru mendapatkan fakta bahwa Pancasila memang sangat sesuai dengan Bangsa Indonesia, terbukti dari tetap kokohnya Pancasila dalam Menghadapi badai tantangan dan ancaman yang menerpa silih berganti.
 Peran penting Pancasila dalam menjaga Kebhinekaan tidak hanya melalui naskah butir-butir Pancasila, pedoman penghayatan, dan banyak naskah akademik lainnya. Pancasila juga memberikan bekal fundamental yang sangat penting dalam berbangsa dan bernegara kepada generasi penerusnya melalui Pendidikan Pancasila, sebab tanpa adanya Pendidikan Pancasila, berbagai naskah akademik yang ada tidak akan berarti. Sederhananya, naskah akademik dibuat untuk memberikan tuntunan kepada siapapun, termasuk para generasi penerus tentang Pancasila. Jika hanya tertulis sebagai naskah tetapi tidak di ajarkan, maka naskah tersebut tidak akan berarti. Karya ini akan mengulas tentang jalan panjang Pendidikan Pancasila, mulai dari masa awal hingga sekarang beserta tantangan dan ancaman yang dihadapi.
Pada masa awal kemerdekaan, pengajaran Pancasila dilakukan melalui indoktrinasi. Pemerintah kala itu berusaha keras untuk menanamkan nilai nilai Pancasila dan Manipol/USDEK melalui sistem pendidikan (Umasih, 2017). Dalam pelaksanaanya, pendidikan sejarah memiliki peran utama dalam indoktrinasi. Pola ini terus berkembang dalam beberapa tahun dan selalu ditingkatkan dengan tambahan pengetahuan tentang kewarganegaraan. Gagasan tentang Pancasila dan Kewarganegaraan sebagai hal yang tidak dapat dipisahkan (terus berlaku hingga sekarang). Setelah melewati beberapa perubahan Undang Undang Dasar seperti UUD 1945, UUD RIS, UUDS 1950, hingga kembali ke UUD 1945, Pancasila selalu ada dan tidak pernah dilupakan. Pada 1957, Pancasila dimuat dalam pendidikan melalui pelajaran Kewarganegaraan atau Civics. Saat itu, muatan Pancasila tetap ditonjolkan berbarengan dengan doktrin Manipol/USDEK untuk melawan liberalisme dan individualisme. Persatuan dan kerakyatan menjadi kunci dalam menolak pengaruh buruk budaya asing yang masuk ke Indonesia. Indoktrinasi yang dilakukan oleh pemerintah pada masa itu menghasilkan masyarakat cenderung mengikuti ideologi yang dianut pemerintah orde lama, yaitu sosialisme. Dampaknya, kritisme dan oposisi terhadap pemerintah sangat sedikit karena rakyat diharapkan setia dan taat pada penguasa.
 Pada masa Orde lama, Pancasila memang berhasil ditanamkan kepada rakyat Indonesia. Melalui pengajaran Kewarganegaraan atau Civics yang berhasil membuat semakin banyak masyarakat Indonesia yang akhirnya memahami Pancasila. Pada masa ini juga pertama kali Pancasila terbukti menjadi penjaga Kebhinekaan. Kita dapat membayangkan bagaimana sulitnya untuk menyatukan banyak wilayah yang terbatasi oleh laut, berbeda ras, suku, agama, dan budaya dalam satu wadah yang bernama Indonesia. Dan melalui pengajaran Civics yang didalamnya terkandung Pancasila dengan 5 butir silanya yang akhirnya dapat menyatukan semua, bahkan dapat mengalahkan ideologi asing yang mencoba masuk ke Indonesia. Namun, Civics dan Pancasila pada masa Orde lama juga digunakan untuk mendukung apapun kebijakan pemerintah Indonesia dan membuat rakyat cenderung condong ke arah sosialisme, yaitu ideologi yang dianut pemerintah Orde Lama. Akibatnya, sangat sedikit oposisi dan kritik pada pemerintah yang berujung pada sentralisasi kekuasaan kepada eksekutif. Sebenarnya jika kita cermati, hal ini juga merupakan bemtuk penyimpangan sila keempat Pancasila. Sentralisasi kekuasaan yang dimaksud adalah Demokrasi Terpimpin.
 Pada masa ini pula terdapat dampak buruk yang lain, yaitu pendidikan yang berkaitan dengan Pancasila terlalu dominan hingga mengurangi materi materi ilmu pengetahuan yang lainnya. Metode pembelajarannya juga bukan murni nilai Pancasila, tetapi sering kali diberikan doktrin dan otoriter sesuai tujuan pemerintah. Contoh paling nyata adalah Pancasila dalam UUD 1945 jelas menyatakan perdamaian abadi, tetapi dalam pelaksanaan doktrin masa itu ada kata "ayo ganyang Malaysia". Ini menunjukkan bahwa adanya kepentingan politik internasional pada masa itu. Terlepas dari baik dan buruk tujuannya, tetap saja doktrin tersebut tidak sepenuhnya menunjukkan kemurnian Pancasila.
 Beralih pada Orde Baru, Pancasila dan Undang Undang Dasar sempat dijalankan murni sebelum ujungnya terdapat banyak penyelewengan. Jika kita fokuskan pembahasan pada Pancasila, pada masa Orde Baru terdapat mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) yang fokus mengajarkan ideologi dan pengamalan nilai nilai pancasila. Sementara kewarganegaraan diganti nama menjadi Pendidikan Kewarganegaraan dan fokus mengajarkan tentang struktur negara, hak dan kewajiban, sistem pemerintahan, bahkan hingga konstitusi. Jadi pada masa ini, pemerintah memisahkan Kewarganegaraan dengan Pancasila. PMP juga mencakup banyak aspek kehidupan. Penekanan utama ada pada pengamalan nilai Pancasila dalam kehidupan sehari hari. Poin lainnya ada pada pembentukan karakter dan moral, pancasila dalam kehidupan sosial dan politik, pendidikan tentang nasionalisme dan patriotisme, dan etika sosial. Semua poin tersebut membuat warga negara, khususnya para generasi yang mendapatkan akses pendidikan jauh lebih cerdas dibandingkan pada orde lama. Hal ini juga sejalan dengan perkembangan Indonesia bila ditinjau dari waktu. Semakin cerdas rakyat, maka akan semakin berkembang sebuah negara. Tidak heran apabila Indonesia melesat pada masa Orde Baru.Â
 Pada masa ini juga didukung dengan adanya P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang mengajarkan seluruh warga negara (bukan hanya siswa dan mahasiswa) menghayati dan mengamalkan nilai nilai Pancasila. Pemerintah Orde Baru ingin memastikan Pancasila dipahami oleh seluruh lapisan rakyat dan seluruh sektor kehidupan sosial. Bahkan pemerintah membuat lima pedoman P4 yang berisi pedoman setiap sila. Dengan demikian, Orde Baru berhasil menanamkan sepenuhnya nilai Pancasila pada rakyat Indonesia. PMP dan P4 juga sangat fenomenal, mungkin jika ditanyakan kepada kakek dan nenek kita, mereka pasti masih mengingat hal ini. Ini adalah wujud sangat suksesnya pemerintah masa itu menanamkan Pancasila.
 Namun penyakit yang ada pada Orde Lama, yaitu memanfaatkan Pancasila sebagai alat penguasa belum berakhir. Jika pada masa Orde Lama digunakan untuk berkuasa sepenuhnya, pada Orde Baru digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam program program tersebut, ditanamkan pula kesetiaan terhadap Pemerintah. Seharusnya, yang di utamakan adalah kesetiaan terhadap Negara. Akibatnya, terjadilah sentralisasi kekuasaan besar besaran. Pancasila dan UUD 1945 dijadikan senjata untuk melanggengkan kekuasaan. Hal inilah yang perlahan menjadi pembungkaman, pelarangan kritik, hingga penghilangan para aktivis. Selain itu praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) juga sangat marak terjadi. Sebenarnya hal ini sudah jelas bertentangan dengan nilai Pancasila. Namun kondisi pada saat itu masih otoriter dan adanya penyalahgunaan doktrin setia pada pemerintah, maka terjadilah pembiaran. Hal yang sangat logis mendasari pembiaran adalah keberpihakannya aparat dengan penguasa. Sehingga melemahkan aspek keadilan. Kondisi ini berpuncak pada kerusuhan 1998.
 Pada masa refomasi, pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk kesekian kalinya diupayakan agar dapat maksimal dan tanpa ada penyelewengan. Langkah pertama adalah penghapusan P4 yang dianggap indoktrinasi dan membawa ingatan buruk tentang Orde Baru. Selain itu, minat dan kepedulian masyarakat terhadap P4 juga sangat menurun dengan kata lain P4 ditinggalkan oleh masyarakat.