Mohon tunggu...
Galih Harfinaldi
Galih Harfinaldi Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Sepak Bola

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kunjungan ke Kampung Cirendeu

10 Oktober 2023   19:59 Diperbarui: 10 Oktober 2023   20:22 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kunjungan anak pmm 3 upi kali ini yaitu menuju ke kampung adat cirendeu, kampung ini terletak di Desa Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Untuk kunjungan kali ini ada beberapa narasumber yang berasal dari kampung tersebut yang bernama kang triona santika dan kang jaja, kemudian ada lagi narasumber lain yang mengajarkan beberapa kesenian, dan cara pengolalahan makanan khas kampung tersebut. kang tri menjelaskan asal usul kampung cirendeu berasal dari kata ci yang artinya air dan rendeu yang artinya pohon rendeu, karna sebelumnya di daerah kampung tersebut banyak ditemukan tumbuhan rendeu dan kemudian kampung tersebut dinamakan kampung cirendeu. Penduduk kampung adat cirendeu menganut kepercayaan sunda wiwitan yang telah diturunkan oleh leluhur mereka.

Masyarakat adat Cireundeu sangat menjaga kepercayaan, budaya, dan tradisi mereka dengan tekun. Mereka menerapkan prinsip "Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman." "Ngindung Ka Waktu" berarti bahwa sebagai penduduk kampung adat, mereka memiliki cara hidup, ciri khas, dan keyakinan yang unik yang mereka pertahankan. Sedangkan "Mibapa Ka Jaman" mengandung makna bahwa meskipun mereka tetap memegang teguh tradisi mereka, mereka juga menerima perubahan zaman dengan terbuka, termasuk penggunaan teknologi, televisi, ponsel, dan penerangan sebagai bagian dari kehidupan mereka.
Kemudian kang tri juga menjelaskan bahwa wilayah kampung cirendeu dibagi menjadi 3 bagian yaitu leuweung larangan yang artinya hutan larangan, leuweung tutupan yaitu hutan reboisasi dan leuweung baladahan yang artinya hutan pertanian.

Kampung adat cirendeu terkenal dengan makanan khas singkong nya, bahkan masyarakat kampung adat cirendeu sudah mengganti nasi beras menjadi singkong sejak tahun 1924. masyarakat tersebut menamai makanan pokoknya dengan sebutan "rasi". awal masyarakat memakan singkong menjadi mengganti beras yaitu pada tahun 1918 yang dimana pada saat itu sawah sawah mereka kekeringan dan kemudian ada leluhur yang menyarankan untuk menanam singkong sebagai pengganti padi, karena singlong lebih mudah ditanam pada musim kering ataupun musim hujan.

Masyarakat adat Cireundeu mempertahankan konsistensi dalam mengonsumsi rasi sebagai makanan pokok mereka, dan mereka tidak pernah mengonsumsi beras. Ini bukan karena mereka mengharamkan beras dari padi, melainkan karena mereka ingin menjaga dan mengikuti pesan yang diberikan oleh leluhur mereka. Mereka percaya bahwa rasa kenyang yang dihasilkan dari konsumsi ketela lebih tahan lama dibandingkan dengan beras.
Setelah mendapatkan pengetahuan mengenai kampung adat cirendeu yang diberikan oleh kang tri dan kang jaja, kami diajak untuk mengunjungi bukit salam, sebelum kami mendaki bukit salam kami di beri beberapa larangan untuk mendaki bukit tersebut, yaitu kami dilarang untuk memakai alas kaki dan dilarang memakai baju berwarna merah, alasannya yaitu masyarakat kampung adat cirendeu menganggap hutan sebagai ibu mereka, artinya mereka sangat ketergantungan dengan hutan, jadi hutan itu adalah tempat yang suci, jadi kami dilarang untuk memakai alas kaki saat mendaki, kemudian kami dilarang untuk memakai baju berwarna merah, alasannya yaitu karna warna merah melambangkan makna kemarahan atau murka, jadi sangat tidak pantas untuk digunakan di tempat yang suci. Pesan dari perjalanan ini adalah bahwa dalam hidup, kita akan menghadapi berbagai rintangan dan tantangan, seperti fase naik turun dan kerikil-kerikil kehidupan, serta struktur tanah yang lumayan keras. Dalam perjalanan ini, kita dapat mengevaluasi sikap kita terhadap perjalanan hidup, apakah kita akan tetap sabar atau justru mengeluh dan berhenti di tengah jalan.
sesampainya di puncak bukit salam, kami dan pendamping yang berasal dari kampung adat cirendeu melakukan ritual atau berdoa diiringi alat musik kerindi. Kemudian setelah itu kami menikmati pemandangan kota Bandung dari puncak bukit salam.

Ketika kami kembali ke kampung, kami diarahkan untuk makan bersama, dan hidangan yang disajikan adalah nasi singkong. Awalnya, kami mengira bahwa rasanya akan mirip dengan nasi beras biasa, tetapi ternyata nasi singkong ini memiliki rasa yang berbeda dan lumayan hambar sehingga mengandung glukosa yang sedikit dibandingkan nasi biasa, terutama dengan berbagai macam lauk yang disajikan. Setelah makan, kami diajak untuk bermain angklung buncis, cara pembuatan nasi singkong dan membuat kreasi tangan dari janur kelapa. Keseluruhan pengalaman dalam modul Nusantara ini sangat berkesan bagi kami, meskipun agak melelahkan, semua itu terbayar dengan ilmu dan pengalaman yang kami dapatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun