Mohon tunggu...
Galih Falzah
Galih Falzah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Jember

Mahasiswa Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kapitalisme Eksploitatif Buruh Garmen Pada Industri Fast-Fashion

13 Maret 2023   17:57 Diperbarui: 13 Maret 2023   18:01 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: apparelresources.com

Kegiatan berbelanja pakaian biasanya hanya dilakukan orang sesekali. Namun seiring berjalannya waktu, pakaian menjadi terjangkau dan mudah diakses. Dengan pergeseran tren yang semakin cepat, yang kini dengan mudah diintensifkan melalui media cetak dan elektronik, dunia fashion juga berubah dengan sangat cepat. Dengan hanya mengunjungi toko pakaian di mal terdekat, seseorang dapat membeli pakaian yang identik dengan yang dikenakan oleh model influencer pilihan mereka dengan harga yang wajar. Fenomena ini merupakan definisi dari fast-fashion (mode cepat). 

Produksi berkecepatan tinggi dan konsumsi volume tinggi yang cepat adalah ciri khas fast-fashion, yang telah dianut oleh industri pakaian. Tujuan fast fashion, seperti yang dinyatakan sebelumnya, adalah menggabungkan tren fesyen terbaru menjadi barang murah untuk meningkatkan frekuensi pembelian pelanggan. Gagasan fast fashion, sebuah konsep produksi mode yang bergerak cepat untuk memenuhi pergeseran permintaan pasar, telah mengubah strategi produksi global perusahaan multinasional. Istilah jaringan produksi global digunakan untuk mendefinisikan sistem di mana beberapa bisnis di berbagai negara terlibat dalam produksi, adalah dasar dari mode produksi ini.

Mayoritas pelaku bisnis fast fashion adalah korporasi global yang berakar di negara maju, khususnya negara Barat dengan merek-merek ternama. Dengan penurunan 26% dalam harga pakaian khas di pasar Eropa selama abad ke-21, pergeseran dalam industri fesyen ini benar-benar terjadi. Tentu saja, sistem ini tidak terlihat bermasalah dalam pandangan pelanggan; kenyataannya malah sangat menguntungkan. 

Namun pada kenyataannya, ada tahap produksi yang sangat mengenaskan di balik proses pemasaran dan pembelian. Metode fast fashion dalam bisnis fashion bertentangan dengan undang-undang ketenagakerjaan. Banyak brand paling terkenal di dunia, mulai dari Uniqlo dan H&M hingga GAP dan Zara, dituduh mengambil untung dari kerja paksa. Brand ternama ini cenderung memproduksi pakaiannya di negara berkembang dimana mayoritas pekerja rata-rata berasal dari dunia ketiga seperti Sri Lanka, Bangladesh, Mozambik, dan lain-lain. 

Perusahaan negara dunia ketiga memiliki biaya produksi yang jauh lebih murah karena standar hidup mereka yang lebih rendah dan aturan yang lebih longgar daripada negara-negara maju. (Bhardwaj & Fairhurst, 2010). Namun demikian,  rendahnya biaya produksi menyebabkan adanya eksploitasi. Apara pekerja dijadikan buruh yang mendapatkan upah sedikit dan mereka digaji tidak sebanding dengan jam kerja mereka yang panjang, belum lagi tekanan yang mereka dapat karena tuntutan untuk memproduksi dalam skala besar dan juga sebagian besar lingkungan kerja yang tidak layak dan memiliki resiko berbahaya.

Pandangan tentang hak kepemilikan individu dan gagasan tentang perbudakan atau kerja paksa saling berkaitan. Menurut Organisasi Perburuhan Internasional atau International Labour Organization (ILO), perbudakan adalah setiap penyediaan tenaga kerja atau layanan yang diminta, diperintahkan, atau disediakan oleh seseorang di bawah ancaman kekerasan atau dengan cara yang melanggar hak asasi mereka. Karena pihak yang diminta hal ini tidak memiliki wewenang untuk menolak, tugas tersebut pada akhirnya harus diselesaikan melalui paksaan. 

Perbudakan biasanya dilakukan dengan menggunakan perantara yang tergabung dalam satu kelompok untuk merampas hak asasi manusia yang ada untuk memajukan tujuan kelompok tersebut. Perbudakan masih merajalela dan sangat memprihatinkan di era globalisasi ini, meskipun sudah ada kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan pemahaman hak asasi manusia yang semakin tersebar luas. Bentuk perbudakan pada jaman ini disebut perbudakan modern atau modern slavery. 

Perbudakan pada abad ke-18 dan 19 tidak jauh berbeda dengan perbudakan saat ini, dimana mereka yang berkuasa dengan seenaknya memperlakukan orang seperti properti, mencabut kebebasan mereka, dan menyalahgunakan tenaga kerja mereka untuk keuntungan orang atau kelompok tertentu.

Dibandingkan dengan perbudakan di masa lalu, perbudakan modern lebih kompleks karena dibutuhkan kerja sama seluruh aktor global dan komunikasi dengan berbagai aktor untuk memerangi perbudakan kontemporer. Perusahaan pakaian global berkembang pesat di era globalisasi ini karena mereka mendapat untung besar dari praktik perbudakan modern.

Situasi ini adalah contoh bagaimana teori Marxisme dalam kapitalisme eksploitatif dipraktikkan. Membandingkan Marxisme dengan realisme dan liberalisme dalam kaitannya dengan hubungan internasional mengungkapkan bahwa mereka memiliki pandangan yang berbeda secara fundamental. Jika liberalisme dan realisme secara akurat menggambarkan dunia politik seperti yang dilaporkan dalam publikasi yang kita baca, maka teori Marxisme mengungkapkan misteri yang lebih dalam daripada ranah politik itu sendiri.

Pendiri Marxisme, Karl Marx  mengkritik kapitalisme karena dia percaya kapitalisme menciptakan ketidaksetaraan sosial, yaitu sebuah ideologi yang buruk untuk dipraktikkan karena menggeneralisasi hak-hak industri kontemporer, dan mengeksploitasi sumber daya yang berpotensi membawa perubahan sosial yang progresif. (Devetak et al. 2012). Seperti sudut pandang lainnya yang memiliki tujuan utama, tujuan utama Marxisme adalah kapitalisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun