Bahasan grooming seringkali dinarasikan sebagai hal yang tabu di masyarakat kita. Representasi negatif tentang grooming selalu identik pada perempuan. Ketika jalan-jalan kita tidak awam akan kata-kata pet grooming. Polarisasi kata grooming selalu disandarkan pada gender perempuan. Pada konstruk sosial kita, nilai perempuan yang terabadikan pada tataran sosial kita adalah selalu ingin tampil menawan, cantik, dan sorot impresi lingkungan harus pada dirinya. Namun, untuk pria, dinilai sebagai harus tampil lebih apa adanya.
Menyoal tentang grooming, sederhananya adalah memperhatikan diri kita sendiri. Utama dan yang paling dasar adalah aktivitas mandi. Mandi adalah nilai mutlak aktivitas grooming, karena tujuannya membersihkan badan dari debu dan polusi. Tahap selanjutnya adalah mencuci wajah dengan produk pembersih wajah dan usai itu mengaplikasikan deodorant agar badan tetap harum.
Penyandaran kata grooming selalu berhubungan dengan rambut. Pasalnya nilai konstruk sosial yang terbentuk adalah seorang pria hanya bisa memainkan pada jenggot, kumis, mode rambut, dan facial hair. Sedangkan untuk wanita bisa mengeksplor pada hal dekoratif wajah, seperti riasan make up dan mata.
Nyatanya, seorang lelaki bukan makhluk yang tidak memperhatikan penampilan. Dia sebetulnya sangat concern tentang penampilan. Cuma terdapat sedikit kontas, karena beberapa orang di konstruk sosial kita memuat nilai-nilai seperti karakter harus unggul atau kepintaran lebih penting daripada sisi penampilan. Sederhananya ia adalah seorang seniman. Biasanya ia sangat keras dalam memuat pernyataan bahwa dia adalah seorang artis dan tidak perlu memerhatikan penampilan.Akan tetapi, hidup di era seperti ini menuntut bahwa seorang manusia yang ingin eksis di lingkungannya harus memunculkan impresi baik. Jika seseorang berhasil membuat impresi yang positif terhadap lingkungan dan lawan bicaranya, ia akan ditempatkan sebagai manusia yang punya karakter bagus. Praktik dalam memunculkan energi positif tersebut yang paling dasar adalah mandi dan memperhatikan penampilan. Ujung dari membangun impresi yang baik ini tentunya bermanfaat bagi kesuksesan dan karier.
Pada era Romawi, wibawanya seorang raja terletak pada mahkota yang ia kenakan. Nilai tersebut juga dianut sampai sekarang bagi pria urban. Representasi bahwa rambut adalah mahkota membuat ia lebih percaya diri. Secara tidak langsung, pria urban selalu berusaha untuk menata gaya rambut karena mencerminkan sebagai pembawaan diri dan upaya mempromosikan untuk tetap eksis. Bagi seorang seniman, rambut gondrong adalah karakter dari jiwa seni. Namun bagi seorang yang berkarier di kepegawaian, rambut pendek dan terkesan main rapi adalah kepribadian yang harus ditanamkan. Semua punya porsi masing-masing dalam penilaian akan rambut.
Bagi para pria yang tinggal di kota, ketika ia memperhatikan detail terkait penampilan dan apa-apa yang ada di tubuhnya. Konstruk sosial kita langsung menginterpretasikan sebagai pria metroseksual. Lebih-lebih ujaran kebencian tersebut dialamatkan dengan kata pria centil. Berasal dari kata metropolitan dan heteroseksual, pria metroseksual dipandang sebagai pria yang dipertanyakan sisi maskulinitasnya.
Padahal, pada zaman Romawi, seorang pria punya segudang langkah terkait urusan merawat diri. Mulai dari membuat krim pelembab kulit dan praktik mengecat rambut berwarna pirang. Hal menarik juga terjadi pada era kebudayaan lampau di Nusantara, tepatnya Candi Borobudur. Relief Candi Borobudur selalu dinilai oleh sejarawan sebagai bentuk komunikasi manusia pada masa lampau. Di relief Candi Borobudur ditemukan sebuah kronologi kisah terkait cara pria merawat badan.
Relief Candi Borobudur tersebut juga menceritakan kisah raja-raja dalam melakukan ritual potong rambut. Istilah potong rambut untuk zaman sekarang hair style. Jadi pada zaman lampau, seorang pria sudah mengenal upaya eksistensi diri melalui cara penataan rambut. Bagi seorang raja jika memiliki rambut yang keren ia akan tampak semakin berwibawa. Kehadiran value ini mencerminkan pesan terkait reinkarnasi Siddhartha Gautama telah lahir kembali menjadi Budha. Prosesi awal dari kisah di relief tersebut mengomunikasikan potong rambut adalah upacara yang sangat sakral.
Kehadiran men's grooming ternyata juga ditemukan pada episode masa lampau. Di Rusia, seorang raja dan keluarga kerajaan di sana memiliki tradisi body painting. Praktik body painting harus dijalankan seorang pria dan diletakkan di area mandi, sauna, air panas, dan spa.
Perjalanan nilai sosial tersebut juga dipengaruhi oleh akses yang sangat terbuka. Kita ketahui bahwa seorang tokoh nasional Indonesia juga selalu memperhatikan aksesoris dan fesyen item yang melekat pada tubuhnya. Gaya rambut klimis dan kacamata yang hitam pekat adalah nilai ketampanan yang melekat pada konstruk sosial kita di era dulu. Contohnya bisa ditemukan pada foto-foto masa muda WR Supratman, Pierre Tendean, IR Soekarno, dan Bung Hatta.