Reformasi secara umum dapat diartikan sebagai perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Reformasi pajak jilid pertama dimulai pada kurun waktu antara tahun 1983 sampai dengan 1985, dimana pada waktu itu negara menerbitkan beberapa undang-undang perpajakan beserta peraturan pelaksanaannya antara lain UU ketentuan umum dan tatacara perpajakan (UU KUP), UU Pajak Penghasilan, UU Pajak Pertambahan Nilai, UU Pajak Bumi dan Bangunan, dan UU Bea Materai yang menggantikan UU Perseroan, UU Dividen, UU Pajak Penjualan dan IPEDA. Lantas, kenapa penerbitan Undang-undang tersebut disebut sebagai reformasi? Hal ini tidak lain karena Undang undang tersebut mengubah sistem pajak di indonesia yang semula official assasement menjadi self assasement.
Reformasi kedua digulirkan pada pertengahan tahun 2002, ketika itu atas arahan International Monetary Fund (IMF) didirikanlah Kanwil WP Besar yang mengadministrasikan Wajib Pajak terbesar yang ada di Indonesia. Kantor ini disebut-sebut sebagai kantor pajak modern pertama di Indonesia karena telah menerapkan teknologi informasi dalam melayani masyarakat. Pun orientasinya tidak hanya sebagai penegak hukum tetapi juga pelayan masyarakat. Pendirian kantor ini menjadi tonggak perubahan manajemen SDM pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) karena nilai-nilai integritas dan profesionalisme ditanamkan, sistem reward and punishment diakomodasi.
Jatuh bangun, dihina dipuji, merupakan hal yang wajar dalam perubahan. Tidak ada yang sempurna dalam perubahan. Yang salah telah dihukum, tetapi yang baik harusnya tetap ditingkatkan. Era baru perpajakan seharusnya disambut gempita oleh masyarakat, karena sisitem perpajakan yang ada sekarang sangat memudahkan warga negara dalam memenuhi kewajibannya, mulai dari dropbox, espt, efiling, layanan unggulan, dan lain sebagainya.
Setelah aturan diperbaiki dan SDM dibenahi maka visi selanjutnya untuk memperbaiki sistem administrasi perpajakan adalah membuat DJP berdaulat di negeri sendiri. Lebih dari 70% APBN (700 triliun rupiah) berasal dari pajak, oleh karena tanggung jawab sedemikian besar maka banyak para ekonom berpendapat sudah selayaknya DJP berdiri sendiri menjadi suatu badan di bawah Presiden (Badan Penerimaan Negara).
Dengan posisi saat ini di bawah Kementerian Keuangan, paling tidak ada 3 masalah utama yang tidak terpecahkan. Pertama dari segi Kewenangan SDM, DJP tidak dapat merekrut atau memberhentikan pegawainya secara langsung, harus melalui suatu sistem brirokrasi yang panjang dan berbelit untuk merekrut atau memberhentikan pegawai. Kedua dari segi kewenangan anggaran, tax coverage kita rendah karena kantor pajak tidak mampu menjangkau ke seluruh pelosok negeri hal ini tidak lain disebabkan karena untuk mengajukan penambahan anggaran guna membangun kantor baru harus diusulkan 3 tahun sebelumnya dan ini pun belum tentu disetujui.Ketiga dari sisi kewenangan menindak Wajib Pajak, untuk melakukan penyitaan/penyidikan atau bahkan menangkap Wajib Pajak nakal DJP tidak dapat bertindak langsung, melainkan harus atas koordinasi polri, kejaksaan maupun KPK. Menurut pendapat saya, jika hal ini berlangsung terus kedepannya dikhawatirkan banyak WP nakal yang lolos.
Opsi kedua yang dapat dipilih adalah dengan tetap menempatkan DJP di bawah kementerian keuangan tetapi dengan diberi kewenangan dari sisi SDM, Anggaran dan penindakan. Menurut saya, hal ini lah yang paling realistis, karena untuk merubah DJP terpisah dari Kementerian Keuangan dampaknya sangat besar. Banyak peraturan pelaksanaan pajak yang harus diubah baik secara material maupun formal karena perubahan kewenangan dan nomenklatur jika dipisah dari Kemenkeu.
Jika kita menengok otoritas pajak di negara lain, misalkan di Amerika Serikat, otoritas pajaknya bertanggung jawab langsung kepada presiden, bahkan konon IRS lebih ditakuti daripada Kepolisian federal sekalipun, hal ini tidak lain karena IRS mempunyai hak untuk langsung mempidanakan Wajib Pajak yang tidak taat. Hampir serupa dengan di Amerika, di National Tax Agencies (NTA) Jepang berada setara dengan Kementerian Keuangan Jepang, bahkan Tax Tribunal (Pengadilan Pajak) berada di bawah NTA. Berbeda dengan Amerika dan Jepang, otoritas pajak di Malaysia berada di bawah koordinasi Kementerian Keuangannya.
Nah, apapun bentuk DJP kedepannya nanti, kita sebagai warga negara ingin agar Indonesia mandiri, tidak tergantung pada negara lain dan menjadi bangsa yang makmur sejahtera. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H