Sosok seorang ayah memang seringkali digambarkan sebagai seorang tulang punggung keluarga. Tak kenal lelah, tak kenal berapa banyak keringat yang mengalir di tubuhnya, semangat dan kesabarannya tak pernah hilang. Hal inilah yang melekat pada Pak Ayub yang sudah seringkali saya temui di sekitaran Jl Cibabat Kota Cimahi. Â
Beliau seringkali menarik perhatian saya, dengan tubuhnya yang sudah tak lagi muda, dengan raut wajauh yang mulai berkeriput dan mata yang sayu juga berbinar, namun tetap nampak bersemangat dan tak kenal lelah. Beliau seorang penjual odading keliling dengan berjalan kaki dan menggendong dagangannya dari pagi hingga larut malam.Â
Sempat saya temui ketika beliau sedang tertidur lelap pada malam hari dipinggir jalan Kota Cimahi. Dan kamipun sedikit berbincang, "Terkadang saya memutuskan untuk tidak akan pulang meskipun sudah larut malam dan harus tak sengaja tertidur di trotoar jalan ini, bukan saya tidak mau menemui istri saya, tapi saya tak tega melihat wajah istri saya jika saya pulang namun tak bisa memberi sepeserpun untuknya." ungkapnya.
Beliau pun menceritakan kisah hidupnya selama ini, Pa Ayub hanya tinggal dengan istrinya yang tidak lagi muda, dimasa tuanya beliau sudah tidak pernah bertemu dengan anaknya, bahkan Pa Ayub mengungkapkan bahwa mungkin anaknya sudah tak mengenali dirinya lagi, padahal sedari kecil Pa Ayub dan istri berusaha untuk menyekolahkannya meskipun hanya hingga sekolah tingkat atas (SMA) karena keterbatasan ekomoni. Pa Ayub sempat berusaha mencari anaknya, namun di usianya yang sudah tak kuat lagi ia pun menyerah dan berpasrah jika harus hidup sebatang kara dengan sang istri.Â
"Neng, saya hanya tak pernah berhenti berdoa untuk anak saya agar diberi hidup yang layak dan tidak seperti ayah dan ibunya ini."
Namun tak disangka masih banyak orang yang mau membantu Pa Ayub untuk tetap dapat melanjutkan hidup, ada yang sempat menawarkannya pekerjaan dagang keliling dari mulai gorengan hingga odading saat ini. Dengan penghasilan yang tak menentu sekitar 10ribu - 100ribu / hari Pa Ayub merasa sangat terbantu karena ia bisa terus memutar penghasilannya untuk berjualan dan bertahan hidup. Beliau mengatakan "Berapapun uang yang masuk dalam kantong saya, asal bisa untuk membeli beras itu sudah lebih dari bersyukur".
Dari kisahnya yang memperjuangkan hidupnya bersama sang istri dengan pemasukan dari hasil jualan yang tak seberapa, memang tidak banyak yang dia dapatkan, namun menurutnya selalu yakin bahwa Tuhan itu tidak tidur, yang terpenting sebagai manusia kita hanya bisa berusaha dan berdoa, karena tidak ada rezeki yang tidak dijemput. Beliau berusaha untuk tetap bisa bertanggung jawab untuk menghidupi keluarga kecilnya dengan keringat yang menetes dari balik topi yang dipakainya, mata yang berbinar, dan senyum tipis yang menyejukan beliau mengatakan "Alhamdulillah saya selalu diberi cukup, tidak kurang dan tidak lebih, meskipun hanya berjualan odading tapi masih bisa mempertahankan saya dan istri agar tetap hidup". Baginya berapapun yang beliau dapatkan itu adalah rezeki yang sudah diatur Tuhan.Â
Kisahnya memang sederhana, tak banyak berkata namun setiap kalimatnya mengandung makna dan pengingat betapa rasa syukur adalah hal yang paling nikmat dalam menjalankan kehidupan ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H