Pemilu merupakan ajang kontestasi antar aktor dalam rangka menduduki suatu jabatan demi memperoleh legitimasi atas suatu kekuasaan tertentu. Momentum ini terbagi dalam beberapa fase yaitu tahap pra pemilu, pemilu, dan pasca pemilu. Di Indonesia penyelenggaraan pemilu diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017. Secara umum, penyelenggaraan pemilu di Indonesia diselenggarakan setiap 5 tahun sekali. Terdapat pemilu tingkat nasional yang memilih presiden, wakil presiden, dan anggota legislatif nasional. Terdapat pula pemilu tingkat daerah untuk menentukan kepala daerah dan wakilnya dan anggota legislatif tingkat daerah. Sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi kepentingan rakyat, penyelenggaraan pemilu harus dilaksanakan secara berintegritas, karenanya penyelenggaraan pemilu di Indonesia menganut sistem Luber Jurdil, baik itu tingkat nasional maupun daerah.
Secara konseptual, untuk menyelenggarakan pemilu yang demokratis diperlukan tata kelola pemilu yang baik. Dalam definisi yang dijelaskan oleh Torres dan Diaz (2015) tata kelola pemilu merupakan sebuah siklus yang terimplementasi dalam suatu kebijakan, dan melalui mekanisme administrasi dan prinsip keadilan pemilu. Selain menjelaskan tata kelola pemilu secara operasional, Torres dan Diaz juga menjelaskan dimensi politis dari tata kelola pemilu. Pada konteks ini, siklus tata kelola pemilu melibatkan kuantitas dan watak dari aturan-aturan kepemiluan. Dengan demikian, siklus tata kelola pemilu melibatkan instruksi-instruksi dari pemerintah dan aktor pemangku kepentingan, yaitu lembaga penyelenggara pemilu dan para peserta pemilu.
Dengan menggunakan konsep yang dijelaskan oleh Torres dan Diaz, tulisan ini mencoba menganalisa dimensi politis dari tata kelola pemilihan kepala daerah kabupaten semarang tahun 2020. Secara umum, dua pertanyaan besar yang coba kami jawab adalah “Bagaimana kontestasi kepentingan antar aktor berpengaruh terhadap proses kandidasi dari PDIP pada pilkada kabupaten semarang tahun 2020?” dan “Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya ragam kepentingan antar aktor pada pilkada kabupaten semarang tahun 2020?”.
Tulisan ini hendak mengetengahkan dinamika proses pencalonan kandidat Calon Bupati dan Wakil Bupati pada Pilkada 2020 di Kabupaten Semarang sebagai studi kasus. Pasalnya, proses kandidasi disana menyiratkan adanya tabrakan kepentingan personal dengan profesionalisme dalam berpartai, yang kemudian sempat tereskalasi menjadi konflik kepentingan. Pemetaan antar aktor pun sekiranya juga perlu dilakukan, guna menelusuri pengaruh dari adanya konflik kepentingan tersebut pada proses kandidasi partai pengusung calon, yang dalam kasus tersebut dilakukan oleh PDIP selaku partai bersuara dominan di wilayah Kabupaten Semarang.
Kisruh dalam internal PDIP sendiri bermula ketika bupati petahana, Mundjirin yang notabenenya merupakan kader usungan PDIP telah habis masa jabatan kedua. Seketika itu, PDIP lantas mengajukan nama Ngesti Nugraha sebagai bakal calon bupati selanjutnya. Dengan maksud meraih suara simpatisan Mundjirin, putranya yakni Biena Munawa Hatta hendak didapuk sebagai calon wakil bupati mendampingi Ngesti Nugraha. Akan tetapi, Biena menolak tawaran tersebut lantaran masih menjabat sebagai anggota fraksi PDIP di DPRD Kabupaten Semarang. Di lain sisi, Mundjirin uniknya justru mendukung istrinya, Bintang Narsasi untuk maju sebagai calon bupati lewat jalur partai selain PDIP. Alhasil, PDIP mengasumsikan bahwasanya baik Mundjirin dan Biena telah membangkang dari ketentuan partai sehingga keduanya lantas dipecat dari keanggotaan partai. Biena secara tidak terhormat bahkan dikeluarkan pula dari DPRD Kabupaten Semarang, selepas PDIP melakukan recall.
Berbicara soal pembangkangan yang dilakukan oleh kader partai, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputeri sendiri telah memberikan pernyataannya. Megawati secara tegas menghimbau bahwa setiap kader partai mestinya taat terhadap segala tugas yang diberikan oleh partai. Oleh karenanya, ketika terdapat kader yang menyalahi aturan, kemudian menjadi masuk akal jika PDIP menjatuhkan konsekuensi berupa sanksi pemecatan. Pada tingkatan lokal, Bambang Kusriyanto selaku Sekretaris DPD PDIP Jawa Tengah terlihat tengah merealisasikan perintah pemberian sanksi pada kader yang dinilai membangkang, yakni Mundjirin dan Biena. Tindak pembangkangan yang dilakukan oleh Mundjirin dan Biena dianggap Bambang sebagai upaya menyalahgunakan partai untuk kepentingan keluarganya semata.
Terlebih, kasus Mundjirin dan Biena dipandang bakal mengganggu strategi politik yang telah diatur oleh DPC PDIP Kabupaten Semarang. Alasannya DPC PDIP Kabupaten Semarang semula terlihat hendak mengusung Biena sebagai calon wakil bupati dengan maksud mendompleng ketenaran sang ayah guna meraih suara. Akan tetapi justru Mundjirin malah terang-terangan mendukung istrinya untuk melenggang pada Pilkada 2020 tanpa persetujuan PDIP. Sementara Biena juga bersikukuh untuk menolak tawaran sebagai calon wakil bupati dari PDIP. Dengan begitu, kepentingan Mundjirin beserta keluarganya cukup kentara akan mengupayakan terbentuknya dinasti politik yang bakal mengancam hegemoni PDIP di wilayah Kabupaten Semarang jika saja Bintang berhasil terpilih. Wakil Ketua Bidang Kehormatan DPC PDIP Kabupaten Semarang, The Hok Hiong mengklasifikasikan perilaku Mundjirin dan Biena sebagai pelanggaran berat sehingga perlu dikenai sanksi berupa pemecatan.
PDIP pun akhirnya menggaet nama Basari, ex-anggota DPRD dari PKB yang merepresentasikan citra islami sebagai pendamping Ngesti Nugraha. Hasilnya, pengaturan ulang strategi yang dilakukan oleh PDIP terbukti jitu, pasangan Ngesti – Basari (Ngebas) berhasil memenangi Pilkada 2020 untuk wilayah Kabupaten Semarang (Permana, 2021). Dengan demikian, terlihat bahwasanya dimensi operasional dan politis dari tata kelola pemilu saling berkelindan. Sebabnya, tahapan pra-pemilu di Pilkada Semarang 2020 terbukti disertai konflik kepentingan yang sarat akan nuansa politis dari masing-masing aktor yang kemudian mempengaruhi proses kandidasi.
Perbedaan kepentingan aktor politik pada Pilkada Kabupaten Semarang 2020 disebabkan oleh faktor berikut;
- Dilema relasi kekerabatan dengan relasi kelembagaan.
Pemecatan anggota partai terhadap Bupati Kabupaten Semarang Mundjirin, beserta anaknya Biena yang merupakan anggota DPRD Kabupaten Semarang, memperlihatkan betapa besarnya kekuasaan PDIP, sehingga dapat melakukan tindakan yang tegas terhadap anggotanya. Pemecatan ini terjadi akibat dari perbedaan kepentingan antara partai dengan anggotanya yaitu terdapat dilema antara relasi kekerabatan dan relasi kelembagaan yang dialami oleh Mundjirin dan Biena.
Terlihat bahwa Mundjirin dan Biena yang memiliki keterikatan regulasi sebagai anggota PDIP, terpaksa rela untuk melepaskan jabatannya demi mendukung kerabatnya (istri dan ibu kandung), Bintang Narsasi sebagai calon Bupati Kabupaten Semarang selanjutnya. Singkatnya, urusan politik tersebut telah bercampur dengan urusan kekeluargaan. Meskipun Biena menyampaikan kesetiaannya kepada PDIP dan akan berkomitmen untuk mendukung pasangan calon yang diusung PDIP, pada akhirnya ibunya sendiri yang maju dalam kontestasi bupati Kabupaten Semarang dan diusung oleh koalisi partai lain.
- Adanya krisis komitmen dan kepercayaan antara anggota partai dengan partainya.